jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar FISIPOL UGM (Universitas Gadjah Mada) Prof DR Cornelis Lay meninggal dunia pada Rabu (5/8) pagi sekitar pukul 04.00 Wib di RS Panti Rapih, Yogyakarta.
“Selamat Jalan, Guru,” tulis Abdul Gaffar Karim, yang juga staf pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM di akun Facebook-nya, Rabu pagi.
BACA JUGA: Innalillahi, Mantan Pelatih Timnas Satai Bagdja Ijatna Meninggal Dunia
Abdul Gaffar Karim juga menyampaikan informasi terkait penyebab meninggalnya dosen yang oleh para mahasiswanya akrab disapa dengan “Mas Cony” itu. "Jantung," tulis Abdul Gaffar.
“Turut berduka, banyak belajar ttg kejujuran dari beliau. Selamat jalan Mas Cony,” timpal Adi Surya Rachman menanggapi kabar yang disampaikan Mas Gaffar.
BACA JUGA: Akademisi UGM Dukung Kementan dalam Membuat Inovasi Kalung Eucalyptus
Cornelis Lay sudah lama mengidap penyakit jantung. Bahkan, saat menghadiri pembukaan Kongres IV PDIP di Bali pada April 2015, penyakit jantungnya kambuh.
Saat itu, Mas Cony langsung dilarikan ke RS Bali Royal Hospital. Presiden Jokowi saat itu menyempatkan diri membesuk Cony di RS, usai menghadiri pembukaan Kongres IV PDIP.
BACA JUGA: Kritik Tajam Ari Ditujukan kepada Para Tokoh KAMI
Mengenai bagaimana sosok Mas Cony, berikut ini tulisan Dwi Pratomo Yulianto di akun Facebook-nya.
Mantan aktifis mahasiswa, bekas murid almarhum, itu cerita bagaimana gaya Mas Cony berinteraksi dengan para mahasiswanya.
Suatu hari di tahun 1996.
Siang itu kami berkumpul di ruang F Fisipol UGM mengikuti sebuah yang baru ditawarkan semester itu, Masalah Kontemporer. Ini mata kuliah pilihan, mungkin karenanyalah yang mengambil pun hanya sedikit, tak lebih dari 20 mahasiswa seingat saya.
Karenanya kelas itu diselenggarakan di Ruang F, ruang kuliah yang paling kecil di lingkungan Fisipol UGM saat itu. Ruang ini sekarang sudah tidak ada jejaknya sama sekali setelah dilakukan pembangunan besar-besaran di kampus Fisipol UGM sekitar sepuluh tahun silam.
Dosen pengampunya benar-benar merupakan 'dosen jurusan Ilmu Pemerintahan' saat itu, karena banyaknnya mata kuliah yang beliau ampu. Seingat saya beliau mengampu lebih dari empat mata kuliah dalam satu semester, dan sendirian.
Zaman itu dosen yang membidangi politik di jurusan kami masih sangat terbatas, mungkin karena masih masih tergolong dosen muda saat itu (meski sebenarnya tidak muda sekali) sehingga beliau menjadi 'bolo dhupakan' dengan mengampu banyak mata kuliah. Saat itu Mas Pratikno, Mas Purwo Santoso, Mas Bambang Purwoko, dan Mas Ketut masih melanjutkan studi di luar negeri.
Di mata kami beliau adalah dosen yang sangat bersahabat dengan mahasiswa, tak jarang kami mencegatnya sekedar diajak diskusi atau dimintai pendapatnya tentang isu aktual saat tu.
Sering beliau dikerubuti mahasiswa di bawah pohon atau di tangga kampus dalam forum-forum diskusi tak resmi itu. Hal serupa juga sering dilakukan dosen-dosen kami saat itu, mendiang Pak Afan Gaffar dan Pak Riswandha Immawan (Semoga Allah mengampuni mereka).
Beliau juga orangnya easy going, bukan jenis yang suka jaim di hadapan mahasiswa. Kami sering memergokinya membonceng mahasiswa di kampus, atau bertemu di bus kota.
Hal yang luar biasa adalah ketelitiannya, beliau selalu membaca setiap makalah mahasiswa-mahasiswanya. Ini terbukti adanya coretan di setiap kesalahan ketik pada paper-paper kami. Beliau salah satu dosen yang paling suka memberi tugas menyusun paper bagi para mahasiswanya daripada ujian tulis di setiap pertengahan dan akhir semester.
"Coba kalian lihat bangku kalian, mungkin akan ditemukan sekian banyak tulisan contekan di sana. Saya lebih suka kalian belajar melakukan analisis dengan paper, daripada sekedar memindahkan kalimat dalam buku catatan kuliah ke kertas ujian, apalagi dengan menyontek." demikian kata beliau saat itu.
Tapi bukan berarti beliau tidak pernah memberikan ujian tertulis. Namun soalnya kadang sungguh ajaib. Saya pernah mengikuti ujian tertulis beliau, dan soalnya adalah "Tuliskan resume makalah yang dikumpulkan sepanjang semester ini."
Beliau sangat menghargai kejujuran mahasiswanya. Pernah satu kali marah besar gara-gara ada mahasiswa yang ketauan nitip presensi kuliah. Beliau menghargai mahasiswa yang mau menemuinya, bersurat, atau bahkan menitip pesan lewat teman karena tidak bisa hadir kuliah (Tentu saja, karena jaman itu HP masih sangat jarang, dan hanya mahasiswa super kaya yang mampu memilikinya).
Beliau juga masih mau menerima izin bolos setelah perkuliahan lewat jika memang mahasiswa yang bersangkutan sama sekali tidak dapat menyampaikan izin ketidakhadiran sebelumnya.
Di awal masa perkuliahan selalu disampaikan betapa beliau sangat menghargai kehadiran kami di kelas. Ketidakhadiran tanpa berita berkonsekuensi pengurangan nilai ujian akhir. Saya pernah nilainya turun satu level, ketika saya minta penjelasan ternyata karena presensi bolong satu.
Salah satu ciri khas beliau adalah memaksa mahasiswa untuk membaca. Di awal kuliah biasanya beliau memberikan daftar buku dan artikel jurnal yang harus kami baca untuk setiap minggunya. Namun bukan sekedar daftar, beliau juga menyediakan artikelnya untuk difotokopi.
Tentu saja, jaman itu mahasiswa mana punya akses untuk mendapatkan tulisan-tulisan dari berbagai njurnal internasional itu. Banyak dari kami yang kemampuan bahasa Inggrisnya pas pasan, jadi ya banyak yang megap megap memahaminya. Jadi ya jangan bandingkan sekarang, mahasiswa mudah mengakses jurnal secara online dan kemampuan bahasi Inggrisnya juga relatif bagus.
Kebiasaan beliau itu menuntut effort lebih bagi kami melebihi mata kuliah lain yang diambil saat itu. Kadang sampai sebuah artikel dipahami secara berkelompok, dan kami bikin diskusi kecil sebelum kuliah. Para mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pembangunan Politik saat itu menyebut perkuliahannya sebagai 'Kamis tegang'.
Sebelum perkuliahan beliau selalu mengetes apakah mahasiswanya sudah membaca bahan kuliah dengan cara menainyainya secara acak. Kalau ketauan tidak baca bakal malu sendiri di kelas. Tidak sedikit konsep dan teori ilmu politik yang tertanam dalam di benak saya sampai saat ini.
Kembali ke matakuliah Masalah Kontemporer. Perkuliahannya sungguh unik, seolah-olah tanpa silabus. Kami diwajibkan membuat paper mingguan bertemakan persoalan birokrasi dan pemerintahan yang sedang jadi isyu publik saat itu. Mata kuliah itu sendiri meninggalkan jejak mendalam bagi diri saya pribadi dibandingkan mata kuliah lainnya, dari mata kuliah itu saya dapat belajar bagaimana melakukan rekonstruksi teori sebelum menjelaskan sebuah fenomena. Dalam setiap paper mingguan itu kami diharuskan membedah masalah dengan sebuah perpektif teoritik tertentu.
Secara acak mahasiswa dipilih untuk mempresentasikan singkat makalahnya di depan kelas, dan kemudian harus menjawab pertanyaan dari beliau atau mahasiswa lainnya. Jadi kalau makalahnya dibuatkan orang bakal ketahuan.
"Saya tidak menuntut kalian bisa melakukan analisis sekelas profesor, namun saya berharap kalian melakukan yang terbaik dalam batas kemampuan kalian."
Selamat jalan Mas Prof. Cornelis Lay, menuju keabadian. (sam/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Soetomo