YOGYAKARTA – Akuntabilitas peradilan di Indonesia dinilai sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan. Salah satu bukti terlihat dari banyaknya perkara yang diputus menyatakan banding ke tingkat yang lebih tinggi. Bahkan meski Peninjauan Kembali (PK) telah ditempuh, tetap saja ada pihak yang berupaya untuk mengajukan PK kembali, seperti kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, yang divonis 18 tahun penjara atas dakwaan pembunuhan.
“Kalau di Jerman dan Jepang, itu paling tinggi hanya 4 persen yang mengajukan banding. Ini karena putusan Pengadilan Negeri di sana dipercaya oleh masyarakat,” ujar Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, dalam workshop yang digelar The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) bekerjasama dengan United States Agency International Development (USAID) di Yogyakarta, Sabtu (6/7).
Menurut Suparman, kondisi ini terjadi di antaranya akibat proses rekrutmen hakim yang masih sangat lemah. Sehingga tidak heran banyak pihak mengeluhkan kualitas, kuantitas maupun moralitas hakim yang ada. Bahkan, saking sulitnya mencari hakim yang benar-benar baik, Suparman menggambarkannya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
“Proses rekrutmennya tidak pernah disiapkan sungguh-sungguh seperti di Jepang dan Jerman. Kalau di sana, sejak masih mahasiswa telah dididik 10 orang terbaik untuk disiapkan menjadi calon-calon hakim. Tapi saya belum pernah mendengar fakultas hukum di Indonesia memikirkan hal ini,” ujarnya.
Permasalahan lain, volume perkara di Indoesia menurut mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Yogyakarta ini, sangat tinggi dan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang ada. Hal ini terjadi karena semua masalah dapat masuk berperkara di pengadilan.
“Contohnya perceraian, apa perlu masuk ke pengadilan hingga ke tingkat kasasi? Tapi ada kasus berat yang terpaksa diperiksa oleh hakim tunggal. Itu kan jelas tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belum lagi soal sidang-sidang yang dimulainya molor dari jadwal,” ujarnya.
Menghadapi kondisi ini, Suparman menilai tanpa proses rekrutmen dan fasilitas yang memadai, maka prinsip peradilan yang jujur masih sangat sulit dapat dicapai.(gir/jpnn)
“Kalau di Jerman dan Jepang, itu paling tinggi hanya 4 persen yang mengajukan banding. Ini karena putusan Pengadilan Negeri di sana dipercaya oleh masyarakat,” ujar Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, dalam workshop yang digelar The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) bekerjasama dengan United States Agency International Development (USAID) di Yogyakarta, Sabtu (6/7).
Menurut Suparman, kondisi ini terjadi di antaranya akibat proses rekrutmen hakim yang masih sangat lemah. Sehingga tidak heran banyak pihak mengeluhkan kualitas, kuantitas maupun moralitas hakim yang ada. Bahkan, saking sulitnya mencari hakim yang benar-benar baik, Suparman menggambarkannya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
“Proses rekrutmennya tidak pernah disiapkan sungguh-sungguh seperti di Jepang dan Jerman. Kalau di sana, sejak masih mahasiswa telah dididik 10 orang terbaik untuk disiapkan menjadi calon-calon hakim. Tapi saya belum pernah mendengar fakultas hukum di Indonesia memikirkan hal ini,” ujarnya.
Permasalahan lain, volume perkara di Indoesia menurut mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Yogyakarta ini, sangat tinggi dan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang ada. Hal ini terjadi karena semua masalah dapat masuk berperkara di pengadilan.
“Contohnya perceraian, apa perlu masuk ke pengadilan hingga ke tingkat kasasi? Tapi ada kasus berat yang terpaksa diperiksa oleh hakim tunggal. Itu kan jelas tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belum lagi soal sidang-sidang yang dimulainya molor dari jadwal,” ujarnya.
Menghadapi kondisi ini, Suparman menilai tanpa proses rekrutmen dan fasilitas yang memadai, maka prinsip peradilan yang jujur masih sangat sulit dapat dicapai.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... TNI AL Targetkan Menjadi World Class Navy Tahun Depan
Redaktur : Tim Redaksi