jpnn.com, JAKARTA - Komite I DPD menggelar rapat kerja dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/11). Persoalan yang dibahas adalah sengketa tanah. Raker yang dihadiri Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra itu dipimpin Ketua Komite I DPD Agustin Teras Narang didampingi Wakil Ketua Fachrul Razi dan Abdul Kholik.
Teras dalam kesempatan itu menyoroti masih terjadinya persoalan agraria khususnya konflik pertanahan di daerah-daerah meskipun sudah ada payung hukum yang jelas.
BACA JUGA: Komite I DPD RI Bahas Sengketa Tanah dengan Kementerian ATR
Menurut Teras, perlu regulasi pertanahan yang benar dan berkeadilan, lembaga atau administrator negara yang terlatih serta sistem administrasi pertanahan yang kuat dan akurat. Teras menambahkan perlu adanya peta konflik agraria yang tepat, komitmen dan dukungan pemerintah yang kuat, serta sarana dan prasarana yang memadai.
“Masalah pertanahan termasuk tata ruang menjadi perhatian Komite I. Kami sudah menjalin komunikasi baik dengan Komisi II DPR terkait hal ini. Saya kira harus ada spirit yang sama melihat persoalan," ujar mantan gubernur Kalimantan Tengah dua periode itu.
BACA JUGA: Pansus Papua DPD Serukan Penyelesaian Karyawan Freeport yang Kena PHK
Teras berharap antara Komite I DPD dan Kementerian ATR/BPN terjalin komitmen untuk sama-sama memecahkan persoalan tanah ini. Apalagi, ujar Teras, banyak tumpang tindih dalam pengurusan tanah antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. "Oleh karena itu perlu one map policy agar tidak tumpang tindih," tegasnya.
Sementara, Surya Tjandra menjelaskan bahwa land reform menjadi tujuan utama kementeriannya, terutama penyelesaian konflik-konflik terkait agraria. Menurutnya, di Kementerian ATR/BPN ada dua istilah yaitu konflik agraria dan sengketa agraria. Sesuai program Presiden Jokowi, kata Surya, Kementerian ATR/BPN terus mengejar target pemerintah yaitu pelaksanaan reforma agraria.
BACA JUGA: Komite I DPD RI Bahas Konflik Perbatasan di Sulteng dan Gorontalo
Menurutnya, dalam tahap pertama RPJMN 2015-2019 sudah dilakukan sembilan juta hektar kegiatan legalisasi aset dan redistribusi tanah sebagai langkah land reform. "Perlu juga aset reform dan akses reform ini dipikirkan. Tidak cuma diberi tanah tetapi harus bisa digunakan secara produktif itu tanah. Harapan ke depan ada digitalisasi sertifikat pada tahun 2025 yang akan segera kami wujudkan,” ujar Surya.
Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah Agus Widjayanto menyebutkan gambaran sengketa konflik pertanahan yang ditangani banyak sekali. Menurutnya, masih banyak yang belum selesai meskipun sudah ada keputusan. “Sudah lebih ribuan kasus kami selesaikan pada tahun 2019, tetapi ada 2700 lebih kasus baru yang muncul," jelasnya.
Dia, menambahkan penyelesaian kasus ini sifatnya administratif dan setiap keputusan yang keluar selalu digugat dan seolah-olah tidak selesai. "Dan gugatan baru dianggap kasus yang baru," tegasnya.
Menurut dia, persoalan tersebut harus dilihat bahwa masalah ini bukan domain Kementerian ATR/BPN semata tetapi ada terkait Kepolisian, Kejaksaan, Kementeian Keuangan terkait aset, dan KLHK. "Sehingga dalam kasus-kasus tertentu perlu MoU dan koordinasi tapi tetap sulit mengambil kesepakatan,” ucap Agus. (Adv/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi