Reforma Agraria Jalan Keluar dari Ketidakadilan Pembangunan

Senin, 24 September 2018 – 09:55 WIB
Mantan wartawan dan calon anggota DPR RI Periode 2019-2024 dari Partai Demokrat Dapil 8 Jawa Timur, Jan Prince Permata. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh: Jan Prince Permata S.P, M.Si

Mantan wartawan dan calon anggota DPR RI Periode 2019-2024 dari Partai Demokrat Dapil 8 Jawa Timur

BACA JUGA: BPN dan DPD Setuju Redistribusi Lahan Terlantar

Dunia kini mengalami berbagai perubahan global fundamental yang berlangsung cepat. Perubahan fundamental tersebut antara lain disebabkan pertarungan idiologi dan pemikiran yang membawa manusia pada suatu pengalaman dan kehidupan baru yang penuh tantangan.

Futurolog, Yoshihiro Francis Fukuyama, melalui bukunya yang popular berjudul ‘The End of History and The Last Man’ pernah menggambarkan bahwa pertarungan idiologi dan pemikiran yang mewarnai sejarah masyarakat global telah berakhir dengan kemenangan mutlak ekonomi pasar bebas (free market economy). Fukuyama menekankan bahwa pasar bebas akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan global. Namun, kenyataan berkata lain. Memasuki abad 21 praktik ekonomi pasar bebas tetap mereproduksi permasalahan kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakadilan.

BACA JUGA: Kayu Putih Harapan Baru di Kaki Gunung Wilis

Hingga detik ini kita ketahui bahwa sedikitnya satu miliar dari tujuh miliar manusia di planet bumi masih terbelenggu dalam kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakadilan. Mereka kerap diasosiasikan sebagai ‘anak haram’ pembangunan, yang secara keseluruhan membentuk kesenjangan struktural atas dasar pembelahan kaya dan miskin; maju dan terbelakang. Kondisi ini merupakan kenyataan pahit yang dialami masyarakat tak hanya dalam suatu negara (elite dan rakyat), tetapi juga antar-negara (negara kaya dan negara miskin).

Bagi Indonesia yang telah merdeka 73 tahun, problem kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan tersebut merupakan kenyataan menyedihkan yang jauh dari cita-cita bapak pendiri bangsa (founding fathers). Bung Hatta dalam salah satu tulisannya berjudul “Politik dan Ekonomi” (pertama kali dimuat dalam Daulat Ra’yat, No. 36 Tanggal 10 September 1932) menegaskan bahwa ”Politik dan ekonomi harus sejalan, mendorong ke muka! Politik harus berusaha menuntut hak rakyat. Ekonomi berusaha untuk memperbaiki dan menyelamatkan penghidupan rakyat… memerdekakan penghidupan rakyat”.

BACA JUGA: Sepertinya Gerindra Mainkan Isu Agraria Pakai Data Kardus

Pasal 33 UUD 1945 (yang telah diamandemen) menyatakan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”. Konstitusi kita ini mengamanatkan adanya bangunan perekonomian yang didalamnya rakyat bisa memperoleh keadilan dan kemakmuran. Pendek kata, untuk menghindari terjerumus pada jalan kegelapan yang lebih panjang maka diperlukan keberanian untuk putar haluan, ‘banting stir’, mengarahkan kembali perjalananan pembangunan sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa.

Tekad dan keinginan untuk mewujudkan kebijakan pembangunan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat relevan untuk terus kita perbincangkan. Hari ini, 24 September termasuk hari yang penting untuk merefleksikan kembali bangunan dan arah pembangunan kita. Mengapa? Karena 24 September telah ditetapkan pemerintah sebagai Hari Tani Nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 169 Tahun 1963. Penetapan ini juga mengacu kepada tanggal disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan UUPA pada 24 September 1963 Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Rotong (DPR-GR).

Substansi UUPA adalah mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria. UUPA, yang kerap disebut sebagai “anak kandung Pasal 33 UUD 1945” ini menyatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum tani dan masyarakat adat berhak untuk menguasai dan mengelola tanah untuk kesejahteraan rakyat. Presiden pertama RI, Soekarno menegaskan bahwa dengan lahirnya UUPA, rakyat tani dapat membebaskan diri dari bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melapangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.

Namun, sejak diundangkan, Reforma Agraria belum sepenuhnya terlaksana karena berbagai kendala politik dan sosial. Selama pemerintahan Orde Baru, Reforma Agraria yang genuine (asli) tak menjadi concern dalam kebijakan pembangunan. Orde Baru menjalankan program transmigrasi yang oleh sebagian kalangan dinilai mirip dengan reforma agraria.

Setelah era reformasi, reforma Agraria kembali menggema. Di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur lahir TAP MPR No. IX tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono reforma agraria sempat diangkat dalam diskursus pembangunan dan difokuskan untuk untuk mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Melalui Pidatonya, Presiden SBY menyebutkan rencana besarnya yang terkait dengan reforma agraria, yakni redistribusi lahan dan sertifikasi tanah. Terdapat 8,12 hektar lahan terlantar yang dulu hendak dijadikan Presiden sebagai objek program pembaruan agraria nasional.

“Inilah yang saya sebut sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan,” kata SBY. Program sertifikasi lahan dan redistrubusi aset juga berlangsung di era SBY, walaupun oleh beberapa kalangan dinilai belum signifikan. Namun tekad dan upaya untuk menjalankan reforma agraria terlihat di era ini.

Pemerintahan Presiden Jokowi juga mengangkat tema reforma agraria. Janji reforma agraria pemerintahan Jokowi tersurat disebutkan dalam poin kelima program nawa cita. Disebutkan bahwa: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar”; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.

Konsorsium Pembaruan Agaria menyebutkan bahwa sembilan juta hektar lahan yang diproyeksikan dari Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) di era Jokowi ini bersumber dari kawasan hutan seluas 4,1 juta hektare. Sisanya, lahan berasal dari Hak Guna Usaha (HGU) habis, atau tanah terlantar seluas 0,4 juta hektare dan legalisasi aset seluas 4,5 juta hektare.

Dari sisi konsepsi reforma agraria didefinisikan sebagai land reform plus access reform. Land reform adalah redistribusi aset atau pembagian tanah kepada rakyat (miskin). Access Reform merupakan pembukaan akses ke sumber daya alam, keuangan/modal, teknologi, pasar barang dan tenaga kerja, dan juga distribusi kekuatan politik (dukungan APBN/APBD).

Reforma agraria pada prinsipnya selalu dimaksudkan untuk mengatasi persoalan sosial ekonomi pedesaan yang terkait dengan penguasaan tanah dan sumber daya alam. Restrukturisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam adalah unsur penting dari program reforma agraria. Tujuannya, agar tidak terjadi konsentrai penguasaan dan pemaafaatan tanah dan kekayaa alam, memastikan hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam serta menjamin keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi rakyat setempat (Noer Fauzi;2003).

Pendek kata, reforma agraria memainkan peran penting dalam perang melawan kemiskinan, utamanya di perdesaan. Sasaran utama reforma agraria adalah terciptanya keadilan sosial yang ditandai dengan adanya keadilan agraria.

Ketimpangan Aset

Ketimpangan kepemilikan aset atau sumber-sumber agararia menjadi salah satu problem serius di Tanah Air. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2010 menyatakan, sekitar 0,2 persen orang Indonesia menguasai 56 persen seluruh aset nasional, yang 87 persen di antara aset itu berupa tanah. Sebanyak 7,2 juta hektare tanah yang “dikuasai swasta secara sengaja ditelantarkan”.

Sementara gini ratio penguasaan tanah di Indonesia mendekati angka 0,58. Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 59 persen luas tanah di Indonesia.

Berdasarkan sensus pertanian tahun 2013, sekitar 56,03 persen petani Indonesia merupakan petani gurem yang penguasaan lahannya kurang dari 0,5 hektare. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Rata-rata kepemilikan lahan petani Thailand mencapai 3,2 hektar dan petani Filipuna sebesar 2 hektare.

Data yang bersumber dari BPS juga menunjukkan kondisi yang senada. Berdasarkan data sensus pertanian 1973 hingga 2003, luas penguasaan tanah menunjukkan kecenderungan rakyat di pedesaan semakin terpolarisasi. Jika pada tahun 1973, jumlah rumah tangga petani (RTP) yang menguasai tanah dibawah 0,1 ha mencapai 3,4 persen maka pada tahun 2003 meningkat menjadi 17,17 persen. Data mutakhir Sensus Pertanian 2013 menunjukkan indeks ketimpangan penguasaan tanah mencapai 0,72 atau sangat timpang. Gini Rasio penguasaan tanah di Jawa mencapai 0,72 dan di luar Jawa mencapai 0,58.

Dalam kurun waktu sensus 2003-2013 menunjukkan sekitar 4 juta RTP gurem di Jawa terlempar dari lapangan usaha pertanian. Sementara di Papua dan Maluku, jumlah RTP gurem memiliki tren peningkatan secara signifikan. Di lain pihak, berdasarkan hasil penelitian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sekitar 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara.

Data dan fakta ketimpangan aset/tanah di Indonesia menjadi penanda betapa penting dan strategisnya upaya menjalankan reforma agraria yang sejati (genuine).

Sejak Bung Karno mencanangkan gerakan reforma agraria yang ditandai dengan pencangkulan tanah sebagai dimulainya pembangunan semesta berencana, reforma agraria yang genuine memang belum pernah signifikan terelisasi. Sejak era reformasi hingga saat ini fokus pemerintah adalah aspek legalisasi asset, berupa penerbitan dan pembagian sertifikat tanah.
Tidak gampang memang menjalankan reforma agraria. Namun beberapa negara telah sukses menjalankan program ini sebut saja, Jepang, Taiwan, Tiongkok, Kanada, Peru, negara-negara skandinavia dan beberapa negara Amerika Selatan.

Kerumitan di Indonesia salah satunya adalah proses kesejarahan dan politik. Namun, di sisi lain, kita punya modalitas kuat yakni konstitusi kita dan UUPA 1960. Dukungan dari seluruh komponen masyarakat, partai politik, TNI, Polri, kelompok bisnis/pengusaha, kalangan agama penting dalam melaksanakan reforma agraria sebagai jalan keluar dari “gelapnya” pembangunan yang hingga saat ini belum mampu sepenuhnya mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan. Momen hari tani 24 September kiranya memperkuat tekad dan semangat kita untuk melaksanakan reforma agraria bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selamat Hari Tani Nasional, Selamat Hari Agraria.***

BACA ARTIKEL LAINNYA... AHY Sosok Pemimpin Zaman Now


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler