jpnn.com, JAKARTA - Ketua Fraksi PKS di DPR Jazuli Juwaini berharap pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin bekerja lebih keras mengatasi pandemi.
Anggota Komisi I DPR itu menegaskan grafik penyintas Covid-19 menunjukkan kenaikan signifikan.
BACA JUGA: Pasangan Bukan Muhrim Terjaring Razia Lagi Begituan di Indekos, Hmmm
Menurut dia, akibat pandemi Covid-19 yang telah berlangsung setahun penuh, seluruh indikator kesejahteraan rakyat memburuk.
Karena itu, Jazuli menegaskan bahwa hal ini menuntut kerja lebih keras lagi dari jajaran pemerintah.
BACA JUGA: Respons Jazuli Juwaini Terhadap Kinerja Satu Tahun Pemerintahan Jokowi â Maâruf Amin
Menurutnya, pemerintah harus mengambil opsi kebijakan yang lebih tegas, tidak ambigu dan abu-abu antara kepentingan kesehatan, kemanusiaan, dan ekonomi seperti saat ini.
"Akibat kebijakan yang ambigu ditangkap publik secara luas sebagai inkonsistensi," kata Jazuli sebagai evaluasi pemerintah di tahun 2020 dan menyambut tahun 2021, Kamis (31/12).
BACA JUGA: Belasan Anak Selamatkan Teman dari Cengkraman Buaya, Heroik Banget
Dia melanjutkan dampaknya tidak jelas terkait kebijakan yang berlaku yakni antara yang dibolehkan dan dilarang, sehingga sulit menerapkannya di lapangan.
"Akibatnya banyak yang abai protokol kesehatan. Tingkat kematian (fatality rate) Indonesia tertinggi di Asia Tenggara," ungkap Jazuli.
Menurut Jazuli, masyarakat tidak bisa mendapat gambaran yang jelas bagaimana peta jalan yang komperhensif, sistematis, dan terukur dari kebijakan pemerintah mengatasi pandemi Covid-19.
Akibatnya, ujar dia, pemerintah tidak bisa menjelaskan secara jelas dan optimistis kapan pandemi ini akan selesai diatasi.
Menurut Jazuli, prediksi yang disampaikan pemerintah pun berulang kali meleset.
Selain itu, FPKS menilai pemerintah tidak memiliki strategi yang komprehensif dalam penyediaan vaksin dan strategi vaksinasi.
Terbukti, kata dia, dengan pembelian sejumlah obat Covid-19 yang terburu-buru di awal pendemi, kontroversi pembelian vaksin Sinovac yang belum lulus uji klinis, hingga kepercayaan rakyat yang rendah terhadap vaksin yang disediakan pemerintah.
Jazuli lantas membeberkan data indikator kesejahteraan rakyat yang memburuk tajam dalam setahun terakhir.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran bertambah menjadi 9,77 juta orang pada Agustus 2020.
Sebanyak 29,12 juta orang usia kerja terkena dampak pandemi Covid-19. Angka kemiskinan pada Maret 2020 melonjak 1,63 juta orang menjadi 26,42 juta jiwa.
Diperediksi, kata dia, jumlah angka kemiskinan hingga akhir 2020 mencapai 28,7 juta orang.
Menurutnya, di tengah kondisi rakyat yang sulit itu pemerintah seperti kehilangan sensitivitas.
Pemerintah resmi menaikkan iuran BPJS pada Mei 2020. Pada perawatan kelas III, iuran Rp 25.500 meningkat menjadi Rp 42.000.
Peserta kelas II, iuran Rp 51.000 dinaikkan menjadi Rp 100.000.
Pada kelas I, iuran yang sebelumnya Rp 80.000 dinaikkan sampai Rp 150.000.
"Di bawah pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin, Indonesia makin tergantung dengan utang yang akan diwariskan kepada anak cucu kita," kata Jazuli.
Bahkan, ia menegaskan, berdasarkan laporan Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat keenam dengan jumlah utang luar negeri terbesar di dunia.
Posisi utang luar negeri Indonesia berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia, Juli 2020, USD 409,7 miliar atau sekitar Rp 6.063 triliun (kurs Rp 14.800).
Ia melanjutkan pertumbuhan ekonomi nasional juga terkoreksi tajam akibat pandemi covid 19.
Dia mengatakan Indonesia resmi mengalami resesi ekonomi di Kuartal III-2020 dengan mencatatkan pertumbuhan ekonomi minus 3,49 persen.
Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 turun drastis dan jauh dari target, yakni pada Kuartal I hanya mencatat pertumbuhan 2,97 persen dan Kuartal II minus 5,32 persen.
Menurutnya, pemerintah juga terkesan memaksakan sejumlah agenda legislasi dengan mengesahkan UU Cipta Kerja yang kontroversial pada Oktober 2020.
Padahal, ia menegaskan, UU ini dinilai cacat formil dan materil, tidak transparan, tak terbuka, dan minim partisipasi publik oleh masyarakat sipil dan akademisi sehingga menimbulkan penolakan yang luas di mana-mana.
Jazuli menilai upaya penanganan dampak ekonomi dengan modal perppu yang sejak awal dipaksakan pemerintah, dan FPKS menolaknya dengan tegas, nyatanya tidak menunjukkan hasil yang sebanding.
Masalahnya, kata dia, jajaran pemerintah sejak awal tidak serius untuk memprioritaskan dan mengatasi aspek kesehatan dari pandemi Covid-19.
Komitmen untuk menunjukkan kepedulian dan sensitivitas kepada nasib rakyat juga dicederai dengan kasus korupsi Menteri KKP (kasus korupsi benur lobster) dan Menteri Sosial (kasus korupsi dana bansos Covid-19).
Jazuli menggarisbawahi pentingnya kebijakan pemerintah dalam mewujudkan harmoni sosial politik di masa pandemi.
Pemerintah harus tampil seutuhnya sebagai solidarity maker, merangkul seluruh anak bangsa, menjadi unsur perekat bagi seluruh rakyat untuk mengatasi persoalan bangsa.
"Kami melihat pemerintah belum nampak kuat memainkan peran itu," tegasnya.
Dia menilai pemerintah justru terkesan mendukung segregasi dan keterbelahan di masyarakat dengan kebijakan-kebijakan yang dirasakan standar ganda, tidak adil, dan sarat kepentingan.
"Terutama kepada kelompok-kelompok kritis kepada pemerintah," kritik Jazuli.
Atas seluruh persoalan di atas, FPKS mendesak pemerintah untuk makin sistematis, fokus, dan terukur dalam mengatasi Covid-19.
Pemerintah juga harus makin serius mengatasi dampak ekonomi dengan prioritas utama kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin.
Pemerintah harus tampil sebagai pemersatu dan perekat atas semua dinamika sosial politik di masyarakat.
Hadirkan hukum yang berwibawa dan berkeadilan untuk seluruh rakyat.
BACA JUGA: Padli dan Irawan Pilih Kawasan Masjid Jadi Tempat Berbuat Terlarang, Ya Ampun
"Kita butuh persatuan dan kesatuan untuk keluar dari pandemi dan krisis saat ini," pungkasnya. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy