jpnn.com - BANYAKNYA narapidana mati di Nusakambangan memberikan lahan bisnis bagi Suhendro Putro. Sejak sepuluh tahun lalu dia menjadi langganan pihak lembaga pemasyarakatan untuk menyiapkan peti khusus buat para terpidana itu. Apa keistimewaan peti Suhendro?
Laporan Ariski Prasetyo Hadi, Cilacap
BACA JUGA: Menilik Upaya Jepang Menambah Jumlah Penduduknya
Personel ekesekusi gelombang kedua terus dilakukan Kejakasaan Agung (Kejagung) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Mulai lapas yang ditunjuk menerima terpidana mati hingga pengamanan di Dermaga Wijaya Pura, Cilacap. Semuanya dipersiapkan secara matang agar eksekusi berjalan lancar saat hari H.
Tak tertinggal soal penyiapan peti bagi jenazah terpidana mati pascaeksekusi. Peti mati harus dipastikan sudah siap sebelum prosesi tembak mati dilaksanakan. Sebab, ketika peluru sudah menghunjam ke jantung dan terpidana dinyatakan mati oleh tim dokter, jenazah dimasukkan ke peti yang sesuai dengan ukuran badan si terpidana.
BACA JUGA: Mayjen Daniel Tjen, Satu-satunya Jenderal TNI yang Merayakan Imlek
Nah, di situlah peran Suhendro Putro. Pria kelahiran Cilacap itu sudah hafal betul keinginan pemesannya (pihak lapas) terhadap peti yang harus disiapkan sebelum eksekusi dilaksanakan. Hebatnya, dialah satu-satunya penyedia peti di Cilacap yang sanggup memenuhi pesanan sesuai standar yang diinginkan.
”Maaf, saya baru menanyakan peti mati di Jogjakarta,” ujar Suhendro saat ditemui di tempat kerjanya di kompleks Gereja Kristen Jawa (GKJ), Jalan Dr Wahidin, Cilacap, Kamis (19/2).
BACA JUGA: Badrodin Kecil Suka Nonton Wayang, Duduknya dekat Dalang
Menjelang pelaksanaan eksekusi mati gelombang kedua (berkisar 12-15 terpidana mati kasus narkoba), kesibukan Suhendro memang bertambah. Dia mesti menyiapkan segala sesuatunya agar peti yang dibuat sesuai yang diinginkan. Dia lalu menunjukkan empat peti yang sudah jadi di gudang sebelah gereja. Tiga peti berukuran standar, sekitar 2 x 1 meter. Sedangkan satu peti lainnya berukuran jumbo, agak lebih besar.
”Ya, sesuai dengan ukuran masing-masing terpidana,” kata pria 62 tahun itu.
Peti-peti tersebut sudah siap untuk digunakan. Bahkan, sudah dihiasi dengan kain putih berenda yang menutupi seluruh permukaan peti. Juga, ada dua guling kecil di dalamnya. Guling itu dipakai untuk menyangga agar jenazah tidak miring saat diangkat. Selain itu, Suhendro menyiapkan salib bagi jenazah yang beragama Nasrani. ”Kalau lapas minta segera dikirim, ya bisa langsung dikirim,” ucapnya.
”Karir” Suhendro sebagai penyedia peti mati bagi lapas di Nusakambangan berjalan sejak 2005. Awalnya dia dikenal karena menjadi penyedia peti mati bagi 28 gereja di Cilacap. Usahanya berkembang pesat. Tidak sedikit jemaat gereja yang memesan peti mati kepada Suhendro lantaran garapannya bagus dan harganya terjangkau.
Dari situlah nama Suhendro terdengar sampai ke lapas-lapas di Nusakambangan. Maka, sejak 2005 dia mulai kebanjiran pesanan peti dari lapas. Awalnya untuk peti para napi yang meninggal saat menjalani masa tahanan di lapas. Namun, pada tahap berikutnya, dia juga mendapat order untuk menyiapkan peti bagi para terpidana mati yang diesksekusi di Nusakambangan.
Pelayanan Suhendro yang cepat dan bagus membuat pihak lapas puas. Pesanan peti terus mengalir setiap bulan. Sampai akhirnya dia ditunjuk secara resmi sebagai penyedia peti mati bagi para narapidana yang menjalani masa hukuman di pulau terpencil itu.
Setiap order, Suhendro harus memastikan peti-peti tersebut layak untuk rumah terakhir jenazah itu. Baik dari kualitas bahan yang digunakan maupun ukurannya. Guna mendapatkan barang yang bagus, dia menyempatkan seminggu sekali bolak-balik Cilacap–Jogjakarta untuk mencari peti mati. ”Selain itu, untuk stok di gereja,” tuturnya.
Dalam sebulan, pesanan yang diterima Suhendro dari tujuh lapas di Nusakambangan minimal dua peti. Peti-peti itu dipakai napi yang meninggal karena sakit. Namun, awal tahun ini order yang harus disiapkan Suhendro berlipat. Pasalnya, ada eksekusi mati untuk para terpidana narkoba. Pada gelombang pertama 18 Januari lalu, misalnya, Suhendro harus menyiapkan lima peti untuk terpidana mati narkoba yang dieksekusi di Nusakambangan.
Pada gelombang kedua, yang jadwal eksekusinya belum pasti, dia mendapat pesanan lebih dari sepuluh peti. ’’Kalau sewaktu-waktu dibutuhkan, saya sudah siap petinya,’’ ujar dia.
Suhendro lalu menceritakan pengalaman menyediakan peti mati untuk lima terpidana pada 18 Januari lalu. Koordinator Badan Kerja Sama Gereja Cilacap itu menjelaskan, tiga hari menjelang eksekusi, Polres Cilacap menghubungi dirinya. Polisi meminta dia menyediakan lima peti mati dalam waktu sehari. Sebab, besoknya peti tersebut akan diambil untuk diserahkan ke lapas. Saat itu Suhendro langsung mengiyakan permintaan tersebut. Karena stok peti tinggal tiga buah, dia langsung menghubungi perusahaan langgananya di Jogjakarta.
Namun, ketegangan sempat muncul. Sebab, perusahaan itu tidak bisa menyediakan dua peti mati dalam hitungan 24 jam. Suhendro pun dibuat bingung dengan kondisi tersebut. Dari pagi hingga petang dia mendatangi satu per satu perajin peti mati yang ada di Cilacap. Lagi-lagi mereka menyatakan tidak sanggup bila diminta menyediakan peti mati dalam satu hari. Untung, ada kerabat yang memberikan informasi bahwa Gereja Kemal Injil Indonesia Cilacap mempunyai stok peti mati.
”Langsung saya beli dua peti mati itu,” paparnya.
Esoknya, lima peti mati itu pun langsung dikirim ke Nusakambangan dan disiapkan di dekat lokasi eksekusi.
Suhendro menyatakan, peti yang digunakan untuk terpidana mati tidak ada yang spesial. Sama dengan peti yang digunakan untuk tahanan yang meninggal karena sakit. Yang berbeda adalah peti untuk jenazah muslim dan nasrani. Untuk nasrani, peti dilengkapi tanda salib. Untuk ukurannya, ada dua tipe, yakni normal dan jumbo.
Peti berukuran normal digunakan untuk terpidana mati asal Indonesia dan Asia. Sebab, tinggi badannya biasanya sama. Peti yang jumbo rata-rata digunakan untuk terpidana mati dari negara-negara yang mempunyai struktur tubuh tinggi dan besar.
"Misalnya, orang Nigeria yang tubuhnya tinggi-tinggi," ucapnya.
Agar tidak salah tipe peti, terpidana yang akan dieksekusi harus menjalani pengukuran tinggi badan lebih dulu. Suhendro sendiri yang mengukur. Dia pernah mendapat pengalaman unik ketika lapas memesan peti untuk tahanan dari Belanda. Saat itu, dia yakin peti yang digunakan berukuran jumbo. Setelah meluncur ke lapas dan jenazah dibaringkan ke dalam peti, ternyata tidak cukup.
"Akhirnya, terpaksa peti kami panjangkan,’’ ungkapnya.
Menjelang eksekusi terpidana mati gelombang kedua, Suhendro menyatakan belum mendapat pesanan dari Polres Cilacap. Meski begitu, dia sudah siap bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Menurut rencana, Kejagung mengeksekusi 12–15 terpidana mati. Jumlah resminya belum diumumkan.
"Pokoknya, begitu jadwal dan jumlah terpidananya sudah pasti, saya langsung siapkan,’’ tambahnya.
Bukan hanya penyedia peti, suami Maria Suciati da Andel itu punya tugas lain. Yaitu, memandikan jenazah yang sudah dieksekusi mati. Suhendro mengungkapkan, pada eksekusi pertama 18 Januari lalu, dia memandikan tiga jenazah. Yakni, Marco Archer Cardozo Moreira asal Brasil, Daniel Enemua dari Malawi, dan Ang Kim Soe alias Tommi Wijaya, warga Belanda.
Dia menjelaskan, memandikan jenazah eksekusi mati lebih mudah daripada jenazah yang mati lantaran sakit. Diperlukan ketelatenan ketika memandikan tahanan yang mati karena sakit. Sebab, terkadang mayat mengeluarkan cairan dari dalam tubuh. Baik dari kulit maupun mulut.
"Tidak boleh jijik," tegasnya.
Jenazah yang dieksekusi mati lebih bersih. Sebelum jenazah dimandikan, dokter akan menjahit luka bekas peluru. Biasanya ada empat titik jahitan. Nah, ada yang menarik dari pengalaman Suhendro memandikan tiga jenazah terpidana mati tersebut.
"Ketiga jenazah dalam kondisi tersenyum semua. Tidak ada yang tampak kesakitan. Puji Tuhan," ujarnya.(*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KH Hasan Makarim 24 Tahun Jadi Pendamping Terpidana Mati di Nusakambangan
Redaktur : Tim Redaksi