JAKARTA - Penurunan prospek (outlook) Indonesia oleh lembaga rating Standard and Poor"s (S&P) tak bakal membuat perekonomian nasional suram.
Gubernur Bank Indonesia (BI ) Darmin Nasution mengatakan krisis keuangan global dan lesunya ekonomi dunia tak akan menggoyahkan fundamental perekonomian. ""Kami yakin kinerja ekonomi Indonesia tetap kuat di tengah krisis,"" ujarnya kemarin (3/5).
Untuk menjaga fundamental ekonomi Indonesia, BI akan konsisten menempuh kebijakan moneter secara berhati-hati guna memelihara kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan.
""Dengan begitu ekonomi Indonesia tetap berada di jalur yang tepat dan akan tumbuh lebih baik lagi,"" katanya.
Seperti diwartakan, pada 2 Mei lalu S&P melakukan afirmasi sovereign credit rating Indonesia pada level BB+ long-term (satu tingkat di bawah investment grade), serta menurunkan outlook dari positif menjadi stabil. Alasannya, defisit neraca dagang, meningkatnya utang luar negeri swasta, maupun besarnya subsidi terus membebani fiskal Indonesia.
Sampai saat ini, dari beberapa lembaga pemeringkat internasional, hanya S&P yang belum memberikan status investment grade pada Indonesia. Lembaga lain seperti Moody"s, Fitch, Japan Credit Rating Agency (JCRA), dan Rating and Investment Co, sudah memberikan peringkat investment grade pada Indonesia.
Bagaimana respons BI atas turunnya outlook Indonesia? Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, pihaknya berbeda pendapat dengan S&P dalam melihat perekonomian Indonesia. ""Kondisi ekonomi kita tetap baik dan fundamental tidak banyak berubah,"" ujarnya.
Meski demikian, Halim mengakui bahwa penurunan outlook tersebut menjadi sentimen negatif di pasar yang selanjutnya direspons investor. Itu tecermin dari pelemahan nilai tukar rupiah dari Rp 9.728 per USD pada Kamis (2/5) menjadi Rp 9.740 per USD pada penutupan kemarin (3/5). ""Sentimen pasar memang biasanya begitu, tapi itu biasa saja,"" katanya.
Menurut Halim, penurunan outlook tersebut tidak banyak berpengaruh pada investor asing jangka panjang. Buktinya, aliran dana asing ke instrumen Surat Berharga Negara (SBN) masih tinggi, bahkan naik.
""Investasi langsung masih kuat. Kalau investor yang (orientasi) jangka panjang, pasti tetap datang (ke Indonesia),"" jelasnya.
Ekonom Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa memiliki pandangan tersendiri. Menurut dia, penurunan outlook Indonesia oleh S&P disebabkan tingginya ekspektasi lembaga pemeringkat tersebut pada perekonomian Indonesia.
Ekspektasi tersebut lebih tinggi dibandingkan lembaga pemeringkat lain. ""Moody"s dan Fitch tidak minta kita tumbuh 7 persen, tapi S&P ingin sekali kita tumbuh 7 persen,"" ujarnya.
Staf Ahli Menko Perekonomian Hatta Rajasa ini menyangsikan sistem penilaian yang digunakan S&P. Ini terkait naiknya Filipina ke peringkat investment grade, sedangkan Indonesia justru diturunkan outlook-nya.
""Stabilitas politik di sana (Filipina) masih kurang baik, sedangkan kita stabilitas ekonomi dan politik kita lebih bagus,"" katanya. (owi/oki)
Gubernur Bank Indonesia (BI ) Darmin Nasution mengatakan krisis keuangan global dan lesunya ekonomi dunia tak akan menggoyahkan fundamental perekonomian. ""Kami yakin kinerja ekonomi Indonesia tetap kuat di tengah krisis,"" ujarnya kemarin (3/5).
Untuk menjaga fundamental ekonomi Indonesia, BI akan konsisten menempuh kebijakan moneter secara berhati-hati guna memelihara kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan.
""Dengan begitu ekonomi Indonesia tetap berada di jalur yang tepat dan akan tumbuh lebih baik lagi,"" katanya.
Seperti diwartakan, pada 2 Mei lalu S&P melakukan afirmasi sovereign credit rating Indonesia pada level BB+ long-term (satu tingkat di bawah investment grade), serta menurunkan outlook dari positif menjadi stabil. Alasannya, defisit neraca dagang, meningkatnya utang luar negeri swasta, maupun besarnya subsidi terus membebani fiskal Indonesia.
Sampai saat ini, dari beberapa lembaga pemeringkat internasional, hanya S&P yang belum memberikan status investment grade pada Indonesia. Lembaga lain seperti Moody"s, Fitch, Japan Credit Rating Agency (JCRA), dan Rating and Investment Co, sudah memberikan peringkat investment grade pada Indonesia.
Bagaimana respons BI atas turunnya outlook Indonesia? Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, pihaknya berbeda pendapat dengan S&P dalam melihat perekonomian Indonesia. ""Kondisi ekonomi kita tetap baik dan fundamental tidak banyak berubah,"" ujarnya.
Meski demikian, Halim mengakui bahwa penurunan outlook tersebut menjadi sentimen negatif di pasar yang selanjutnya direspons investor. Itu tecermin dari pelemahan nilai tukar rupiah dari Rp 9.728 per USD pada Kamis (2/5) menjadi Rp 9.740 per USD pada penutupan kemarin (3/5). ""Sentimen pasar memang biasanya begitu, tapi itu biasa saja,"" katanya.
Menurut Halim, penurunan outlook tersebut tidak banyak berpengaruh pada investor asing jangka panjang. Buktinya, aliran dana asing ke instrumen Surat Berharga Negara (SBN) masih tinggi, bahkan naik.
""Investasi langsung masih kuat. Kalau investor yang (orientasi) jangka panjang, pasti tetap datang (ke Indonesia),"" jelasnya.
Ekonom Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa memiliki pandangan tersendiri. Menurut dia, penurunan outlook Indonesia oleh S&P disebabkan tingginya ekspektasi lembaga pemeringkat tersebut pada perekonomian Indonesia.
Ekspektasi tersebut lebih tinggi dibandingkan lembaga pemeringkat lain. ""Moody"s dan Fitch tidak minta kita tumbuh 7 persen, tapi S&P ingin sekali kita tumbuh 7 persen,"" ujarnya.
Staf Ahli Menko Perekonomian Hatta Rajasa ini menyangsikan sistem penilaian yang digunakan S&P. Ini terkait naiknya Filipina ke peringkat investment grade, sedangkan Indonesia justru diturunkan outlook-nya.
""Stabilitas politik di sana (Filipina) masih kurang baik, sedangkan kita stabilitas ekonomi dan politik kita lebih bagus,"" katanya. (owi/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tol Sumatera Segera Dibangun
Redaktur : Tim Redaksi