jpnn.com - Prosesi Labuhan Merapi digelar untuk memperingati jumenengan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Maknanya sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Labuhan Merapi digelar sehari setelah Labuhan Parangkusumo di pantai selatan. Untuk melarung guntingan kuku, rambut, dan pakaian bekas raja.
---
BACA JUGA: Gunung Merapi Belum Diam tapi Masih Aman
RITUAL labuhan alit Merapi, Minggu (7/4) dimulai di petilasan rumah Mbah Marijan. Bekas juru kunci Gunung Merapi terdahulu, yang tinggal di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan. Iring-iringan abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat bergerak sejak pukul 06.17.
Bersama warga setempat dan beberapa wisatawan, rombongan abdi dalem berjalan mendaki Gunung Merapi menuju lokasi labuhan di Bangsal Sri Manganti. Para abdi dalem pria mengusung uba rampe labuhan berupa kain yang dinamai sinjang cangkring, sinjang kawung kemplang, semekan gadhung, semekan gadhung melati, semekan banguntulak, kampuh poleng ciut, dhestar daramuluk, dan paningset udaraga. Masing-masing satu lembar.
BACA JUGA: Letusan Magmatik Gunung Merapi Belum Penuh
Masih ada lagi uba rampe berupa sela, ratus, lisah konyoh 1 wadah, yatra tindhih 1 amplop, dan ses wangen 10 biji. Tak ada pelana kuda dalam labuhan alit. Pelana kuda hanya ikut dilabuh dalam labuhan ageng.
Abdi dalem perempuan mengusung tenggok berisi nasi gurih dengan ayam ingkung dan aneka penganan.
BACA JUGA: Belum Ada Pergerakan Satwa di Lereng Gunung Merapi
Perjalanannya cukup melelahkan. Memakan waktu sekitar dua jam. Melewati jalur setapak di tepi jurang menganga.
Sesampai di Bangsal Sri Manganti seluruh uba rampe dikeluarkan dari dalam peti merah. Lalu diletakkan di atas lantai oleh seorang abdi dalem sembari menyebutkan nama-nama uba rampe. Lalu dimulailah prosesi labuhan.
Juru Kunci Merapi Mas Kliwon Suraksosihono mengambil peran sebagai pemimpin doa bersama. Mas Asih, sapaannya, mampu membawa suasanya khidmad dan khusyuk. Semua peserta labuhan larut dan menyatu dengan semesta.
Usai doa para abdi dalem membagikan plastik kecil kepada seluruh peserta labuhan. Plastik kecil itu berisi nasi gurih dengan daging ayam suwir, yang juga telah didoai. Dulunya nasi gurih itu ditempatkan dalam pincuk (alas makan dari daun pisang). Tiap peserta dapat satu pincuk untuk dimakan bersama di penghujung acara.
BACA JUGA: Penjelasan Kapolda Soal Bentrok Pendukung 01 dengan FPI di Sleman
Selama ini banyak orang mengira uba rampe yang dilabuh berarti dibuang ke kawah Merapi. Cerita yang beredar, setelah didoai bersama, uba rampe akan dibawa oleh seorang abdi dalem menuju puncak. Sedangkan peserta labuhan lain tetap tinggal di Bangsal Sri Manganti.
Cerita ini dilandasi makna spiritual secara turun-temurun bahwa istilah dilabuh merupakan proses penyerahan uba rampe keraton kepada Eyang Sapu Jagad. Penguasa gunung Merapi. Dilabuh di kawah Merapi, yang mana tempat itu merupakan lokasi bersemayamnya Eyang Sapu Jagad.
Nyatanya tidak demikian. Uba rampe itu kembali dimasukkan dalam peti merah berukuran sekitar 30 cm x 15 cm tersebut. Kemudian dibawa turun dan diberikan kepada siapa pun yang membutuhkannya.
Asih mengatakan, saat labuhan ada semacam prosesi ‘serah terima’ saat di Bangsal Sri Mnganti. Setelah “disampaikan” kepada Eyang Sapu Jagad lalu di-lorot lagi.
“Ini istilahnya lorotane. Jadi bukan dibuang di kawah. Tapi disajikan di situ (Bangsal Sri Manganti). Setelah diterima, kemudian dibawa turun,” jelasnya usai labuhan.
Asih memiliki kewenangan penuh untuk membagikan uba rampe tersebut. Pria paro baya itu menegaskan jika dia tidak pilih-pilih dalam memberikan uba rampe tersebut. “Semuanya dibagi secara adil,” tegasnya.
Tak mudah untuk mendapatkan uba rampe labuhan Merapi. Harus mengantre. Bahkan inden atau memesan terlebih dahulu. Sebab, peminatnya sangat banyak. Antrean bisa bertahun-tahun. ”Syaratnya memang harus sabar. Siapa pun yang butuh pasti dikasih asal mau menunggu giliran,” kata Asih.
Tak ada syarat khusus bagi yang menginginkan uba rampe itu. Tiap tahun yang mendapatkan selalu orang baru. Meskipun Asih tidak tahu persis latar belakang orang yang meminta.
“Karena ini tahun politik, saya tidak tahu yang minta itu caleg atau bukan. Ada juga yang berasal dari daerah lain,” ungkapnya.
Menurut Asih, setiap orang punya tujuan berbeda. Ada yang untuk cendera mata. Ada pula yang untuk ”pegangan”. Bahkan, ada yang untuk syarat lelaku tertentu.
”Semua dilihat barangnya (uba rampe). Kalau pas ada saya kasih. Kalau habis, ya, tunggu tahun depan. Untuk tahun ini sudah ada yang meminta dan sepertinya masih ada sisa,” jelasnya.
Merunut cerita sejarah, labuhan Merapi digelar sebagai syarat penepatan janji antara Sultan Hamengku Buwono I (Panembahan Senapati) kepada Eyang Sapu Jagad. Bahwa setiap tahun akan dihelat labuhan Merapi secara turun-temurun.
Dan perjanian itu masih mengikat hingga saat ini. Dengan pergeseran makna sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum erupsi Merapi pada 2010, labuhan digelar di Pos II (Pos Rudal). Erupsi mengakibatkan jalur pendakian menuju pos tersebut rusak dan sulit dilalui. Sejak saat itu lokasi labuhan dipindah ke Bangsal Sri Manganti yang berjarak sekitar tiga kilometer dari petilasan Mbah Marijan di Kinahrejo.
Saat prosesi labuhan Merapi digelar, gunung aktif itu masih dalam status waspada. Lokasi labuhan di Bangsal Sri Manganti memang mendekati jarak aman berdasarkan rekomendasi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG). Yakni tiga kilometer dari puncak. Kendati demikian prosesi labuhan tetap berjalan sesuai jadwal.
Tak satu pun peserta labuhan terusik informasi guguran lava Merapi. Sebagaimana yang ditunjukkan kamera CCTV pos pantau Merapi pada Jumat (5/4) pukul 18.00 hingga Sabtu (6/4) pukul 06.00. Telah terjadi 4 kali guguran lava dengan jarak luncur 400-950 meter ke arah hulu Sungai Gendol.
“Tak ada prosesi yang berbeda meski Merapi berstatus waspada,” ungkap Asih. “Kekhawatiran ada, tapi sedikit,” sambungnya.
Adapun rangkaian ritual labuhan Merapi diawali penyerahan uba rampe dari abdi dalem Keraton Ngayogyakarta kepada Camat Cangkringan Mustadi Sabtu (6/4). Lalu diteruskan kepada juru kunci Merapi. Selanjutnya uba rampe disemayamkan semalaman di petilasan Mbah Marijan.
Baru keesokan harinya, Minggu (7/4), dilabuh di lereng Merapi. Sebelum labuhan digelar acara budaya berupa pagelaran wayang kulit di Kinahrejo.
"Makna labuhan ini agar kita bersyukur kepada Sang Pencipta. Mohon kepada Allah supaya diberi kesehatan, keselamatan, dijauhkan dari bala," tuturnya.
Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta KRT Widyo Bayu Kusumo mengatakan, labuhan Merapi kali ini secara umum hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Labuhan juga digelar di Gunung Lawu dan Pantai Parangkusumo.
"Labuhan ini sebagai wujud syukur kepada Tuhan dan leluhur yang telah menjaga Gunung Merapi. Sehingga terjalin komunikasi dan harmonisasi," ucapnya.
Bukan hanya uba rampe labuhan yang ingin dimiliki banyak orang. Sesaji labuhan pun jadi incaran. Berupa ingkung, nasi gurih, jenang merah dan putih, serta kembang setaman. Sama halnya dengan uba rampe, sesaji itu dipercaya memiliki berkah.
Sudiyono, 57, warga Magelang, bahkan rela datang sejak pagi untuk ngalap berkah labuhan Merapi. Perjuangannya pun tidak sia-sia. Dia mendapatkan satu plastik kecil nasi gurih lengkap dengan suwiran ingkung, kembang setaman, dan sebatang rokok klembak menyan.
“Nanti ini akan saya simpan,” kata Sudiyono seraya menunjukkan barang yang dia dapat. “Ini bukan syirik,” tambahnya.
Kedatangannya adalah yang keempat kalinya di acara labuhan. Dia bahkan masih menyimpan nasi gurih yang didapatkan empat tahun yang lalu. Katanya, agar usahanya lancar dan anggota keluarga dijauhkan dari bencana.
Terlepas mitos sesaji labuhan, dia percaya Tuhan juga membantu segala usahanya. “Ya semua pasi ada hikmahnya,” ungkap petani sayur yang mengaku tak pernah gagal panen selama empat tahun terakhir ini.
Senada dirasakan Marten Bayu Aji. Pemuda 27 tahun asal Jepara itu baru pertama kali mengikuti prosesi labuhan. Dia juga berniat ngalap berkah. Rencananya, nasi yang dia dapatkan juga akan disimpan.
“Maunya saya pigura dan dipajang. Rencananya kala tahun depan ada kesempatan bakal ke sini lagi,” katanya. Sementara itu, Septi Widya Ariani berpendapat lain. Nasi gurih langsung dimakan.
“Katanya, di dalamnya ada berkah, tapi saya juga tidak tahu,” ungkap perempuan 19 tahun asal Magelang itu. (har/yog)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sejumlah Vegetasi Lereng Merapi Terbakar
Redaktur & Reporter : Soetomo