Rakyat Butuh Duitnya Para Caleg Saja

Selasa, 23 April 2013 – 04:25 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua MPR, Hajrianto Y. Thohari menilai apatisme masyarakt terhadap politik akan terus meningkat menjelang Pemilu 2014. Antusisme publik terhadap pesta politik hanya sebatas perayaan yang tidak menyentuh persoalan politik sebenarnya. Hal ini juga tercermin dari penurunan jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) akan terus meningkat pada pemilu kedepan.
 
“Penurunan jumlah pemilih tersebut tidak terlepas dari merosotnya kepercayaan publik terhadap partai politik akhir-akhir ini. Penurunan kepercayaan pada parpol juga tidak terlepas dari berkuarngnya kepercayaan masyarakat terhadap para politisi yang mereka nilai tidak lagi memperjuangkan aspirasi publik,” kata Hajrianto kepada INDOPOS (Grup JPNN) di Gedung DPR, Senayan, Senin (22/4).
 
Politisi Golkar ini juga menyebutkan, di Jawa Tengah saja yang pada 2008 jumlah persentase kehadiran pemilih mencapai 64 persen, dan diharapkan akan berkurang. Contoh lainnya, lanjut politisi Golkar ini adalah pemilih di Sumatera Utara saat pemilihan gubernur jumlah pemilih hanya berkisar 50 persen dari mereka yang terdaftar.

“Penurunan ini jelas akan menjadi ancaman terhadap parpol, apalagi proses kaderisasi di partai tidak jalan,” ujarnya.

Tidak hanya itu,  menurut Hajrianto, pada dasarnya hal yang sama juga terjadi di luar negeri. Namun di Indonesia percepatan ketidakpercayaan publik terhadap politisi lebih cepat dari negara-negara lain. Hal ini seiring dengan kondisi internal parpol yang jauh dari adanya kaderisasi.

“Rendahnya sinergisasi di antara calon anggota legislatif dalam satu parpol lantaran perbutan suara di satu dapil jelas sangat berdampak pada solidatas partai sendiri. Kondisi itu terjadi terutama untuk caleg DPR RI yang cenderung tidak saling kenal satu sama lainnya,” tegasnya.

Dalam kondisi rendahnya keterikatan di antara para caleg itu, lanjut Hajriyanto, para politisi cenderung memperjuangkan dirinya ketimbang memperjuangankan partai. Padahal, ujarnya, konstitusi mengatur bahwa peserta pemilu adalah partai, bukan orang. Hal ini jelas akan menjadi ancaman yang  bersifat sistemik.

“Karena sistem pemilu terbuka dan sistem suara terbanyak tidak terlalu paralel dengan konstitusi yang ada, selain memaksa orang untuk bersaing meski dalam satu partai. Sementara, kalau peserta pemilu adalah parpol maka sistem pemilu yang paling tepat adalah sistem proporsional, bukan sistem suara terbanyak,” jelasnya.

Mestinya kalau peserta pemilu itu parpol maka yang paling paralel adalah sistem proporsional. Orang tidak memilih nama, tapi memilih parpol dan kampanyenya adalah kampanye parpol, bukan kampanye orang. “Karena nanti  parpol lah yang berperan dalam mengatur kadernya. Saya pikir harusnya seperti itu,”  paparnya.

Soal beban kampanye yang harus ditangung oleh para caleg, mereka rata-rata mulai menanamkan modal finansial dan modal sosial menuju Senayan. “Caranya banyak, yang jelas melibatkan uang yang tidak sedikit,” paparnya.
 
Menurutnya, dalam pendanaan menuju anggota legislatif ada masyarakat yang meminta sumbangan kepada calon anggota legislatif.  “Ini ada masyarakat yang ketika ada caleg langsung menodong caleg tersebut dengan berbagai sumbangan.  Bahkan ada masyarakat yang tadinya tidak ada rencana mengaspal jalan, lalu punya ide untuk mengaspal jalan. Jadi kadang butuh duitnya saja,” keluhnya.

Dikatakan, kasihan para anggota legislatif yang masih baru dan belum memiliki modal sosial dan modal politik yang tinggi. “Itu mereka caleg baru yang modal sosialnya rendah, dan bahkan modal finansialnya rendah pula harus bekerja keras untuk mendapatkan kursi parlemen,” pungkasnya. (dms)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Marzuki : Prajurit TNI Protes Produk Reformasi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler