jpnn.com, JAKARTA - Suka atau tidak, faktanya masyarakat Indonesia masih memiliki tingkat literasi dan edukasi yang relatif rendah terhadap produk keuangan.
Fakta ini diperkuat oleh data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan literasi keuangan Indonesia di tahun 2022 hanya mencapai 49,6 persen, meskipun inklusi keuangannya sudah mencapai 85.1 persen.
BACA JUGA: Proteksi Penting Dimiliki, Ini Kriteria Asuransi Penyakit Kritis Terbaik Â
Financial Advisor sekaligus Co-Founder Purwantara Aidil Akbar Madjid menyebut rendahnya literasi keuangan pada masyarakat Indonesia juga berdampak pada minimnya pemahaman terhadap produk asuransi.
Akibatnya, banyak yang kemudian menganggap asuransi tidak penting, bahkan ada yang sampai menghitung untung-rugi jika tidak melakukan klaim dari premi yang rutin dibayarkan.
BACA JUGA: Dirut Asuransi Jasindo Paparkan Capaian Hasil Kinerja 2023, Wow!
Aidil mengaku sering menyampaikan di banyak kesempatan, bahwa punya asuransi itu mirip seperti punya ban serep atau ban cadangan pada mobil.
”Ketika kita menjual mobil tanpa pernah menggunakan ban serep tersebut, apakah kemudian kita merasa rugi? Tentu tidak. Sebaliknya, kita justru beruntung karena artinya, selama memiliki dan mengendarai mobil tersebut, belum pernah ada kejadian yang mengharuskan kita menggunakan ban serep. Jadi, apa yang sebenarnya didapatkan dengan mempunyai ban serep? Tidak lain adalah peace of mind, atau perasaan aman dan damai bahwa jika ban kita mengalami kerusakan di jalan, maka kita tidak perlu khawatir membawanya ke bengkel karena langsung terlindungi oleh ban serep di saat genting,” ujar Aidil.
BACA JUGA: Dukung Program OJK, ACC Syariah Menggelar Talk Show Literasi Keuangan
Nah, apabila ban serep dianalogikan sebagai pemberi rasa aman dan nyaman saat berkendara, lantas siapa yang dapat memberikan hal serupa saat menjalani kehidupan dan dapat melindungi masyarakat dari risiko yang bisa saja terjadi secara mendadak?
Di sinilah asuransi berperan memberikan rasa tenang, yakni melalui jumlah premi terkumpul sebagai nominal perlindungan yang disepakati dalam polis, untuk kemudian dibayarkan kepada pemegang polis (asuransi kesehatan) atau keluarganya (asuransi jiwa) saat nasabah mengalami sebuah risiko.
Alhasil, kondisi finansial pun akan senantiasa terlindungi meski terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sebenarnya, lanjut Aidil, solusi atas risiko finansial dapat dipersiapkan dari dana milik pribadi. Akan tetapi, jika belum memiliki dana dan aset yang cukup, maka semua biaya kebutuhan dan perencanaan masa depan pasti akan terasa mahal. Terlebih dengan biaya kesehatan yang saat ini sudah semakin meningkat.
Sebagai contoh, salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia yang kerap ditemukan di usia produktif, yaitu Diabetes Melitus, menghabiskan rata-rata biaya dukungan pengobatan hingga Rp7,5 triliun dari anggaran kesehatan negara pada tahun 2022, dengan asumsi per orang mendapat perlindungan senilai Rp12,5 juta.
Sedangkan, dengan membayar premi asuransi mulai dari Rp500 ribu per bulan, nasabah bisa mendapatkan perlindungan hingga Rp1 miliar.
Menurut Aidil, dalam konsep dan ilmu perencana keuangan, memiliki asuransi atau proteksi perlu menjadi prioritas sebelum mulai berinvestasi.
Pasalnya, investasi bisa dilakukan dalam jangka panjang hingga puluhan tahun, berbeda dengan risiko kehidupan yang bisa datang kapan saja.
Misalnya, ketika seseorang baru saja mencicil dana investasi tapi kemudian harus menghadapi risiko tidak terduga, yang sering terjadi adalah kondisi finansial goyah sehingga cicilan terpaksa dihentikan. Bahkan, tak jarang total dana investasi harus ditarik untuk menutupi biaya dari risiko yang tengah dihadapi.
“Itulah sebabnya memiliki proteksi sebelum berinvestasi dalam konsep perencana keuangan tidak bisa ditawar, dan kita membutuhkan pihak ketiga untuk membantu melindungi diri dan keluarga secara finansial. Bahasa kerennya, kita memindahkan atau mentransfer risiko kepada pihak lain, dalam hal ini perusahaan asuransi, dengan cara membayar premi sebagai jaminan perlindungan finansial terhadap risiko yang tidak terduga. Pada praktiknya, kontrak asuransi terjalin atas dasar kepercayaan pihak tertanggung [pemegang polis] kepada penanggung [perusahaan asuransi],” ujar Aidil.
Dilansir dari situs Pahami Bareng, asuransi memiliki prinsip iktikad baik atau utmost good faith yang harus dipegang secara penuh oleh kedua belah pihak, yaitu perusahaan asuransi dan nasabahnya.
Lalu apakah yang dimaksud dengan iktikad baik itu? Dari sisi perusahaan asuransi, beriktikad baik artinya melindungi nasabah dan menyampaikan detail produk sebaik-baiknya.
Sementara dari sisi nasabah, beriktikad baik berarti membeli asuransi untuk mengganti kerugian finansial dan menyampaikan informasi secara jujur pada screening risiko sebelum membuat kesepakatan.
“Kata kuncinya adalah mengganti kerugian finansial, bukan mencari keuntungan,” ujar Aidil.
Aidil juga menjelaskan apabila seseorang tidak memiliki asuransi yang sesuai dengan kebutuhan, hal itu bisa saja berdampak pada kondisi keuangannya.
Misal, kata dia, bagi individu yang belum menikah dan belum memiliki tanggungan, maka mempunyai asuransi kesehatan menjadi sangat penting dan wajib.
Sebab dengan banyaknya impian dan financial goals yang ingin dicapai, semua akan buyar seketika apabila mengalami penyakit tertentu, yang proses pengobatannya berpotensi merogoh tabungan.
Sedangkan bagi yang sudah menikah ataupun keluarga baru, asuransi kesehatan menjadi wajib dimiliki oleh suami dan istri karena kondisi finansial harus benar-benar terjaga untuk dapat mewujudkan perencanaan keluarga di masa depan dan mencapai keinginan lainnya.
Jangan sampai financial goals terhambat karena risiko sakit yang dapat mengakibatkan cicilan terbengkalai atau terhambatnya investasi rutin yang dilakukan bulanan.
Dalam memanfaatkan asuransi kesehatan, nasabah bisa mengkombinasikan antara BPJS kesehatan dengan asuransi dari tempat bekerja serta ditambah dengan asuransi pribadi bila diperlukan.
Contoh, apabila salah satu anggota keluarga harus menjalani rawat inap, memiliki asuransi bisa mencegah penggunaan tabungan yang sudah terkumpul untuk membayar biaya pengobatan.
Dengan demikian, ketika telah pulih, tabungan dan investasi yang telah dilakukan tetap bisa digunakan untuk mencapai financial goals tanpa harus terusik biaya perobatan rumah sakit.
Kemudian, bagi keluarga yang sudah memiliki anak, wajib untuk memiliki asuransi kesehatan maupun jiwa.
Persiapan dana pendidikan dan masa depan anak menjadi prioritas dalam rumah tangga. Jangan biarkan musibah sakit ataupun kematian kepala keluarga menjadi alasan hilangnya masa depan anak tercinta.
Asuransi kesehatan dan jiwa dapat melindungi potensi kerugian finansial yang diakibatkan risiko sakit dan kematian tersebut.
“Jangan lupa bahwa fungsi dari asuransi adalah untuk mengganti kerugian, bukan untuk mencari keuntungan. Maka, pola pikir ‘rugi beli asuransi karena tidak klaim’ jelas salah dan melanggar IKTIKAD baik. Jadi, pergunakanlah produk asuransi dengan bijaksana sesuai polis yang disepakati. Banyak sekali manfaat yang bisa didapatkan oleh sebuah produk asuransi bila kita meyakini dan memahami serta menggunakannya sesuai dengan kebutuhan dan profil risiko kita,” pungkas Aidil.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari