Keputusan Australia telah menimbulkan keraguan vaksinasi yang sedang berlangsung di tengah warga Papua Nugini.

Bukti bahwa vaksin AstraZeneca dapat menyebabkan penggumpalan darah, yang sangat jarang terjadi, pada orang-orang yang berusia di bawah 50 tahun telah menambah keraguan warga terhadap keamanan vaksin tersebut.

BACA JUGA: Pengakuan Perempuan Sasaran Aksi Cabul yang Rasis dan Merendahkan di Aplikasi Kencan

Namun, populasi Papua Nugini sangat didominasi oleh orang muda. Rata-rata usia populasi di negara itu adalah 22 tahun, dan AstraZeneca adalah satu-satunya vaksin yang saat ini tersedia di sana, di tengah terus bertambahnya kasus COVID-19.

Hingga hari Senin (12/04) kemarin, tercatat 8.442 orang telah terinfeksi COVID-19 di Papua Nugini, dan 69 orang meninggal dunia terkait dengan COVID-19.

BACA JUGA: Vaksin AstraZeneca Kembali Sebabkan Pembekuan Darah, Begini Respons Australia

Namun masih banyak orang yang keberatan divaksinasi.

Miriam Siwi, 48 tahun, adalah seorang pengusaha perempuan yang bermukim di Mount Hagen, di dataran tinggi bagian barat Papua Nugini, tempat di mana dua orang telah meninggal dunia dan ratusan lainnya terinfeksi COVID-19.

BACA JUGA: Banyak Generasi Milenial di Jatim Pesimistis terhadap Program Vaksinasi Covid-19

Kepada ABC dia mengatakan bahwa dia dan keluarganya tidak akan divaksinasi karena kekhawatiran mereka soal efek samping dari vaksin tersebut.

"Saya tidak akan divaksinasi, saya akan menolaknya," katanya dalam wawancara dengan program Pacific Beat ABC.

"Ada lebih banyak efek samping setelah divaksinasi, setelah kurun waktu tertentu," katanya.

Di media sosial, banyak orang yang menyuarakan kekhawatiran yang sama dengan Miriam, dan mengatakan bahwa mereka perlu lebih banyak bukti bahwa vaksin tersebut aman.

Para ahli kesehatan saat ini berusaha untuk menyampaikan pesan yang lebih kuat bahwa AstraZeneca sebenarnya aman dan efek samping yang berbahaya itu sangat jarang sekali terjadi. Australia punya 'standar ganda'

Khai Huang, ahli penyakit menular dari Burnet Institute di Australia mengatakan bahwa tentu saja ada risiko bahwa tetap dijalankannya program vaksinasi di Papua Nugini dapat menimbulkan salah paham, setelah Australia sendiri telah memutuskan untuk membatasi penggunaannya.

"Ini bisa dilihat sebagai standar ganda, maksudnya, mengapa Australia mengatakan ini? Membatasi vaksin ini dalam negeri, tapi boleh di Papua Nugini," kata Dr Huang.

Ia mengatakan, penting bagi mereka yang memiliki kekhawatiran-kekhawatiran itu untuk ingat bahwa AstraZeneca adalah vaksin yang aman dan efektif.

"Risikonya sangat kecil, dan itu sesuatu yang perlu kita benar-benar kita simpan dalam perspektif," katanya.

Pejabat kesehatan lokal Papua Nugini memutuskan untuk meneruskan program vaksinasi dengan AstraZeneca setelah berkonsultasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Lebih dari 130.000 dosis telah dijadwalkan untuk mendarat dari India, dan .

Menurut WHO, hanya sekitar 11 sampai 29 orang di Papua Nugini dari kira-kira 8 juta orang yang mungkin akan mengalami penggumpalan darah, yang sangat jarang terjadi, setelah menerima vaksin AstraZeneca.

Pejabat medis lainnya seperti Dr Huang mengatakan bahwa lebih banyak orang yang mungkin meninggal dunia karena COVID-19.

Jadi ia mendukung keputusan Pemerintah Papua Nugini untuk meneruskan program vaksinasi kepada kelompok di bawah usia 50 tahun.

"Di Papua Nugini, konteksnya sangat berbeda mengingat penularan di komunitas yang tinggi dan kita telah melihat pengaruhnya terhadap angka kematian dan sistem kesehatan. Jadi, jangan ada lagi waktu yang terbuang." 

Dr Huang mengatakan keraguan untuk divaksinasi bisa menimbulkan kemunduran besar.

Chris Topa, 36, bekerja di ibu kota Papua Nugini, Port Moresby, dan mengatakan semakin sulit untuk memilah fakta dari fiksi.

"Bukan hanya Anda mencari informasi dari pemerintah, Anda juga memiliki informasi dari belahan dunia lain, dan ada banyak pro dan kontra yang harus Anda [saring], tidak hanya dengan pandemi itu sendiri tetapi juga dengan vaksinnya," katanya.

Tapi Chris mengatakan, ketika waktunya tiba, dia akan menyingsingkan lengan bajunya dan divaksinasi.

"Kita semua hidup dalam komunitas. Jadi penting untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, dan bagaimana hal itu mempengaruhi Anda dalam kaitannya dengan pandemi, tetapi juga bagaimana Anda dapat melindungi sesama pria atau perempuan," dia kata. Informasi yang bertentangan di negara-negara Melanesia 

Australia juga berjanji akan mengirimkan ribuan dosis vaksin AstraZeneca ke negara Melanesia lainnya termasuk Fiji, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon dalam beberapa bulan mendatang.

Tetapi beberapa orang di negara-negara tersebut juga mengkhawatirkan vaksin tersebut.

Nirmal Prasad, 32, tinggal di ibu kota Fiji, Suva, yang tidak mengalami kasus penularan komunitas selama berbulan-bulan.

Dia mengatakan tidak akan menerima vaksin itu.

"Kami memiliki segalanya, kami melakukan semuanya secara normal di sini di Fiji, jadi kami tidak membutuhkannya," katanya.

Seperti Papua Nugini, penduduk Fiji masih muda, dan negara itu juga terpukul secara ekonomi oleh pandemi.

Puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan di industri pariwisata, termasuk Julius Salato yang berusia 34 tahun.

Dia dulu bekerja di kapal pesiar, sehingga baginya mendapatkan suntikan berarti kembali ke pekerjaan yang dia sukai.

"Sejak COVID, saya di kembali ke rumah, menunggu untuk kembali bekerja, tetapi itu semua tergantung pada Pemerintah Australia dan vaksinnya," kata Salato.

"Saya akan dengan senang hati menerima vaksin, jika itu bisa kembali berfungsi dengan baik, saya mau menerima vaksin."

Kementerian Kesehatan Fiji mengatakan manfaat vaksin AstraZeneca jauh lebih besar daripada risikonya, tetapi mereka sedang mengembangkan pedoman dan prosedur operasi baru untuk lebih meyakinkan orang.

Dan Pemerintah di Kepulauan Solomon, yang sudah meluncurkan dosis vaksin yang diterimanya melalui fasilitas COVAX global, juga berpegang teguh pada prinsip itu.

Spesialis COVID-19 Yogesh Choudhri mengatakan target populasi adalah pekerja garis depan, yang semuanya berusia di bawah 55 tahun.

"Saat ini tidak ada konsensus dari WHO dan EMA, jadi saya tidak melihat alasan kami harus membatasi vaksin AstraZeneca untuk kelompok usia tertentu," kata Dr Choudhri.
Video Terpopuler Hari ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Merespons Kejujuran China soal Vaksin, Rahmad Handoyo: Masyarakat Tak Perlu Khawatir

Berita Terkait