jpnn.com, SEOUL - Siapa yang berani membantah jika presiden meminta kantornya dipindahkan?. Itu pula yang terjadi di Korea Selatan.
Baru beberapa jam menjadi kepala negara, Moon Jae-in sudah membuat petugas keamanan pusing.
BACA JUGA: Presiden Korsel Tak Sabar Jumpa Jokowi
Presiden ke-12 Korsel yang langsung dilantik setelah dinyatakan menang pilpres kemarin (10/5) itu berencana bekerja dari kompleks pemerintahan di Seoul yang lokasinya di depan Gwanghwamun Square.
Padahal, biasanya presiden berkantor di istana kepresidenan Blue House yang sudah memiliki standar pengamanan ketat.
"Saya akan meninggalkan Blue House dan memulai era presiden Gwanghwamun secepatnya setelah semua persiapan selesai," ujar Moon Jae-in dalam pidato pertamanya sebagai pemimpin Korsel.
Dia berharap bisa menghuni kantor barunya itu pada 2019.
Salah satu alasan Moon Jae-in pindah ke gedung di tengah Kota Seoul itu adalah mengakhiri budaya otoriter kepresidenan dan mendekatkan diri dengan rakyat.
Menurut Moon Jae-in, Blue House dengan pengamanannya yang superketat ibarat menara gading yang sulit dijangkau penduduk.
Itulah yang ingin diubah bapak dua anak tersebut. Bagi dia, Gwanghwamun Square memiliki makna spesial.
Saat skandal penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi mantan Presiden Park Geun-hye mencuat, setiap akhir pekan penduduk Korsel mengadakan aksi damai di Gwanghwamun Square.
Aksi tersebut merupakan salah satu episode yang membuka jalan Moon Jae-in untuk duduk di kursi kepresidenan.
Lebih dari 14 akhir pekan, ratusan ribu warga Korsel memadati lapangan tersebut dan menuntut Park Geun-hye dilengserkan.
Keinginan itu terwujud 10 Maret lalu. Dua bulan kemudian, pilpres dilangsungkan dan Moon Jae-in terpilih menggantikan Geun-hye dengan dukungan 41,8 persen warga negara yang terkenal dengan serial drama televisinya itu.
Namun, tentu saja keinginan pindah kantor tersebut tidak bisa terealisasi dengan mudah. Bahkan, dibutuhkan banyak biaya.
Korea Utara (Korut) dan Korsel masih berstatus perang. Karena itulah, pengamanan presiden sangat ketat lantaran peluang pembunuhan yang dilakukan Korut masih besar.
Pada 1968 pasukan Korut sempat menyerang dan berusaha membunuh mantan Presiden Park Chung-hee, tapi berhasil dihentikan 800 meter dari Blue House.
Di Blue House bahkan ada bungker untuk bersiap jika Pyongyang meluncurkan misil-misilnya.
Beberapa pengamat menilai keinginan Moon Jae-in tidak realistis. Sebab, pengamanan di gedung 19 lantai tersebut rendah, tidak ada kaca antipeluru, dan seseorang bisa masuk cukup dengan kartu identitas.
Mengamankan Moon Jae-in di gedung itu akan memakan banyak biaya tambahan. Sama dengan ketika istri Presiden AS Donald Trump, Melania, yang memilih tinggal di Manhattan.
Selain ingin memindahkan kantornya, Moon Jae-in menyatakan bakal memulai usaha untuk mengurangi ketegangan di Semenanjung Korea.
Beberapa bulan ini situasi memang memanas. Mulai uji coba misil yang terus-menerus dilakukan Korut hingga ancaman serangan dari Negeri Paman Sam.
Dia berencana melakukan negosiasi dengan Washington dan Beijing terkait sistem pertahanan misil terminal high altitude area defense (THAAD) yang sudah dipasang di negaranya.
Berbeda dengan pendahulunya, Moon Jae-in lebih memilih pendekatan persuasif untuk menangani masalah Korut.
Pemimpin 64 tahun itu berharap dua Korea bersatu. Karena itulah, penduduk golongan tua tidak menyukai Moon Jae-in.
Dia dianggap sebagai antek Korut. Tudingan-tudingan tersebut tidak membuatnya mengubah pendirian.
Untuk membantunya menjalankan pemerintahan, Moon Jae-in menunjuk Lee Nak-yon sebagai perdana menteri (PM) dan Suh Hoon sebagai kepala badan intelijen nasional.
Keduanya terlibat dalam Sunshine Policy, kebijakan untuk memperbaiki hubungan antara Korsel dan Korut pada 1998-2009. (Reuters/AFP/BBC/sha/c10/any/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia