JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar segera membentuk tim pencari fakta (TPF) untuk menyelidiki hingga tuntas kasus penyerangan dan penembakan empat tahanan di LP Cebongan Sleman Jogjakarta.
Menurut Lukman, TPF itu harus pula menemukan fakta-fakta hukum yang mungkin selama ini dicoba disembunyikan. ”TPF itu penting agar masyarakat luas mengetahui akar masalah dan mengungkap siapa aktor-aktor yang melakukan penembakan secara sewenang-wenang dan melanggar hukum itu,” ujar Lukman di Gedung MPR, Senin (25/3).
Pembetukan TPF itu didasari banyaknya kasus yang melibatkan TNI dan Polri yang berakhir tak jelas dan berlangsung tertutup. ”Selama TNI dan Polri yang melakukan penyelidikan dan pengadilan, maka selama itu pula rakyat tak pernah mendapat informasi yang sesungguhnya dalam kasus yang melibatkan TNI dan Polri,” tegasnya.
Lukman juga mengaku kaget dalam kasus penyerangan Lapas di Sleman itu, Pangdam IV Diponegoro Mayjen Hardiyono Saroso malah terang-terangan membantah kalau ada anggotanya terlibat dalam aksi itu. ”Padahal pernyataan Pangdam IV Diponegoro justru makin memperkuat dugaan sebaliknya bahwa ada keterlibatan anak buahnya,” tegas Lukman lagi.
Dia mencontohkan, kasus penyerangan TNI ke Mapolres OK di Sumatera Selatan hingga saat ini rakyat tidak pernah tahu perkembangan proses hukumnya. ”Artinya kalau kasus seperti ini terus berulang, maka ke depan sangat mengerikan dan jelas tidak ada kepastian hukum. Padahal, itu antara TNI dan Polri. Bagaimana kalau menimpa rakyat? Bukankah TNI dan Polri dibiayai anggaran negara? Lalu, mereka menembak secara brutal tanpa proses hukum? Ngeri sekali negara ini,” lontar Lukman prihatin.
Menurut dia, dengan TPF ini maka masyarakat luas akan tahu perkebangan dari kasus yang terjadi. Makanya jangan menunggu kerelaan TNI atau Polri, karena penembakan itu tanggung jawab bersama TNI dan Polri. ”Kalau tidak, maka negara kalah dengan aktor-aktor kekuatan di luar negara,” pungkas politisi PPP ini.
Anggota Kompolnas yang juga kriminolog UI Andrianus Meliala mengatakan, sebenarnya polisi sudah tahu siapa pelaku yang sesungguhnya, tapi polisi tidak berani menangkap, sehingga menunggu kerelaan dari pihak TNI untuk membeberkan pelakunya. ”Yang jelas aksi kekerasan antara TNI dan Polri ini bukan karena kecemburuan sosial. Karena secara struktur kepegawaian semisal remunerasi, justru TNI mendapat 60 persen, sedang Polri hanya 15 persen,” pungkasnya.
Sementara itu, peneliti LIPI Jaleswari Pramadhawardani mengatakan hingga sekarang pemerintah telah gagal mengungkap konflik kekerasan tersebut. ”Artinya negara sudah dikalahkan oleh kekuatan di luar negara, dan inilah makin mempertegas bahwa pemerintah tidak mampu mengendalikan aktor-aktor negara, yang justru menciptakan ketidakamanan dan ketidaknyamanan rakyat,” tegas Jaleswari.
Menurut Jaleswari, yang mengontrol semua kendali keamanan adalah pemerintah, sehingga ironis kalau TNI dan Polri justru menciptakan instabilitas dan ketidakamanan itu sendiri. “Kalau Pangdam Diponegoro menyatakan tidak adanya keterlibatan Kopassus, maka itu harus dibuktikan di depan hukum,” tegasnya lagi.
Oleh sebab itu, kata Jaleswari, Presiden SBY harus meminta Panglima TNI dan Kapolri untuk menyelesaikan penembakan tersebut, dan siapapun yang terlibat harus ditindak tegas. Kalau penembakan itu berangkat dari kasus penusukan anggota Kopassus, seharusnya jauh-jauh hari kemungkinan penyerangan itu bisa diantisipasi.
“Saya kira pemerintah harus melakukan investigasi dengan melibatkan TNI dan Polri dengan menegakkan hukum yang sesungguhnya. Kalau tidak, maka ke depan makin tidak ada jaminan keamanan bagi masyarakat bangsa ini. Ini berbahaya,” pungkasnya. (ind)
Menurut Lukman, TPF itu harus pula menemukan fakta-fakta hukum yang mungkin selama ini dicoba disembunyikan. ”TPF itu penting agar masyarakat luas mengetahui akar masalah dan mengungkap siapa aktor-aktor yang melakukan penembakan secara sewenang-wenang dan melanggar hukum itu,” ujar Lukman di Gedung MPR, Senin (25/3).
Pembetukan TPF itu didasari banyaknya kasus yang melibatkan TNI dan Polri yang berakhir tak jelas dan berlangsung tertutup. ”Selama TNI dan Polri yang melakukan penyelidikan dan pengadilan, maka selama itu pula rakyat tak pernah mendapat informasi yang sesungguhnya dalam kasus yang melibatkan TNI dan Polri,” tegasnya.
Lukman juga mengaku kaget dalam kasus penyerangan Lapas di Sleman itu, Pangdam IV Diponegoro Mayjen Hardiyono Saroso malah terang-terangan membantah kalau ada anggotanya terlibat dalam aksi itu. ”Padahal pernyataan Pangdam IV Diponegoro justru makin memperkuat dugaan sebaliknya bahwa ada keterlibatan anak buahnya,” tegas Lukman lagi.
Dia mencontohkan, kasus penyerangan TNI ke Mapolres OK di Sumatera Selatan hingga saat ini rakyat tidak pernah tahu perkembangan proses hukumnya. ”Artinya kalau kasus seperti ini terus berulang, maka ke depan sangat mengerikan dan jelas tidak ada kepastian hukum. Padahal, itu antara TNI dan Polri. Bagaimana kalau menimpa rakyat? Bukankah TNI dan Polri dibiayai anggaran negara? Lalu, mereka menembak secara brutal tanpa proses hukum? Ngeri sekali negara ini,” lontar Lukman prihatin.
Menurut dia, dengan TPF ini maka masyarakat luas akan tahu perkebangan dari kasus yang terjadi. Makanya jangan menunggu kerelaan TNI atau Polri, karena penembakan itu tanggung jawab bersama TNI dan Polri. ”Kalau tidak, maka negara kalah dengan aktor-aktor kekuatan di luar negara,” pungkas politisi PPP ini.
Anggota Kompolnas yang juga kriminolog UI Andrianus Meliala mengatakan, sebenarnya polisi sudah tahu siapa pelaku yang sesungguhnya, tapi polisi tidak berani menangkap, sehingga menunggu kerelaan dari pihak TNI untuk membeberkan pelakunya. ”Yang jelas aksi kekerasan antara TNI dan Polri ini bukan karena kecemburuan sosial. Karena secara struktur kepegawaian semisal remunerasi, justru TNI mendapat 60 persen, sedang Polri hanya 15 persen,” pungkasnya.
Sementara itu, peneliti LIPI Jaleswari Pramadhawardani mengatakan hingga sekarang pemerintah telah gagal mengungkap konflik kekerasan tersebut. ”Artinya negara sudah dikalahkan oleh kekuatan di luar negara, dan inilah makin mempertegas bahwa pemerintah tidak mampu mengendalikan aktor-aktor negara, yang justru menciptakan ketidakamanan dan ketidaknyamanan rakyat,” tegas Jaleswari.
Menurut Jaleswari, yang mengontrol semua kendali keamanan adalah pemerintah, sehingga ironis kalau TNI dan Polri justru menciptakan instabilitas dan ketidakamanan itu sendiri. “Kalau Pangdam Diponegoro menyatakan tidak adanya keterlibatan Kopassus, maka itu harus dibuktikan di depan hukum,” tegasnya lagi.
Oleh sebab itu, kata Jaleswari, Presiden SBY harus meminta Panglima TNI dan Kapolri untuk menyelesaikan penembakan tersebut, dan siapapun yang terlibat harus ditindak tegas. Kalau penembakan itu berangkat dari kasus penusukan anggota Kopassus, seharusnya jauh-jauh hari kemungkinan penyerangan itu bisa diantisipasi.
“Saya kira pemerintah harus melakukan investigasi dengan melibatkan TNI dan Polri dengan menegakkan hukum yang sesungguhnya. Kalau tidak, maka ke depan makin tidak ada jaminan keamanan bagi masyarakat bangsa ini. Ini berbahaya,” pungkasnya. (ind)
BACA ARTIKEL LAINNYA... TNI Cuci Tangan, Limpahkan Pada Kepolisian
Redaktur : Tim Redaksi