Publik Memang Makin Percaya Jokowi, Tapi...

Senin, 18 April 2016 – 08:28 WIB
Presiden Joko Widodo saat menyerahkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) kepada warga di Kantor Pos Besar Jakarta, November 2014. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - JAKARTA - Presiden Joko Widodo punya modal bagus melanjutkan masa kepemimpinannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan utnuk 3,5 tahun ke depan seiring bersarnya kepercayaan publik. Namun, presiden yang beken disapa dengan nema Jokowi itu juga diingatkan untuk tidak terlena.

Pengamat politik Indonesia dari Australian National University (ANU), Marcus Mietzner mengatakan, setidaknya ada empat persoalan yang berpotensi membalikkan situasi di kemudian hari. Yang pertama adalah inflasi.

BACA JUGA: Survei Terkini: Semakin Banyak Rakyat Percaya Jokowi

Menurut Marcus, inflasi selalu berkorelasi dengan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Inflasi saat ini yang rendah memang memuaskan masyarakat.

Namun menurutnya, hal itu lebih disebabkan karena situasi minyak dunia yang murah. “Jika sudah kembali normal, hal itu akan sangat menyulitkan pemerintah,” ujar Marcus dalam diskusi tentang hasil survei Saiful Murjani Research dan Consulting (SMRC) di Jakarta, Minggu (17/4).

BACA JUGA: Soal Penyanderaan, Pemerintah Harus Simak Saran ini


Ia menjelaskan, pengalaman serupa pernah dirasakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2008. Kala itu harga minyak dunia meroket, sehingga memaksa SBY menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.

Imbasnya adalah merosotnya kepercayaan publik terhadap SBY. “Beruntung 2009 harga minyak dunia turun, sehingga SBY bisa menurunkan kembali harga minyak,” tuturnya.

BACA JUGA: Transfer Baasyir dan Freddy Lewat Pondok Cabe

Persoalan kedua yang harus diwaspadai adalah stabilitas politik. Keberhasilan Jokowi menggandeng musuh-musuh politiknya memang membuat stabilitas politik nasional terjaga.

Namun jika ditarik ke belakang, koalisi ramping merupakan janji Jokowi. “Ini memudahkan lawan politiknya di 2019 nanti untuk menyudutkannya,” terangnya.

Ketiga terkait BPJS. Menurutnya, rendahnya iuran saat ini tidak akan mencukupi kebutuhan anggaran. Apalagi pengguna BPJS ke depannya akan semakin banyak dan membuat anggaran semakin bengkak.

Marcus pun memprediksikan BPJS akan menjadi persoalan serius dalam beberapa tahun ke depan.

Terakhir yang menyangkut infrastruktur. Meski banyak infrastruktur yang dibangun, namun mayoritas baru pada tahapan peluncuran. Bahkan tidak sedikit di antaranya yang terkendala pembebasan tanah. Sehingga diprediksi, akan banyak proyek yang belum selesai pengerjaannya hingga tahun 2018 mendatang.

“Ini yang akan ditagih masyarakat. Ini cukup berisiko juga,” kata pria berkebangsaan Australia itu. Terlebih, keuntungan ekonomi dari pembangunan yang banyak dilakukan di luar Jawa itu tidak dirasakan diwaktu yang cepat.

Pengamat politik dari CSIS, J Kristiadi mengaku sepakat soal adanya persoalan yang berpotensi membalikkan keadaan. Yang paling terlihat saat ini menurutnya adalah defisif APBN 2016 yang mencapai Rp 300 triliun.

Menurutnya, jika persoalan itu tidak segera dicarikan solusinya maka akan muncul persoalan besat. Untuk itu, dia meminta agar tingginya kepercayaan dan stabilitas politik saat ini dimanfaatkan Jokowi untuk mengambil alih kepemimpinan dan mengambil keputusan-keputusan besar.

“Salah satunya tax amnesty. Jokowi harus meyakinkan tax amnesty bisa segera dilakukan,” ujarnya.

Sebelumnya SMRC merilis tingkat kepercayaan masyarakat kepada Jokowi yang mencapai 72 persen. Angka itu meningkat drastis dibandingkan Desember 2015 yang hanya 63 persen. Bahkan, pada Juni 2015, angka kepercayaan kepada Jokowi sempat berada di angka 55 persen.(far/kim/jpg/ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Penanda Sukses Malam Wonderful Indonesia di Anhui


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler