jpnn.com - Di penghujung tahun 2023 ini, kita dapat kembali merefleksikan berbagai hal yang akan menjadi selayang pandang dan pembelajaran kita dalam menyonsong tahun 2024 mendatang.
Banyak pihak atau kalangan yang mencoba melakukan evaluasi atau review terhadap sektor hukum di Indonesia yang memang selalu menarik perhatian masyarakat.
BACA JUGA: Sengketa Pencalonan Irman Gusman, Pakar HTN Anggap KPU Mencoreng Penegakan Hukum
Beberapa fenomena hukum kita jumpai di tahun 2023 ini dari kasus Pencucian Uang oknum Kemenkeu, lanjutan Kasus Ferdi Sambo dan Teddy Minahasa, Kasus Kanjuruhan, kasus putusan Mahkamah Konstitusi yang melahirkan MKMK, kasus Ketua KPK, hingga adanya dorongan untuk membuka kembali kasus Kopi Sianida.
Masih ada pula kasus-kasus kekerasan seksual, tindak pidana korupsi, kasus mutilasi, dan berbagai kasus yang kemudian viral di media sosial dan menarik perhatian masyarakat.
BACA JUGA: Apindo Sepakat Dukung Ganjar Demi Wujudkan Kepastian & Penegakan Hukum
Fenomena di atas kemudian melahirkan berbagai opini dan rapor penegakan hukum di tahun 2023.
Mengambil contoh dari review yang dikeluarkan oleh World Justice Report, Indeks Negara Hukum di Indonesia di tahun 2023 masih merah atau sama dengan tahun sebelumnya yakni 0,53 dari skala 0-1.
BACA JUGA: Menjelang Pemilu 2024, Wayan Sudirta DPR: Polri Harus Bersikap Netral
Skor ini mengindikasikan stagnasi pada upaya pembangunan hukum Indonesia. Beberapa aspek yang dinilai adalah tingkat pengaruh kekuasaan pemerintah, korupsi, keterbukaan, pemenuhan hak dasar seperti kebebasan berekspresi, ketertiban dan keamanan, penegakan aturan, peradilan sipil, dan peradilan pidana.
Peningkatan terjadi pada kompetensi, transparansi, dan kecepatan kinerja, namun ada penurunan atau nilai rendah pada imparsialitas, budaya korupsi, mekanisme sistem peradilan pidana, dan pemenuhan HAM.
Demikian pula pada tingkat kepercayaan masyarakat yang menurun. Lembaga Survei Indonesia (LSI) misalnya, pada Oktober 2023, merilis survei terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia.
Kepercayaan pada lembaga penegakan hukum meningkat pada awal 2023 namun menurun pada akhir 2023.
Hasilnya proporsi buruk mendapat 36,1 persen dari responden, sedangkan yang menilai baik hanya 28,1 persen.
Tingkat kepercayaan terhadap institusi hukum juga melemah, seperti pada KPK yang hanya mencapai 55 persen, Polri 53 persen, Kejaksaan 59 persen, dan Badan Peradilan sebesar 57 persen. LSI bahkan memprediksi akan ada penurunan tren pada tahun Pemilu.
Namun begitu tetap terdapat peningkatan kinerja. Survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik di tahun 2023 pada sektor hukum, yakni pada Januari yang hanya 59 persen menjadi 61,9 persen di akhir Agustus 2023.
Kepuasan terjadi pada aspek-aspek seperti penuntasan kasus hukum dan kekerasan oleh aparat, pemberantasan suap, jaminan kesamaan di muka hukum, dan pemberantasan korupsi.
Fluktuasi tren kepercayan atau kepuasan publik terhadap sektor penegakan hukum memang merupakan refleksi dan menjadi pekerjaan rumah bersama pada tahun 2024. Terdapat beberapa hal yang fundamental dalam dinamuka sistem penegakan hukum di tahun 2023 ini.
Pertama terkait dengan pelaksanaan program reformasi kultur dan struktur. Pemerintah berupaya menerapkan reformasi kultur dan struktur di seluruh Kementerian/Lembaga, termasuk institusi penegakan hukum dan sistem peradilan.
Namun, hal ini terlihat terkendala dan lambat, seiring dengan berbagai hal seperti tingkat pendidikan, budaya koruptif yang masih kental, dan masih adanya perdagangan pengaruh. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusim dan Nepotisme tampaknya belum berjalan sepenuhnya.
Sistem penegakan hukum dan aparatnya masih diwarnai dengan mafia hukum, suap, dan penyalahgunaan kewenangan.
Belum lagi ditambah dengan budaya kekerasan, kesewenangan, dan keterlibatan dalam tindak pidana.
Setiap insitusi penegak hukum telah memiliki manajemen Sumber Daya Manusia dan pengawasan.
Berbagai cara untuk mengoptimalkan pengawasan, profesionalisme, dan transparansi terlihat telah dilakukan melalui sistem pengawasan melekat hingga digitalisasi.
Akan tetapi, masyarakat tetap dapat melihat dengan mata telanjang adanya praktik mafia di sektor pelayanan publik, seperti suap di pengurusan perkara, penggunaan pengaruh “orang dalam”, dan berbagai penyalahgunaan kewenangan oleh aparat seperti penggunaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Reformasi Kultur dan Struktur di manajemen Sumber Daya Manusia di sektor hukum merupakan agenda yang sangat penting untuk diprioritaskan, mengingat penegakan hukum dan keadilan merupakan harapan terakhir masyarakat terhadap kesewenangan kekuasaan dan pemerintahan.
Budaya organisasi dan sumber daya manusia harus diarahkan pada keadilan, transparansi, profesionalisme, akuntabilitas, dan mengutamakan integritas. Maka dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang dapat memberikan teladan dan tegas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara bersih dan tidak pandang bulu serta lebih responsif dan berorientasi pada layanan publik.
Hal kedua, terkait dengan pelaksanaan mekanisme atau sistem layanan di sektor penegakan hukum yang kurang responsif dan berkualitas.
Selain masih adanya praktek mafia hukum, sektor penegakan hukum masih kental dengan rendahnya kualitas dan responsivitas yang ditandai dengan menurunnya tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat.
Sebagai contoh indikasi, penerimaan pengaduan terkait dengan implementasi layanan sistem penegakan hukum di tahun 2023 juga sangat tinggi.
Pada sistem pengaduan masyarakat di DPR terkait penegakan hukum masyarakat mengeluhkan kurang profesional dan responsifnya implementasi mekanisme penegakan hukum (sekitar 70 persen).
Namun di satu sisi, institusi penegak hukum tampak lebih responsif jika kasus tersebut telah viral atau menyangkut kepentingan tertentu.
Sistem penegakan hukum ini harus mampu meningkatkan responsivitas layanan publik.
Namun jangan disalahartikan sebagai upaya untuk meningkatkan kecepatan dalam penanganan perkara hingga selesai saja atau tidak memperhatikan kualitas keadilan dan kemanfaatannya.
Refleksi ketiga terkait dengan independensi dan netralitas sistem peradilan dan penegakan hukum.
Pada saat ini banyak undang-undang yang telah lahir, baik di sektor materiil (seperti KUHP, UU Narkotika, UU ITE, UU Tipikor), maupun kelembagaan (UU Pemasyarakatan, UU Kejaksaan, UU Imigrasi) dan lain-lainnya yang terkait dengan penegakan hukum.
Di level kebijakan hampir seluruh celah menjadi pembahasan dan disikapi dengan aturan untuk membatasi atau mengeliminasinya.
Akan tetapi dalam implementasinya, sistem penegakan hukum masih sangat terpengaruh dengan kekuasaan atau kepentingan politis tertentu, yang seolah mencerminkan negara kekuasaan (machtstaat).
Seperti contohnya, terakhir kita melihat fenomena adanya gangguan pada kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Konstitusi yang tercemar akibat oknum tertentu yang mencoba untuk melebarkan pengaruh kekuasaan dan jabatannya.
Kemudian bagaimana seorang Jenderal Polisi mempengaruhi seluruh instansi terkait untuk mencoba mengaburkan fakta dan alat bukti yang memberatkannya.
Dalam implementasi Undang-Undang, terlihat banyaknya celah yang kemudian disikapi dengan sikap kurang profesional dan netral atau dengan kata lain memihak kepada kekuasaan tertentu.
Oleh sebab itu, banyak kajian akademis maupun opini masyarakat yang terlihat di berbagai media, memperlihatkan ketidakpuasan masyarakat akan sistem peradilan atau penegakan hukum.
Pada akhirnya media lebih menguasai dan memengaruhi responsivitas dan hasil dari penanganan perkara dalam sistem peradilan.
Persoalan ini justru merupakan salah satu fenomena eksploitasi demokrasi yang harus sangat diwaspadai, dimana seharusnya sistem penegakan hukum menjadi penyeimbang sekaligus pelindungnya.
Banyak hal yang mempengaruhi perilaku dan sistem yang di lapangan justru menyimpang di negeri ini, khususnya terkait dengan perilaku korupsi.
Penyebabnya dimulai dengan masih adanya intervensi atau yang lebih dikenal sebagai “orang dalam”.
Selain itu masih adanya perilaku kekuasaan yang menyimpang, kentalnya budaya kolusi dan suap, kurangnya pengawasan dan teladan kepemimpinan, dan transparansi dan akuntabilitas belum terlaksana sepenuhnya.
Inilah yang paling perlu untuk diketahui dan diperbaiki oleh para pemimpin bangsa ini (James Walsh, IMF, 2010).
Program Pemerintah dalam mereformasi kelembagaan atau struktural harus juga didahului atau dibarengi dengan reformasi sosio-budaya (seperti juga dikemukakan oleh Yudi Latif untuk mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila).
Oleh sebab itu, penulis mencoba melihat upaya perubahan ini secara implementatif dan realistis bahwa dalam mengubah suatu sistem pemerintahan dan keadaan sosial masyarakat. Setidaknya perlu dilakukan perubahan terhadap kultur untuk modernisasi dan integritas di samping melakukan perubahan secara sosio-ekonomi dan perubahan kelembagaan sesuai dengan prinsip demokrasi.
Perubahan ini merupakan urgensi atau prioritas mengingat perubahan perilaku kultur dan etika serta pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat penting dalam mengubah perilaku sosial dan pembangunan demokrasi.
Semoga di tahun 2024, perubahan ini dapat dibangun dan ditanamkan sehingga dapat berdampak pada fondasi dan perbaikan sistem penegakan hukum yang modern secara jangka panjang.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari