Ratakan Distribusi Pertamax

Solusi Gaikindo agar Pengguna BBM Nonsubsidi Makin Banyak

Minggu, 08 April 2012 – 06:45 WIB

JAKARTA - Berbagai alternatif solusi guna menekan penggunaan BBM bersubsidi terus bermunculan. Para pelaku industri otomotif lebih senang bila pemerintah bisa menata infrastruktur, terutama memperbanyak dan memeratakan distribusi BBM nonsubsidi. Dengan cara itu, diyakini akan semakin banyak pemilik kendaraan yang mau menggunakan pertamax.

Ketua III Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Johnny Darmawan menyatakan, semula pemerintah sebenarnya sudah mengambil tindakan paling tepat, yaitu berencana menaikkan harga BBM bersubsidi.

"Kenaikan harga (BBM subsidi) adalah paling wajar. Tapi, karena DPR tidak setuju, ya akhirnya pemerintah pikirkan banyak cara," ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (7/4).

Sehari sebelumnya, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng mengungkapkan, salah satu cara yang sedang dipikirkan untuk menekan penggunaan premium (BBM bersubsidi) adalah menggunakan pelat nomor khusus. Misalnya, pelat nomor warna biru untuk mobil mewah atau baru.

Menurut Johnny, pada praktik di lapangan, hal semacam itu akan sulit diterapkan. Petugas di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) bukan individu yang mengenal detail setiap kendaraan. "Mungkin bisa, tapi butuh waktu dan dana lagi untuk men-training-nya," ujarnya.

Problem akan muncul ketika harus berhadapan dengan konsumen atau pemilik kendaraan yang nakal. Mereka mengganti pelat biru dengan pelat hitam biasa. Bila itu terjadi, perdebatan di SPBU antara petugas dan konsumen akhirnya hanya menimbulkan antrean panjang.

"Tapi, memang benar bahwa pemerintah mulai harus memikirkan sebuah rencana untuk jangka panjang. Kalau kita, kan salah satunya usul hybrid (mobil bertenaga perpaduan bahan bakar dan listrik, Red)," ucap Johnny yang juga presiden direktur PT Toyota Astra Motor (TAM) itu.

Kalau memang pemerintah mempunyai anggaran untuk investasi dalam rangka pengurangan konsumsi BBM bersubsidi, Johnny menyarankan agar itu dialokasikan ke langkah yang lebih realistis.

"Kalau menurut kami, setidaknya ada tiga hal yang harus dijaga. Pertama, kalau memang mau investasi, ya perbanyaklah sarana pertamax sampai ke daerah-daerah," ungkapnya.

Menurut dia, minimnya distribusi pertamax merupakan salah satu biang tingginya penggunaan premium. Di kota-kota besar, pertamax memang relatif mudah dijumpai. Tapi, tidak demikian situasinya jika disurvei sampai ke kota kecil atau berbagai daerah terpencil.

Karena itu, apa pun caranya, jika pertamax yang disarankan untuk mobil-mobil tertentu itu sulit ditemui, otomatis masyarakat akhirnya kembali ke premium juga karena lebih mudah didapat.

Saat ini, kata Johnny, faktanya, di SPBU kota besar memang juga masih lebih banyak dispenser premium dibanding pertamax. "Perbanyaklah (dispenser) pertamax dan kurangi premium," ujarnya.

Hal itu akan menjadi salah satu cara untuk mengedukasi konsumen sehingga mulai terbiasa dengan pertamax. "Hal kedua yang juga ingin kita jaga bahwa perbaikan moral itu penting. Bahwa premium itu tidak untuk mobil mewah. Saya setuju mobil dinas pemerintah dilarang mengonsumsi premium. Di kantor, saya juga sudah meminta seluruh karyawan pakai pertamax untuk mobilnya," tegas Johnny.

Hal ketiga yang harus diwaspadai adalah penyalahgunaan BBM bersubsidi, baik berupa penimbunan maupun pembelian dengan cara tidak wajar. "Sering kan kita lihat orang beli banyak pakai jeriken," katanya.

Jika tiga hal itu diawasi dengan baik, Johnny yakin akan ada dampak positif, setidaknya untuk jangka panjang. Apalagi jika ditambah pengurangan atau bahkan penghapusan pajak untuk BBM jenis pertamax. Saat ini pertamax dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBB KB) 5 persen sehingga total 15 persen.

"Kalau pajaknya berkurang atau hilang, kan jadinya perbedaan harganya tidak terlalu jauh dari premium," ungkapnya. Seandainya tanpa pajak, harga pertamax bisa di kisaran Rp 7.500 per liter.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro belum bisa berbicara banyak terkait hal tersebut. "Senin saja saya bisa jawab," ucapnya singkat kepada Jawa Pos kemarin.

Ketua I Gaikindo Jongkie D. Sugiarto berpendapat, upaya pembatasan BBM bersubsidi itu lebih baik dimulai dari kendaraan pelat kuning yang terdiri atas taksi, bus kota, dan angkutan umum lainnya untuk segera beralih ke bahan bakar gas (BBG). "Setiap hari berjuta liter dikonsumsi kendaraan-kendaraan tersebut," ungkapnya.

Setelah itu, pemerintah bersama pelaku industri otomotif bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat pemilik kendaraan bahwa semua mesin kendaraan yang diproduksi mulai 1996 memakai standar emisi Euro 2 sesuai peraturan Kementerian Perindustrian.

"Mesin dengan standar Euro 2 itu seharusnya memakai BBM dengan angka oktan 91 ke atas (mulai pertamax). Jadi, kalau memakai yang di bawah itu, pembakarannya tidak sempurna. Mesin bisa mengelitik, agak lebih panas, dan agak boros," jelasnya. (gen/c5/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Siapkan Mobil Pelat Biru


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler