jpnn.com, IRAN - Iran adalah negara yang memakai konsep Wilayahtul Faqih, yang mana seorang marja’ Ayatollah yang memegang kepemimpinan.
Ayatollah adalah seorang yang memiliki ilmu, lelaku serta kapasitas yang memumpuni dalam keagamaan, dan kemanusiaan serta kepemimpinannya menjadi penentu semua kebijakan penting, bukan perdana menteri atau parlemen.
BACA JUGA: Ayatollah Khamenei Pengin Jadikan Pilpres Iran Ajang Pamer, Rakyat Didesak Datang ke TPS
Saat ini Ayatollah Ali Khamenei yang memegang wilayah kepemimpinan tersebut dan Presiden terpilih Iran, Ebrahim Raisi, menjadi kepanjangan tangan dari sang ayatollah dalam wilayah parlemen.
Dalam konferensi pers pertamanya usai memenangkan pemilu, Presiden Ebrahim Raisi membeberkan prioritas utama selama masa pemerintahannya.
BACA JUGA: Kapal Terbesarnya Terbakar dan Tenggelam, Iran Salahkan Israel
Antara lain perbaikan hubungan diplomasi dengan negara-negara Teluk.
Namun begitu, sang mantan hakim konservatif itu kembali memperingatkan musuh bebuyutan Arab Saudi untuk menghentikan intervensi militer di Yaman.
BACA JUGA: Kapal Tanker Asing Berbendara Iran dan Panama Tinggalkan Perairan Indonesia, Bebas
Raisi yang berusia 60 tahun akan menggeser tokoh reformis, Hassan Rouhani, pada 3 Agustus mendatang.
Sebagaimana pemangku jabatan saat ini, dia pun memprioritaskan pencabutan sanksi yang melumpuhkan ekonomi, terutama demi pemulihan pascapandemi.
"Kami mendukung proses negosiasi yang menjamin kepentingan nasional kami. Amerika sebaiknya segera kembali ke Perjanjian Nuklir 2015 dan memenuhi komitmennya sesuai isi kesepakatan,” kata Raisi.
Ketika ditanya apakah dia bersedia menemui Presiden AS Joe Biden jika semua sanksi dicabut, Raisi menjawab tegas tidak akan melakukan pertemuan itu.
Sejak April silam, kedua negara secara tidak langsung menegosiasikan perjanjian nuklir di Wina, Austria, bersama dengan Uni Eropa, Rusia dan China.
Raisi mengatakan kebijakan luar negeri Iran tidak akan bergantung pada Perjanjian Nuklir 2015. Namun dia mendesak semua sanksi AS harus dicabut dan diverifikasi oleh Teheran.
Dia mendukung negosiasi perjanjian nuklir, tetapi menolak bertemu Presiden AS Joe Biden, bahkan jika Washington mencabut semua jenis sanksi.
Untuk menggandakan tekanan, Iran secara perlahan melanggar batasan pemerkayaan uranium sesuai perjanjian.
Pejabat Iran mengatakan kemenangan Raisi tidak akan memengaruhi posisi Iran di meja negosiasi.
Sejak era Presiden Donald Trump, Washington berusaha mengamandemen isi perjanjian untuk meredam intervensi militer Iran di Timur Tengah.
Tuntutan tersebut sempat digaungkan kembali oleh Biden, menyusul lobi politik negara-negara Arab yang melihat kebijakan Iran "mendestabilkan” kawasan.
Serupa Khamenei, Raisi menegaskan aktivitas regional dan program peluru kendali balistik milik Iran tidak bisa ditawar atau dinegosiasikan.
"Mereka (AS) tidak menaati perjanjian yang sudah dibuat. Bagaimana mereka mau memasuki diskusi baru?,” tukas Raisi.
Saat ini Iran dikabarkan tengah berunding dengan Arab Saudi untuk meredakan ketegangan di antara kedua negara.
Menurut Raisi, dia akan menyambut normalisasi diplomasi dengan Riyadh.
"Pembukaan kedutaan besar Arab Saudi di Teheran bukan masalah bagi Iran,” kata dia. (mcr13/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Gigih Sergius Agasta