Seniman Abdul Rais

Pulkam Demi Mengenalkan Morotai Lewat Sentuhan Tangan

Rabu, 22 November 2017 – 10:15 WIB
Abdul Rais (tengah) bersama rekan sesama pegiat Sanggar Tigalu menunjukkan lampu hias dari batok kelapa. Foto: SAMSUDIN CHALIL/MALUT POST/JPNN.com

jpnn.com - Kemampuan seni rupa Abdul Rais sudah diakui bahkan hingga ke Jakarta. Namun itu tak membuatnya jemawa. Seniman ini lebih memilih pulang kampung (Pulkam), berkecimpung dengan hidup apa adanya, demi mengenalkan Morotai lewat sentuhan tangannya.

Samsudin Chalil, Daruba

BACA JUGA: Gelar Kerakyatan untuk Kenang Tedja

Papan nama Sanggar Rupa Tigalu terpancang di halaman sebuah rumah yang tengah dalam proses pembangunan. Rumah di Desa Wawama, Kecamatan Morotai Selatan itu milik Abdul Rais. Di kampungnya, ia dikenal sebagai seniman yang mendirikan sanggar seni tersebut.

Sanggar Tigalu memanfaatkan batok kelapa yang banyak terdapat di Pulau Morotai untuk disulap menjadi kerajinan multifungsi. Rais dan rekan-rekannya mengubah tempurung kelapa menjadi lampu hias bermacam bentuk. Kreasi bentuk disesuaikan dengan muatan lokal, menonjolkan kekhasan Morotai.

BACA JUGA: Kemenpar Gelar Penguatan Jejaring Wisata Morotai

Mulai dari motif Anggrek Wayabula, Burung Bidadari, ikan, kerbau, hingga kodok. Variasi bentuknya mencapai puluhan jenisnya. Bahkan bisa disesuaikan dengan keinginan pemesan.

”Untuk tipe lampu hias hampir semua jenis flora dan fauna sudah saya buat. Kalau ada yang pesan tinggal tentukan saja, mau hiasan lampu hias tipenya seperti apa," ungkap Rais yang kini berusia 37 tahun, Sabtu (18/11).

BACA JUGA: Biarkan Para Seniman Jalanan Tetap pada Habitatnya

Deretan kerajinan tangan hasil karya Sanggar Tigalu. Foto: SAMSUDIN CHALIL/MALUT POST/JPNN.com

Sanggar Tigalu, yang merupakan akronim dari Tifa Galela Memanggil, baru didirikan September lalu. Adalah Bupati Pulau Morotai Benny Laos yang mendorong berdirinya sanggar ini. Benny yang melihat bakat Rais menawarinya membuat wadah yang nantinya bisa mendapatkan donor dari pemerintah.

”Akhirnya saya ajak 11 teman lainnya untuk membentuk sebuah perkumpulan yang dinamakan Sanggar Rupa Tigalu. Filosofi nama Tigalu ini didasarkan pada kegunaan tifa yang juga dapat digunakan untuk memanggil orang berkumpul. Jadi sanggar ini siap menerima siapa saja yang ingin datang belajar dan ingin berkarya sebagai seniman,” tuturnya.

Kenyataannya, dari 12 orang yang awalnya tergabung dalam sanggar, perlahan menyusut hingga tersisa empat orang. Selain Rais, ada Risman Kapitan Hitu, Iwan Suge, dan Arifin. Hal ini sempat memukul batin Rais. Namun dari situ pula dia tahu, siapa saja yang serius menekuni dunia seni.

”Yang berhenti itu karena tidak sabar. Tapi wajar saja jika mereka tidak sabar, karena memang sejak didirikan hingga kini sanggar ini belum memiliki pemasukan. Yang ada cuma pengeluaran,” kata suami Diana Can itu seraya tertawa.

Tak tanggung-tanggung, pengeluaran yang ada sudah mencapai angka Rp 10 juta. Kebanyakan digunakan untuk membeli perlengkapan membuat kerajinan.

“Ketika dapat uang, entah sumbangan atau ada yang beli lampu hias, tidak kita simpan. Langsung beli bahan seperti lem dan tempurung,” jelas Rais.

Alhasil, bapak dua anak ini berani mengatakan sanggar tersebut bertahan hanya bermodalkan sabar dan dukungan istri. ”Sebab istri-istri kami harus super pengertian. Setiap hari kerja tidak ada pemasukan, yang ada hanya pengeluaran,” kata Rais yang diamini rekannya Risman.

Risman menambahkan, keinginannya bergabung dengan Sanggar Tigalu murni untuk menjadi perupa. Mengukir berbagai bahan baku yang ada di Morotai untuk dijadikan kerajinan.

“Kalau kita kerja di sanggar ini motivasinya uang, maka saya dan dua teman tidak mungkin bertahan sampai saat ini. Karena kita sudah berkeluarga dan setiap hari harus menafkahi anak istri. Tapi selama bekerja di sanggar ini memang belum pernah ada pemasukan atau pendapatan yang bisa dibawa pulang ke rumah," tuturnya.

Ya, Rais dan ketiga rekannya, ditambah keluarga mereka, adalah orang-orang yang sama-sama diliputi optimisme. Pertimbangannya, Morotai sebagai 1 dari 10 destinasi prioritas pemerintah Indonesia akan mendatangkan wisatawan secara kontinu. Dan Sanggar Tigalu siap menjadi penyedia oleh-oleh khas Morotai.

“Intinya, kita tidak mau tiba saat tiba akal. Jadi kalau ke depan potensi wisata sudah terbuka, maka kita juga sudah siap memperkenalkan hasil karya dari Morotai ke wisatawan," kata Rais.

Rais sendiri pernah jatuh bangun di perantauan untuk membuktikan bakat seninya. Pada 1999, ia pertama kali menapaki karirnya senimannya di ibukota. Setahun kemudian, Rais kembali ke Morotai untuk menikahi pujaan hatinya, Diana. Ia lalu kembali ke Jakarta untuk melanjutkan panggilan jiwanya.

“Saya pernah ikut kursus di ITB untuk belajar seni lukis. Bahkan untuk mencari tahu cara membuat tinta motif lukisan di kain, saya nekat masuk kerja di salah satu pabrik pembuat hiasan kain batik," kisahnya.

Kenekatan pula yang mendorong Rais ikut lomba mendesain batik di bodi sepeda motor Mio pada 2004. Hasil kreasinya lantas dinobatkan sebagai juara 1.

“Saya melukis batik bermotif Anggrek Wayabula. Setelah juara, ditawari jadi pelukis di salah satu sanggar di Jakarta. Tapi saya tolak karena ingin kembali dan mengembangkan hasil karya di daerah sendiri,” tuturnya.

Sekembalinya ke Morotai, uang hasil perantauan bisa digunakan Rais untuk membangun rumah. Ia mengaku beruntung memiliki istri yang begitu pengertian. ”Keuntungan saya adalah memiliki istri yang penuh pengertian, sehingga saya tinggalkan berbulan-bulan, bahkan tahun, tapi tidak pernah ada kata mengeluh," pujinya.

Pada 2015 lalu, Rais berkreasi dengan koran bekas untuk membuat kerajinan. Karyanya dibeli Dinas Keluarga Berencana (KB) senilai Rp 5 juta. Setahun berikutnya, Dinas KB kembali memintanya membuat kerajinan baru. Rais lantas mendapat inspirasi memanfaatkan batok kelapa. 12 lampu hias bermotif ombak dan Anggrek Wayabula pun diboyong ke Bali untuk mengikuti pameran.

”Awalnya saya dibayar Rp 5 juta untuk 12 lampu hias. Tapi ternyata di Bali turis-turis memborong lampu itu Rp 1,5 juta per buah. Setelah tim Dinas KB kembali, mereka memberikan saya uang tambahan Rp 3 juta,” kenang Rais sambil tertawa.

Dengan bakatnya, Rais berharap dapat mengajak rekan-rekannya berkomitmen membangun pusat oleh-oleh khas Morotai. Selain pemandangan alamnya, ia merasa Morotai layak dipromosikan melalui kerajinan tangan. ”Terutama yang bahan bakunya mudah didapat di Morotai,” tandasnya.(din/kai)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Buktikan Ada Surga Tersembunyi di Bawah Laut Morotai Lewat Kontes Foto


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Seniman   Morotai  

Terpopuler