jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian di bawah komandi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memperhatikan perkembangan produksi tanaman obat, salah satunya jahe.
Jahe (Zingibar officianale) termasuk tanaman obat unggul nasional selain kunyit dan kapulaga.
BACA JUGA: Kementan: Target Luas Tanam 5,16 Juta Hektar, Kebutuhan Pupuk Subsidi Aman
Dirjen Hortikultura Prohasto Setyanto menilai pada masa pandemi Covid 19, menunjukkan prospek harga yang bagus karena permintaan meningkat.
Produksi jahe nasional dalam kurun 2017-2020 cukup stabil, berkisar 174 – 216 ribu ton per tahun atau rerata 195 ribu ton per tahun.
BACA JUGA: Tingkatkan Pelayanan, UPT Pelatihan Kementan Diminta Ciptakan Inovasi Baru
"Terhitung dua tahun sebelumnya, produksi jahe dalam negeri pernah mencapai angka fantastis, yaitu 313 ribu ton pada 2015 dan 340 ribu ton pada 2016", ujar Prihasto, Sabtu (17/4).
Kementerian Pertanian mulai 2021 mengembangkan kawasan jahe terintegrasi dari hulu sampai hilir melalui program Kampung Tanaman Obat guna mendukung produksi dan produktivitas jahe di dalam negeri.
"Kampung ini termasuk dalam program Kampung Hortikultura secara keseluruhan," kata dia.
Prihasto menjelaskan, target Kampung Jahe pada 2021 seluas 305 hektare, tersebar di 53 kampung/desa dari 47 kabupaten/kota di 22 provinsi.
Pengembangan Kampung Obat ini selain dialokasikan di wilayah sentra, juga merupakan pengembangan kawasan baru dan mendukung program Grand Design Alternative Development tanaman psikotropika ke komoditas tanaman obat.
"Lokasinya berada di Bireun, Aceh Besar dan Kapuas Hulu," beber Prihasto.
Dia juga mengatakan, secara lengkap ke 22 provinsi yang mendapat alokasi Kampung Jahe antara lain Jabar, Jateng, Jatim, DIY, Banten, Bali, Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, NTB, NTT, Kalbar, Kalsel, Kaltim, Kalteng, Sulsel dan Papua.
Berdasarkan informasi petugas data dan informasi dinas pertanian provinsi pada Pembahasan Angka Sementara SPH Tanaman Biofarmaka 2020 pada Februari lalu, penurunan produksi jahe di beberapa wilayah disebabkan antara lain rendahnya produktivitas.
Selain itu adanya alih tanam komoditas ke jenis yang lebih komersial yang berumur pendek serta terjadinya alih fungsi lahan.
"Kami pernah melakukan pertemuan dengan stakeholder terkait untuk membahas neraca jahe selama tiga tahun terakhir," kata dia.
Menurut Direktur Sayuran dan Tananam Obat, Tommy Nugraha pada pertemuan dengan stakholder terkait diketahui neraca jahe selama 2019 - 2021 bernilai positif.
"Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan jahe di dalam negeri masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan baik konsumsi langsung, industri, ekspor serta benih,” ujar dia.
Hal tersebut dibenarkan Manajer Budidaya Tanaman PT. Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul,Tbk., Bambang Supartoko, bahwa kebutuhan jahe dalam negeri dilihat dari data produksi dan ketersediaan masih mencukupi bila dikelola dengan baik.
"Meskipun demikian akan menjadi masalah apabila standar mutu dan masa panen yang belum stabil. Hal ini berkaitan dengan budidaya jahe yang beragam di berbagai tempat," kata Bambang.
Pemerintah, kata Bambang, perlu melakukan penataan kawasan dan memfasilitasi sarana produksi, terutama benih bermutu. Pendampingan budidaya dan pasca panen kepada pelaku usaha produksi jahe perlu dilakukan hingga dapat menjembatani menuju hilirisasi produk.
Hal senada disampaikan Kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), Institut Pertanian Bogor, Awang Maharijaya.
Menurut dia, kebutuhan jahe baik untuk rumah tangga maupun industri saat ini masih cukup terpenuhi. Kualitas dan produktivitasnya perlu ditingkatkan mengingat tren permintaan naik termasuk tuntutan kualitas atau standar mutunya.
"Updating kebutuhan terutama untuk industri perlu dilakukan sehingga perencanaan produksi menjadi lebih tepat dan dapat mengantisipasi kekurangannya,” jelasnya.
Berdasarkan data BPS 2021, rata-rata impor jahe per tahun sebesar 11 ribu ton dan impor tertinggi terjadi pada 2019 sebesar 21,7 ribu ton kemudian turun pada 2020 yakni 19,2 ribu ton. (jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia