Program BLT Hanya Pencitraan

Jumat, 02 Maret 2012 – 00:43 WIB

JAKARTA - Pemerintah dinilai sedang berusaha menutupi keterpurukan citranya melalui pemberian kompensasi kenaikan harga BBM dalam program-program bantuan langsung tunai (BLT). Rencana kenaikan harga BBM itu sebagai upaya untuk mengurangi subsidi BBM. Nah subsidi dari APBN itu dialihkan untuk program BLT.

Dalam diskusi mengkritisi rencana kenaikan harga BBM di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (1/3), Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) VII PDIP Daryatmo Mardiyanto, menyatakan program BLT bisa ditebak bahwa Pemerintah sedang berusaha menutupi keterpurukan citranya seperti ditunjukkan hasil survei. "Ini pencitraan saja, seakan-akan pemerintah telah berbuat baik kepada masyarakat," kata Daryatmo.

Padahal yang sebenarnya adalah pemerintah sedang 'memaksa' masyarakat secara keseluruhan untuk menyumbang lebih pendapatannya kepada negara melalui kenaikan harga BBM. Sebab beban yang sebenarnya harus ditanggung negara dalam postur APBN ditanggung oleh berkurangnya subsidi termaksud.

Seandainya pemerintah memang berniat melindungi masyarakat sesuai dengan UUD 1945, lanjut dia, maka seharusnya yang dipertahankan adalah subsidi BBM dan harga BBM murah. "Fungsi subsidi aslinya adalah untuk menunjukkan peran negara. Maksudnya, instrumen yang sebenarnya bagi negara untuk melindungi rakyat ada dalam bentuk subsidi itu, bukan kompensasi atas kenaikan BBM," tandas dia.

Daryatmo juga menjelaskan bahwa tak benar subsidi sebagai faktor yang menjadi beban bagi APBN. Sebab beban subsidi BBM di APBN hanya sekitar 8 persen dari total anggaran, yang nilainya hampir setara dengan pembayaran utang luar negeri.

Sebaliknya, menurut Daryatmo, yang paling besar menjebol anggaran negara justru belanja birokrasi untuk gaji pegawai dan operasional aparat pemerintah yang besarnya mencapai 51,4 persen dari total anggaran.

Sementara Wakil Ketua Komisi VII DPR, Effendy Simbolon mendesak pemerintah untuk terlebih dahulu sejumlah dugaan manipulasi BBM sebelum memutuskan kenaikan harga BBM. Contoh adalah dugaan jual-beli BBM bersubsidi oleh aparat kepolisian di wilayah timur Indonesia dengan PT  PLN.

"Hal-hal seperti ini mempengaruhi pemasukan negara. Janganlah membebankan masalah kepada pundak masyarakat kecil melalui pencabutan subsidi BBM, padahal masalah sebenarnya seperti pengelolaan yang tak beres dibiarkan begitu saja," tegas Effendy.

Pengamat Ekonomi dari Econit Hendri Saparini menyatakan pemerintah seharusnya menghitung dampak dari kenaikan harga BBM terhadap daya beli masyarakat dan ekspor produk. Dengan kenaikan harga BBM, lanjutnya, maka daya beli seluruh kelompok masyarakat akan terganggu.

"Bukan hanya kalangan di bawah garis kemiskinan, yang kelas menengah seperti saya juga terganggu dan tanpa ada kompensasi," tutur dia.

Belum lagi bila dampaknya diperlebar kepada ekspor produk nasional yang gerakannya pasti melambat akibat naiknya harga BBM. "Kalau dihitung-hitung, penghematan BBM, kita katakan Rp30 trilliun. Tapi potensial loss bisa puluhan triliun lebih besar, tandas Hendri.

Kalau rencana pemerintah ini disetujui DPR dengan pengesahan APBN-P 2012, pemerintah berjanji akan memberikan kompensasi kepada masyarakat. Kompensasi ini dalam bentuk membagikan BLT dan beras miskin (raskin). (dms/ind)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PDIP Dukung Incumbent Maju di Pilkada Kalbar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler