jpnn.com - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dikenal dengan brand sebagai partai yang kritis terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Saking kritisnya terhadap Anies, PSI diledek sebagai ‘’partai seputar ibu kota’’, karena fokusnya dianggap hanya terbatas di ibu kota dan mengabaikan masalah-masalah nasional yang lebih krusial.
BACA JUGA: PSI Tuding Gubernur Anies Bagikan Kaus Anies Presiden Indonesia kepada Pemudik
PSI layak juga disebut sebagai partai ‘’Anies Haters’’ partai pembenci Anies. Apa saja yang dilakukan Anies nyaris tidak ada yang benar di mata PSI.
Mulai dari sumur resapan sampai pembangunan stadion JIS (Jakarta International Stadium), semua seolah tidak luput dari kritik PSI.
BACA JUGA: Anies Sering Bolos, PSI: Jangan-jangan, Gubernur Sebenarnya
Akan tetapi sayang, beberapa hari terakhir ini PSI yang biasanya gaspol mengritik Anies mulai agak kendur.
Hal itu terungkap dari pernyataan petinggi-petinggi PSI DKI Jakarta yang mempertanyakan strategi perjuangan partai yang fokus menjadi Anies Haters.
BACA JUGA: Anies Bantah Ada Surat Edaran Mengumpulkan ASN di JIS
Strategi ini dianggap tidak tepat karena terlalu fokus kepada Anies dan cenderung mengabaikan persoalan-persoalan nasional yang krusial.
Perpecahan di internal partai politik adalah hal yang jamak. Bukan parpol namanya kalau adem ayem tidak ada konflik. Makin ada konflik makin menarik. Begitu katanya.
Tidak ada satu pun parpol yang tidak punya konflik internal. PSI sebagai partai anak muda milenial pun sudah sukses meniru senior-seniornya yang sering berkonflik di internal partainya masing-masing.
Kritik PSI DKI itu menampol langsung muka elite politik di DPP PSI. Rumor politik berkembang bahwa PSI pecah di dalam. Perbedaan pendapat di kalangan parpol adalah hal biasa, tetapi kalau perbedaan pendapat itu dirilis kepada media dan menjadi terbuka kepada publik hal itu menjadi tidak biasa.
DKI menjadi tulang punggung utama PSI. Keberhasilan mendapatkan 8 kursi di DPRD DKI merupakan prestasi besar bagi partai yang baru lahir.
DKI bisa disebut sebagai lumbung suara dan sekaligus stronghold bagi PSI. DKI menjadi provinsi dengan jumlah kursi terbesar bagi PSI.
Perselisihan antara PSI DKI dengan PSI pusat mirip tarung matahari kembar. PSI DKI mempertanyakan secara terbuka strategi komunikasi PSI pusat yang terlalu fokus kepada Anies.
Banyak pertanyaan dari publik mengenai hal ini. PSI DKI merasa terusik dan mendesak DPP PSI untuk mengubah arah strategi komunikasi politiknya.
Tanda-tanda perpecahan PSI DKI dengan induknya di pusat makin nyata ke publik. Beberapa waktu lalu viral di media sosial seorang pemuda yang membuat konten dengan latar belakang baliho Anies Baswedan, menyebut Anies sebagai ‘’orang Yaman’’.
Sebutan rasis ini dikecam banyak orang, karena anak muda yang membuat konten itu diangap tidak paham mengenai apa yang dibicarkannya.
Menyebut Anies sebagai orang Yaman adalah tindakan SARA yang mengancam kebhinekaan Indonesia. Konten tolol ini banyak menuai reaksi negatif dari netizen dan publik.
Anies Baswedan—seperti biasanya—tidak bereaksi terhadap konten itu. Pembelaan terhadap Anies justru muncul dari sumber yang tidak terduga. Ketua PSI DKI Michael Sianipar secara keras mengecam video itu dan dengan tegas menyatakan bahwa PSI menolak perlakuan rasisme terhadap siapa pun.
Rasisme terhadap Anies berpotensi membawa perpecahan yang dikhawatirkan akan terbawa sampai pada Pilpres 2024.
Rasisme adalah tindakan SARA yang merusak kebhinekaan dan keindonesiaan.
Kader PSI tidak boleh terbawa arus untuk ikut aliran politik yang bernuansa rasis. Tidak seharusnya serangan dan kritikan ditujukan kepada pribadi seseorang berdasarkan latar belakang ras dan etnis. Keterbelahan publik ini harus diakhiri.
Pembelaan penuh empati oleh Michael Sianipar ini bertolak belakang dengan arus politik yang berkembang di internal PSI selama ini.
Pernyataan semacam itu tidak mungkin dilakukan oleh Giring Ganesha yang menjadi ketua umum PSI. Pernyataan Sianipar ini menampol muka Giring yang terkenal anti-Anies dalam setiap tindak tanduknya.
Keberadaan oposisi yang tajam, ‘’fierce opposition’’, dalam sebuah sistem demokrasi akan membuat demokrasi makin sehat, karena proses checks and balances untuk melakukan kontrol dan penyeimbangan terhadap kekuasaan akan berlangsung dengan baik.
Prinsip demokrasi menyaratkan adanya kontrol dan penyeimbangan dari oposisi supaya kekuasaan tidak bertindak semena-mena. Kekuasaan tidak boleh dibiarkan tak terkontrol sehingga menjadi kekuasaan mutlak. Kelangkaan kontrol terhadap kekuasaan akan melemahkan demokrasi.
Kekuasaan yang absolut akan cenderung melakukan korupsi yang absolut juga. Begitu kata adagium Lord Acton. Karena itu keberadaan oposisi menjadi prasyarat utama bagi sebuah sistem demokrasi jika ingin berjalan dengan baik.
Karena itu, posisi PSI yang menempatkan diri sebagai oposisi formal terhadap Anies sangat penting untuk menjaga fungsi kontrol dan keseimbangan.
Bersama dengan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), PSI dikenal sebagai duet maut yang bertindak sebagai oposan Anies di DPRD DKI.
Dengan adanya kontrol dari PSI, Anies makin berhati-hati dalam bertindak. Anies tidak boleh bersikap lengah sedetik pun.
Anies tidak boleh melakukan kesalahan sedikitpun. Kebijakan Anies harus ‘’flawless’’, tanpa salah sedikit pun, supaya tidak memberi peluru kepada PSI untuk ditembakkan. Itulah pentingnya posisi PSI, dan karenanya Anies layak berterima kasih kepada PSI yang sudah memainkan peran oposisi dengan gagah berani.
Orang-orang top seperti politisi dan selebritas yang terkenal pasti punya haters alias para pembenci.
Mereka selalu memberi komentar negatif dan bersikap kritis terhadap apa saja dilakukan orang-orang terkenal itu. Keberadaan haters tentu tidak menyenangkan, tetapi dalam beberapa kasus para haters ini diciptakan untuk mendongkrak popularitas.
Ada yang sengaja men-setting adanya haters dan dibuat seolah-olah memberi reaksi dan komentar negatif. Tujuannya adalah untuk melakukan setting berita supaya popularitas naik karena viral dan trending topic.
Anies tidak perlu menciptakan haters setting-an, karena PSI sudah memainkan peran itu dengan sangat baik tanpa harus dibayar alias gratis.
Beberapa waktu sebelumnya, wakil ketua PSI Tsamara Amany Alatas mengundurkan diri dari partai. Ini merupakan kehilangan yang sangat besar bagi PSI karena Tsamara dikenal sebagai salah satu ikon PSI yang menonjol.
Tsmara mempunyai kapasitas intelektual di atas rata-rata kader dan pengurus PSI. Pengunduran diri Tsmara memunculkan spekulasi adanya atmosfer yang tidak kondusif di tubuh PSI.
PSI berusaha meredam spekulasi itu dengan mengatakan bahwa pengunduran diri seorang kader adalah fenomena lumrah di partai politik. Akan tetapi, publik melihat bahwa pengunduran diri Tsmara bukan hal yang lumrah. Spekulasi makin kuat karena muncul berita mengenai kedekatan suami Tsamara dengan Anies Baswedan.
Tsamara menikah dengan Prof. Ismail Fajrie Alatas, pria Indonesia yang menjadi guru besar kajian Islam di New York University, Amerika Serikat. Dalam berbagai momen terlihat bahwa sang profesor adalah ‘’Anies Lover’’ bukan Anies Hater.
Sebuah video menunjukkan Anies hadir pada pernikahan Tsamara dan terlihat mempelai pria bersalaman dan berpelukan dengan Anies dengan sangat akrab. Beberapa unggahan di akun medos sang profesor juga menunjukkan simpatinya kepada Anies.
Hal ini memicu kemarahan para buzzer yang kemudian menyerang Tsmara dengan isu rasial. Sama dengan Anies, Tsamara disebut sebagai ‘’Orang Yaman’’. Buzzer itu malah menyebut seharusnya orang-orang Yaman dikembalikan ke negara asalnya dan dibersihkan dari Indonesia, seperti yang terjadi dalam proyek ‘’Solusi Terakhir’’ di Jerman semasa Nazi Hitler.
Komentar rasis ini menujukkan sikap kalap dan panik. Para Anies Haters tidak bisa membayangkan bagaimana kalau nanti Tsamara bergabung ke dalam tim Anies pada perhelatan 2024. Sulit dibayangkan oleh para haters bagaimana kalau PSI tidak lagi bersikap kritis nyinyir terhadap Anies.
Bayangan itu menjadi mimpi buruk, dan mimpi buruk itu datang lebih cepat di siang hari bolong. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror