Ray Animale mampu membuat berbagai satwa luwes bergaya di depan kamera. Dia bukan dokter hewan, tetapi piawai jadi tukang potong taring musang.
Ridlwan Habib, Jakarta
SEEKOR musang menatap tajam Lingling, seorang wisatawan yang sedang santai di Lapangan Banteng, Jakarta, pada Rabu lalu (20/6). Awalnya, gadis itu ketakutan. Berkali-kali dia maju-mundur ragu-ragu. "Ah, takut Mas, nanti kalau digigit gimana," katanya tidak berani mendekat.
Seorang lelaki kurus berambut panjang dan bertopi lantas bersiul kecil. Tangannya melambai pada musang yang diberi nama Musi itu. "Ayo, jangan nakal. Sini Mbak-nya mau kenalan," katanya. Tidak sampai dua menit, musang tersebut nemplok di bahu Lingling.
Pria tersebut bernama Ray Animale. "Maaf, saya lebih suka dipanggil itu," ujarnya saat ditanya nama lahirnya.
Suami dokter spesialis anak dr Syarifah Hanim SpA itu juga menolak disebut pawang. "Saya belajar secara otodidak dan tidak mengkhususkan diri pada satu jenis binatang saja," katanya.
Ray dikenal di kalangan sutradara film di Jakarta sebagai animal director. "Kalau secara langsung membuat film, saya belum pernah. Saya hanya mengarahkan gaya sesuai yang diminta sutradara," kata pria yang pernah kuliah di sinematografi Institut Kesenian Jakarta itu.
Hampir semua binatang pernah dia arahkan. Mulai gajah, cheetah, babi hutan, tikus got, ular, elang, anjing, sampai kupu-kupu. "Sekilas sederhana, tapi membuat anjing mau (maaf) kawin di depan kamera itu sulit lho," tuturnya, lantas tertawa.
Ray terjun di profesi itu sejak awal 1990-an. Awalnya, dia hanya pencinta binatang. Kebetulan binatang peliharaannya sering dipinjam temannya untuk properti syuting. "Karena khawatir, ya saya ikuti di lokasi," ujarnya.
Benar saja, di lapangan sutradara bingung mengarahkan binatang yang meski jinak harus action sesuai skenario. Misalnya, seekor ular piton besar yang merayap turun dari sebuah pohon tepat di atas kepala seorang artis yang menjerit ketakutan. "Akhirnya, sedikit-sedikit saya bantu," katanya.
Pada 1996, sebuah biro iklan mengontraknya. Ray makin serius menggeluti profesi itu ketika dilibatkan dalam acara kuis Galileo di SCTV yang kerap menghadirkan binatang. Selama hampir empat tahun terlibat di acara tersebut, Ray belajar banyak tentang perilaku berbagai hewan dari pengamatan langsung, bahan internet, diskusi dengan pakar hewan, maupun buku.
Banyak hal unik yang pernah dia lakukan terhadap "artis-artis" satwa itu. Misalnya, bagaimana cara agar kupu-kupu bisa merubung, bahkan hinggap di tangan seorang pemain sinetron. "Saya bisa, tapi nggak bisa saya bagi di sini," katanya.
Dia juga pernah begadang hingga dua minggu gara-gara sutradara meminta adegan seekor kupu-kupu lepas dari kepompongnya. "Pas pagi setelah azan Subuh, kupu-kupu itu keluar dengan cantiknya. Wah, saya lega sekali," kata ayahanda M. Malik Ibrahim tersebut.
Ray lantas menunjukkan foto-fotonya saat mengarahkan gaya kepada Jawa Pos. Laman Facebook-nya juga penuh dengan aksi Ray bersama hewan-hewan liar. "Saya pernah diundang TVOne dan Tukul di Bukan Empat Mata sambil gendong ini," katanya sambil mengelus Musi, musang pandan kesayangannya.
Di rumahnya, kawasan Cibubur, Jakarta Timur, dulu berbagai satwa dipelihara. "Ada beruang, macan. Pokoknya, hewan-hewan liar ada semua," katanya. Namun, pada 2005, semua hewan itu dikembalikan ke habitatnya. "Sekarang tinggal merawat musang-musang," kata dedengkot sekaligus penasihat komunitas Musang Lovers Indonesia tersebut.
Di kalangan pencinta musang, nama Ray sangat kondang. Tiap hari ponselnya bunyi. "Banyak yang bertanya soal musangnya, dari seluruh Indonesia. Dari Surabaya paling banyak," imbuhnya.
Kelompok pencinta musang di Indonesia makin banyak. Pada 7 Juli nanti mereka berkumpul di Lapangan Banteng, Jakarta. "Kalau di Jakarta kami disebut Musang Lovers. Kalau di Jogja ada Koplak atau Komunitas Pencinta Luwak," ujar Tedi Hartanto, teman akrab Ray, sekaligus pendiri komunitas Musang Lovers.
Tedi menyebut Ray sebagai animal whisperer atau pembisik binatang. "Musang seliar apa pun di tangan Om Ray jadi jinak," kata warga Kemanggisan, Jakarta Barat, tersebut. Saat itu, Tedi membawa musang bulan kesayangannya bernama Momo yang juga langsung akrab digendong-gendong oleh Lingling.
Menurut Tedi, musang bisa jadi pengganti anjing bagi yang muslim. "Kami yang muslim kan dilarang memelihara anjing. Nah, musang jadi alternatif. Ini hewannya bersih lho. Pup-nya bahkan relatif lebih tidak bau dibandingkan kucing atau anjing," katanya.
"Musang juga sangat setia," tambah Ray. Musang hidup soliter (tunggal) dan teritorial (mempunyai insting mempertahankan wilayah). "Sekali dia sudah mengidentifikasi Anda sebagai sahabat atau tuannya, dia akan ikut terus," katanya, lalu melepas Musi dari gendongan ke rerumputan.
Hewan ginuk-ginuk itu lantas berlari kecil mengitari Ray. "Ayo balik sini Musi," panggil Ray. Musi patuh dan mendekat. Lalu, ia diangkat dan diletakkan di pundak Jawa Pos.
Gigi taring musang seberat 9 kilogram itu sekilas menyeringai, tapi tak menggigit. Sebaliknya, justru lidahnya asyik menjilati pipi dan daun telinga hingga basah. "Itu tanda dia suka sama Anda, liur itu sebagai cara menandai teritorinya," katanya.
Ray "dituakan" oleh penggemar musang, padahal dia bukan dokter hewan. "Kalau ada yang mau potong gigi taring, tidak perlu ke dokter hewan. Om Ray juga bisa," kata Tedi. Bagi pemula, potong gigi pada musangnya wajib. "Supaya bisa jinak, dia harus dipegang terus. Nah, dengan dipotong giginya, risiko luka dikurangi," tambahnya.
Namun, bagi Ray, musang seliar apa pun tetap dipegangnya. "Bukan saya kebal gigitan. Sebaliknya, justru kenyang (digigit)," kata alumni SMA 70 Jakarta tersebut.
Parameter musang dikatakan jinak adalah bisa digendong. "Jadi , kalau Anda ditawari oleh penjual musang, suruh dia gendong dulu untuk membuktikan jinak atau tidak," tambahnya.
Tedi menjelaskan, berkat panduan Ray, banyak musang lover yang makin pede. "Saya dulu bahkan saking cintanya bawa si Momo ini ke kantor. Saya susui pakai dot," kata pegawai negeri Dirjen Pajak Kementerian Keuangan itu.
Momo kini sudah 9 bulan. Beratnya hampir 12 kg dan itu tergolong gendut. "Saya kasih makan rebusan leher ayam tiap hari. Kalau anak-anak malah tidak tiap hari makan ayam goreng," kekehnya.
Tedi punya enam musang aneka jenis di rumahnya. "Tiap jalan sama Om Ray, saya suka bawa Momo. Dia ini sudah saya kebiri. Jadi, tidak terlalu agresif jika lihat musang lain jenis," katanya.
Ray menyebut musang sebagai hewan yang sangat loyal kepada pemiliknya jika disayang. Sebaliknya, jika tidak serius, musang pasti kabur. Bahkan, ia bisa sambil mencuri ayam. "Sebelum benar-benar yakin untuk setia pada musang, pikir dulu jika akan merawatnya," katanya.
Pria yang menolak mematok tarif saat bekerja itu berharap komunitas musang bisa melestarikan luwak untuk kemajuan industri kopi di Indonesia. "Luwak itu juga musang, hanya sebutannya. Jika kita lestarikan, mereka bisa jadi teman yang menghasilkan," ujar Ray. (*/c6/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Prof Elizabeth Anita Widjaja, Satu-satunya Ahli Taksonomi Bambu di Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi