Rancangan Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dinilai Rugikan Ekosistem Tembakau Nasional

Jumat, 13 September 2024 – 21:00 WIB
Rokok (Ilustrasi). Foto dok Humas Bea Cukai

jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (GAPPRI), Willem Petrus Riwu, menyebut aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang tengah digodok pemerintah dalam RPMK, serta kebijakan restriktif zonasi larangan penjualan dan iklan luar ruang produk tembakau pada PP 28/2024 akan merugikan petani tembakau, buruh, dan industri kretek secara keseluruhan yang merupakan industri yang legal.

Pria yang akrab disapa Wempy ini menilai, RPMK dan PP 28/2024 tidak hanya mempengaruhi industri tembakau, tetapi juga berdampak besar pada mata rantai produksi dan distribusi yang mayoritas merupakan UMKM.

BACA JUGA: Puluhan Asosiasi Menolak Kebijakan PP Nomor 28 Tahun 2024

Menurutnya, regulasi ini, yang termasuk ketentuan mengenai bahan tambahan dan batasan tar dan nikotin, berpotensi merugikan berbagai pihak dalam industri tembakau, terutama rokok kretek yang merupakan salah satu produk unggulan dan warisan budaya Indonesia.

“ini jelas mau mematikan kretek. Ada hitungan kerugian, tapi pihak perumus PP ini tidak berdasarkan data yang andal dan ilmiah. Hanya titipan pasal saja,” ujar Wempy.

BACA JUGA: Serikat Pekerja Siap Turun ke Jalan Tolak Rancangan Permenkes Terkait Kemasan Polos Tanpa Merek

Dampak regulasi pun dipandang Wempy akan berpengaruh ke hal-hal lain. Misalnya saja, salah satu ketentuan yang mengatur standarisasi kemasan dan mensyaratkan kemasan rokok polos tanpa merek.

Menurut Wempy, kebijakan ini dapat memicu pemalsuan produk dan memperkuat pasar rokok ilegal.

BACA JUGA: Wujudkan Ketahanan Pangan Warga Jakarta, Pupuk Indonesia Gandeng Kejaksaan Agung

Belum lagi, regulasi ini juga bakal mengatur kadar tar dan nikotin yang dapat menyebabkan dampak negatif pada mata pencaharian petani tembakau dan cengkeh.

“Keterbatasan dalam kadar tar dan nikotin dapat mempengaruhi hasil panen dan pendapatan petani, yang dapat berujung pada kemiskinan baru di kalangan mereka,” tutur dia.

Sementara itu, regulasi tersebut berpotensi akan menekan konsumsi rokok legal.

Menurut dia, RPMK yang mendorong kemasan rokok polos tanpa merek dan PP 28/2024 justru berpotensi memperburuk situasi dengan memicu pertumbuhan rokok ilegal.

Pasalnya, saat ini pasar rokok ilegal yang diperkirakan mencapai 20-35 miliar batang, sudah sangat sulit untuk diatasi. Jika kemasan rokok polos tanpa merek diberlakukan, nantinya akan mendorong rokok ilegal makin marak.

“Fenomena downtrading (peralihan konsumsi ke rokok murah) pada 2024 tidak terlalu berbahaya saat ini, justru rokok ilegal yang saat ini mencapai 20-35 miliar tidak terkendali,” papar dia.

Untuk itu, Wempy mengimbau pemerintah agar tidak menaikkan tarif cukai hingga 2027 untuk meringankan beban industri tembakau.

Bagi dia, peraturan non-fiskal dalam PP 28/2024 tidak seharusnya diberlakukan karena akan menambah tekanan pada industri dan petani tembakau.

Ke depan, Wempy berharap adanya proses perumusan aturan yang lebih melibatkan data ilmiah.

Dia berharap akan ada peninjauan ulang terhadap PP 28/2024 untuk memastikan bahwa regulasi yang diterapkan agar mempertimbangkan keberlangsungan industri tembakau dan kesejahteraan para petani yang berada dalam ekosistem pertembakauan nasional.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy Artada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler