jpnn.com - SAYA sungkan menuliskan ini. Namun, saya lebih sungkan mengaku punya hobi makan durian. Ketularan istri saya.
Aneh. Kok tiba-tiba ada yang mempersoalkan gelar saya itu. Kesannya, saya itu begitu bangga dengan gelar profesor dan doktor honoris causa itu.
BACA JUGA: Jembatan Merah
Saya setuju dengan Pry. Yang berkomentar di forum ini kemarin: gelar profesor itu hanya bisa digunakan di lingkungan akademik.
Saya sendiri sering menertawakan –dalam hati– orang yang membawa gelar itu ke tempat sembarangan.
BACA JUGA: Krisis Chip
Rasanya saya sudah cukup hati-hati: tidak pernah menggunakan dua gelar itu di depan nama saya. Tidak pula di kartu nama. Atau di cover buku yang saya tulis. Atau di naskah apa pun.
Tentu, kalau mau, saya sudah bisa menerima gelar seperti itu jauh sebelum menjadi sesuatu. Banyak yang menawarkan.
BACA JUGA: John & John
Saya selalu menolak. Tidak pantas. Saya ini lulus S-1 pun tidak.
Saya lebih bangga dengan jabatan CEO, apalagi seorang tamatan madrasah aliah bisa menjadi CEO perusahaan besar.
Rasanya juga baru sekali terjadi lulusan madrasah aliah menjadi dirut PLN. Lalu jadi menteri ekonomi –Menteri BUMN.
Namun, bagaimana ceritanya hingga bisa menerima gelar profesor HC?
Tawaran itu datang dari sebuah universitas benaran di Malaysia. Begitu seriusnya sampai para pimpinan universitas itu sendiri yang datang ke Jakarta.
Termasuk putra mahkota sultan dari negara bagian itu –yang juga pimpinan universitas.
Saya masih ingat, sedikit, acara hari itu. Pembawa acara pun dari sana.
Susunan acaranya juga sudah ditentukan di sana. Pakai bahasa sana: paduka, hamba, tuanku, patik, ampun paduka dan banyak istilah kerajaan lainnya.
Sejak itu pun saya seperti lupa kalau pernah mendapat gelar profesor honoris causa. Saya tidak pernah satu kali pun menggunakan gelar itu di depan nama saya.
Memangnya saya ini siapa: hanya lulusan madrasah aliah. Itu pun di sebuah desa di pelosok Magetan: Pesantren Sabilil Muttaqin. Yakni pesantren beraliran tarekat Syatariyah.
Memang, ada pihak lain yang menulis gelar itu di depan nama saya. Sedapat mungkin saya minta: jangan cantumkan gelar itu.
Namun, ada saja yang posternya sudah telanjur beredar.
Jangan-jangan saya yang lupa. Atau pura-pura lupa. Jangan-jangan saya pernah memakainya. Baik juga, kalau ada yang menemukan itu. Agar saya ingat.
Pun di dalam kampus. Ketika saya diminta memberikan seminar. Sering dicantumkan gelar itu.
Saya sedapat mungkin memberikan koreksi: enggak usah cantumkan gelar itu.
Namun, tidak semuanya berhasil saya lakukan. Saya juga tidak mau konfrontasi: masak soal begitu saja bikin penyelenggara merasa kurang enak.
Lebih banyak lagi yang menawari gelar kehormatan doktor. Hanya satu yang saya terima. Yang dari dalam negeri. Yakni ketika tawaran itu datang dari IAIN Walisongo Semarang.
Itu pun karena dirayu beberapa orang dekat untuk menerimanya.
Dan lagi tawaran itu kan datang dari IAIN. Masih agak ''linier'' hahaha.
Namun yang membuat saya tertarik ialah naskah pertanggungan jawab dari promotor gelar itu. Sangat akademik.
Yang menyusun ialah Prof Dr Nur Syam. Beliaulah promotor gelar itu.
Belakangan saya tahu beliau orang Tuban. Di sana pula beliau lulus PGAN (sekolah pendidikan guru agama negeri). Lalu S-1 di fakultas dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Meski orang IAIN, Prof Nur Syam memperoleh gelar doktor dari Fisipol Universitas Airlangga. Di Unair pula beliau memperoleh gelar profesor.
Lalu balik lagi ke IAIN. Bahkan belakangan terpilih sebagai rektor di UIN Sunan Ampel.
Belum lagi menyelesaikan jabatan rektor beliau diangkat menjadi dirjen Pendidikan Islam. Lalu berlanjut menjabat sekjen Kementerian Agama.
Rasanya, saat menjadi promotor saya itu beliau dalam posisi sebagai sekjen itu.
Sejak hari itu sebenarnya saya mendapat gelar itu, tetapi sejak itu pula saya tidak pernah menggunakannya.
Saya tahu: itu gelar kehormatan. Bukan gelar doktor sungguhan –yang diperoleh lewat kerja penelitian serius yang metodologis sistematis.
Saya memang seide dengan Prof Nur Syam: moderat dalam beragama. Dan ternyata beliau punya rumah di dekat rumah saya. Satu kompleks: Sakura Regency. Berarti satu kompleks juga dengan KSAL Laksamana Yudo Margono –hanya selisih dua rumah dari saya.
Profesor (sungguhan) Nur Syam sudah bukan pejabat tinggi lagi, tetapi produktivitasnya kian tinggi. Terutama dalam menulis buku.
Kemarin, saya dikirimi buku beliau yang baru lagi: Perjalanan Etnografis Spiritual. Bahkan beliau mendirikan kelompok studi Islam moderat: Nursyam Center dan School of Friendly Leadership.
Saya tahu: banyak pihak di luar saya yang mencantumkan gelar itu di depan nama saya. Sebagian bisa saya cegah. Sebagian lagi tidak.
Pun ketika saya mendapat gelar doktor HC dari sebuah universitas Katolik di Manila, Filipina. Dengan upacara yang anggun di kampus itu. Saya jadi tahu begitulah tata cara di sana.
Saya juga tidak pernah menggunakannya, apalagi sekarang saya sudah 70 tahun. Juga tidak lagi punya kartu nama.
Namun, sesekali ingin juga saya menulis naskah di Disway ini dengan judul John & John, oleh Prof HC Dr HC Dahlan Iskan. Sekadar memancing emosi Pry hahaha. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mayat OVO
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi