jpnn.com - jpnn.com - Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Letjen TNI (Purn) Slamet Supriadi mengungkapkan, gerakan radikal dan teror yang kini menjadi ancaman global bukan hanya dilatarbelakangi oleh pemahaman keagamaan yang sempit ataupun persoalan ketidakadilan di negara-negara berkembang. Menurutnya, ada campur tangan kekuatan besar untuk menggerakkan kelompok teror.
“Ada tangan pihak ketiga yang menjadikan kelompok-kelompok teroris sebagai aktor lapangan dalam skenario proxy war atau perang asimetris,” ujarnya dalam lokakarya bertajuk Aktualisasi Pancasila Sebagai Benteng Radikalisme di Lingkungan Perguruan Tinggi yang digelar Asosiasi Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (ADPK) di kampus STKIP Kusuma Negara, Cijantung, Jakarta Timur, Rabu (25/1).
BACA JUGA: Misteri Ketuk Pintu Malam Hari, Warga Resah
Mantan Pangdam Siliwangi itu lantas merujuk pada pernyataan Hillary Clinton saat masih menjadi menteri luar negeri Amerika Serikat. Yakni pernyataan Hillary tentang siasat AS menghemat anggaran operasi militernya untuk memerangi Uni Soviet di di Afganistan pada era 1980.
Selain itu, katanya, ada strategi Sarang Tawon untuk memelihara instabilitas di kawasan Timur Tengah. Yakni dengan menjadikan sebuah negara sebagai basis kelompok radikal agar ada alasan untuk menghancurkannya seperti terjadi pada Irak dan Suriah.
BACA JUGA: Ustaz Hidayat Bertemu Jokowi di Istana, Inilah Hasilnya
Ironisnya, kata Supriadi, jebakan negara barat itu tidak disadari banyak anak muda Indonesia sampai akhirnya ada yang terpengaruh menjadi pelaku teror atas nama ideologi. Karenanya mantan Kepala Pusat Penerangan ABRI itu mengingatkan sejumlah solusi untuk menyelamatkan generasi muda dari jeratan radikalisme.
Menurutnya, solusi yang utama adalah memperkuat pemahaman terhadap Pancasila. “Reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam hidup berbangsa bernegara,” katanya.
BACA JUGA: Ketua Dewan Adat Dayak: Jangan Sembarangan Menuduh
Sedangkan Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB) Soeprapto yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan, karena radikalisme dan terorisme berawal dari pola pikir atau mindset, maka Pancasila bisa menjadi benteng yang kuat dalam bentuk pola pikir, sikap, tindakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menghambat berkembangnya paham radikal.
Menurutnya, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk meminimalkan berkembangnya radikalisme di kalangan anak muda dan menjamin hadirnya demokrasi. Dia meyakini demokrasi bisa meredam radikalisme bila semua stakeholders pemerintahan memiliki komitmen yang sama.
“Cara terbaik menangkal radikalisme adalah dengan mewujudkan pemerintahan bersih, transparan, partisipatoris, akuntabel dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia”, katanya.
Pada kesempatan sama, Ketua APDK Sudarilah menyatakan, kini sudah saatnya semua kalangan memberi perhatian serius pada upaya memperkuat pemahaman generasi muda terhadap Pancasila dan kewarganegaraan. “Saat ini terjadi perkembangan situasi yang membahayakan ideologi Pancasila dan NKRI dengan maraknya kekerasan dan tindakan anarkistis,” ujarnya.
Kegiatan itu diikuti 130 peserta terutama dari kalangan dosen Pancasila dan Kewarganegaraan dari sejumlah Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Kalimantan. Acara itu dipandu oleh Rika Kartika, dosen Pancasila di sejumlah perguruan tinggi yang juga peneliti dari Developing Countries Studies Center (DCSC).(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Geram, Cak Imin: Ini Tak Bisa Dibiarkan
Redaktur & Reporter : Antoni