JPNN.com

Profil Hariman Siregar Tokoh Malari, Sosok Pemberani Berjiwa Perlawanan

Rabu, 15 Januari 2025 – 18:25 WIB
Profil Hariman Siregar Tokoh Malari, Sosok Pemberani Berjiwa Perlawanan - JPNN.com
Hariman Siregar (berdasi) sebagai terdakwa peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) bersiap menjalani persidangan kedua atas perkara yang menjeratnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 14 Agustus 1974. Foto: Antara Foto/IPPHOS/asf/Koz/1974.

jpnn.com - JAKARTA - Kisah tentang kerusuhan di Jakarta pada 15 Januari 1974 melekat dengan Hariman Siregar. Saat tragedi yang akhirnya dikenal dengan sebutan Malari itu terjadi, Hariman merupakan ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI).

Hariman adalah aktivis mahasiswa yang berada di pusaran Malari . Jauh-jauh hari sebelum Malari meletus, pria berdarah Batak itu menggalang kekuatan untuk menyuarakan keresahan rakyat atas kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto yang pro-pemodal asing.

BACA JUGA: Kisah Jenderal TNI Menolak Keris sebelum Malari

Awalnya, Hariman dan para mahasiswa menjadikan Kampus UI di Salemba, Jakarta Pusat, sebagai pusat gerakan. Mereka mencetuskan Petisi 24 Oktober 1973.

Petisi itu berangkat dari dari sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru yang memanjakan modal asing. Saat itu Jepang mendominasi investasi di Indonesia.

BACA JUGA: Sukseskan Program Pemerintah, TNI AL Laksanakan Makan Bergizi Gratis

Syahdan, pada hari terakhir 1973, Hariman bersama Dewan Mahasiswa UI menggelar Malam Tirakatan. Pada pertemuan itulah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tersebut menyampaikan pidatonya yang kondang.

Hariman menjuduli pidatonya dengan Pernyataan Mahasiswa Indonesia. Dalam pidato itu, dia menyebut 1973 merupakan tahun yang menimbulkan kebingungan dan pernyataan yang mengganggu perasaan.

BACA JUGA: Lukisan Aktivis

Menurut Hariman, protes yang tecermin dalam Petisi 24 Oktober mengantar mahasiswa ke beban sejarah lebih besar.

“Beban kita adalah membebaskan rakyat dari penderitaan hidup sehari-hari. Beban kita adalah membuat rakyat yang mengangguruntuk mempersoalkan kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat,” demikian salah satu penggalan dalam pidatonya.

Hanya beberapa saat setelah Malari meletus, Hariman dan ratusan orang lainnya diciduk. Namun, hanya Hariman bersama koleganya di UI, Sjahrir, dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Aini Chalid yang diadili.

Lantas, siapakah Hariman Siregar?

Buku Hariman & Malari editan Amir Husin Daulay dan Imran Hasibuan mengisahkan tokoh pergerakan mahasiswa itu lahir pada 1 Mei 1950 di sebuah kota kecil bernama Padang Sidempuan -kini dikenal sebagai Padangsidimpuan- di Sumatera Utara. Anak keempat dari tujuh bersaudara itu merupakan putra dari pasangan Kalisati Siregar dan Anibarsah Hutagalung.

Hariman terlahir di kota kecil di Tapanuli itu karena Kalisati sedang bertugas di Jawatan Perdagangan setempat. Sebagai amtenar, Kalisati pun berpindah-pindah tempat tugas.

Saat Hariman berusia lima tahun, Kalisati dipindahkan ke Medan. Tak lama kemudian, dia memperoleh kenaikan jabatan menjadi Kepala Kantor Wilayah Perdagangan Sumatra Bagian Selatan yang berkantor di Palembang.

Hariman pun ikut pindah ke ibu kota Provinsi Sumsel itu. Dia juga memulai pendidikan dasarnya di Palembang.

Ketika masih duduk di sekolah dasar, Hariman sudah akrab dengan Bahasa Inggris. Orang tuanya menyekolahkannya di SD Methodist English School.

Di SD, Hariman sudah terlihat menonjol. Dr. Amir Hamzah yang juga bersekolah di SD itu menyebut Hariman sangat pintar.

“Cepat menangkap pelajaran,” ujar teman sekelas Hariman di SD Methodist English School itu.

Saat masih di bangku SD pun Hariman sudah dikenal sebagai pembuat ribut. “Kaki dia sering kena pukulan rotan oleh guru kelas,” tutur Hamzah.

Pada 1959, Hariman harus pindah ke Jakarta mengikuti ayahnya yang ditarik menjadi pejabat Departemen Perdagangan. Saat itu belum tamat SD dan usianya baru sembilan tahun.

Oleh karena itu, Hariman menamatkan pendidikan dasarnya di Jakarta. Syahdan, Hariman masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) XIII di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Di area Kebayoran yang waktu itu masih memiliki hutan, Hariman menyalurkan minatnya sebagai pencinta alam. Wilayah Kebayoran berbatasan dengan Ciputat yang masih berupa hutan.

Di SMP, Hariman juga dikenal sebagai murid pintar. Namun, kebiasannya berlaku nakal dan ugal-ugalan tetap berlanjut.

Saat bermain bola atau perkelahian, Hariman yang semasa SMP masih berperawakan kecil selalu tampil paling depan.

“…dalam permainan yang membutuhkan tekad, fisiknya yang kecil tidak menjadi penghalang,” ujar Gurmilang Kartasasmita, salah satu tokoh Malari yang juga teman Hariman di SMP XIII Kebayoran Baru.

Setelah tamat SMP, Hariman masuk ke sekolah menegah atas (SMA). Dia dan Gurmilang menimba ilmu di SMA Negeri 3 Jakarta di Jalan Setia Budi, Jakarta Selatan.

Saat di SMA itulah Hariman mulai berpolitik. Pascaperistiwa G30S/PKI, Hariman kerap mengikuti berbagai demonstrasi Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI).

Gairah Hariman akan politik menjadi-jadi saat dia menjadi mahasiswa. Pada 1968, Hariman masuk ke Fakultas Kedokteran UI.

Namun, sebelumnya Hariman juga sempat mencicipi suasana Institut Teknologi Bandung (ITB). Di Kampus Ganesha itu, Hariman sudah  menjalani mapram -akronim dari masa prabakti mahasiswa- selama dua hari.

Walakin, Hariman terpaksa kembali ke Jakarta karena panggilan dari ayahnya. Kalisati menginginkan putranya itu menjadi dokter.

Meski cuma dua hari di ITB, Hariman meninggalkan jejak yang tak terlupakan oleh kawan seangkatan maupun seniornya. Salah satu kawan serayon Hariman dalam mapram di ITB, Komarudin, menuturkan koleganya itu nyaris baku hantam saat perpeloncoan mahasiswa baru.

Komarudin menuturkan Hariman tiba-tiba mengucap ‘ITB berengsek’ yang langsung memicu amarah salah seorang seniornya. Hariman  dianggap sok jago.

Musuh Hariman dalam pertikaian itu mengaku dari Komering, Sumatera Selatan. Hariman pun menimpali dengan menyatakan asal-usulnya.

“Gue anak Batak. Lu mau apa?” ucap Komarudin menirukan Hariman.

Untungnya cekcok itu tidak berujung perkelahian. Para mahasiswa ITB langsung melerai Hariman dan musuhnya.

Ketika mengikuti mapram di UI, Hariman juga  memperlihatkan jiwa perlawanannya. Senior Hariman di FKUI, Judilherry Justam, menyebut koleganya itu jengkel karena terpicu perintah-perintah dari mahasiswa senior saat perpeloncoan.

“Saya lebih senior satu tahun di FKUI dari Hariman dan melihat bagaimana dia sebetulnya marah dengan perintah-perintah senior yang menjengkelkan saat mapram,” ujar Judilherry.

Saat menginjak semester III di UI, Hariman makin aktif di politik. Meski demikian, dia tidak bergabung dengan organisasi ekstra-kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), maupun lainnya.

Hariman justru bergabung dengan Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) pada pertengahan 1972. Kelompok diskusi itu dimotori Sjahrir dan sejumlah tokoh lainnya.

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang saat itu masih dosen muda didapuk sebagai pemberi kuliah tentang ekonomi. Ekonom ternama itu menganggap Hariman sebagai orator mumpuni yang pemberani.

“Hariman juga tidak mudah gentar, dia sangat berani. Mungkin ini salah satu ciri generasi hariman, enggak ada takutnya,” ujar Dorodjatun.

Memang Hariman yang digolongkan nonpartisan tetap menonjol dalam jiwa kepemimpinan. Saat persaingan memperebutkan kursi ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman justru menang.

Pada 1973, Dema UI menggelar pemilihan untuk mencari ketua baru. Saat itu Hariman sudah kenal dekat dengan Ali Moertopo, salah satu tokoh militer yang juga asisten pribadi (aspri) Presiden Soeharto.

Saat proses pemilihan calon ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman bersaing dengan Ismeth Abdullah dari HMI. Hariman meraih 26 suara, sedangkan Ismeth memperoleh 24 suara.

Kemenangan Hariman membuat HMI kaget. Dia tak menampik kedekatannya dengan Ali Moertopo telah mengantarkannya ke kursi ketua Dewan Mahasiswa UI.

“Pendukung saya sebenarnya, ya, GMNI, PMKRI, GDUI, dan Pak Ali Moertopo,” ujar Hariman dalam Majalah Tempo edisi 48/XXI terbitan 25 Januari 1992.

Meski moncer di kampus, Hariman harus hidup dalam masa-masa penuh cobaan pasca-peristiwa Malari. Dia tidak hanya ditangkap, diadili, dan dipenjara, tetapi juga kehilangan orang-orangnya yang tercinta.

Ketika menjalani penahanan di RTM Budi Utomo, Hariman memperoleh kabar bahwa istrinya, Sriyanti, dalam kondisi mengkhawatirkan di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat. Saat itu Sriyanti dalam kondisi hamil tua.

Sriyanti melahirkan anak kembar. Namun, bayi kembar yang baru lahir itu kembali kepada Sang Khalik.

Pada 29 September 1974, Hariman kembali menerima cobaan. Kali ini ayahnya, Kalisati, meninggal dunia.

Sebelumnya, Kalisati masih menggantikan Hariman menunggui Sriyanti yang dirawat di rumah sakit karena dalam kondisi koma. Menurut Hariman, istrinya sudah kehilangan ingatan.

Kalisati yang sudah sepuh pun kelelahan.  Di samping itu, dia juga memiliki penyakit.

Ayah Hariman dimakamkan pada 30 September 1974 saat Jakarta dipenuhi bendera setengah tiang peringatan G30S. “Namun, itu semua saya anggap saja untuk menghormati mendiang Ayah,” ujar Hariman.

Adapun ayah Sriyanti, Prof Sarbini, juga ditahan hingga 2 tahun lebih karena dianggap terlibat Malari. Meski demikian, tokoh sosialis yang juga guru besar Fakultas Ekonomi UI itu tidak diadili.

Hariman selalu mengenang masa-masa itu sebagai fase terkelam dalam hidupnya. “Kalau ingat masa itu, gue jengkel. Membicarakan ini rasanya tidak menyenangkan. Bayarannya tidak imbang. Semuanya sudah Habis,” ujarnya dalam Majalah MATRA edisi Agustus 1992. (jpnn.com)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : JPNN.com

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler