jpnn.com - SURABAYA - Persoalan penerapan hunian berimbang yang membelit sejumlah pengembang perumahan di tanah air ditindaklanjuti oleh REI (Real Estate Indonesia). Asosiasi yang mewadahi pengembang seluruh Indonesia itu berencana melakukan kajian mendalam terhadap konsep hunian berimbang.
Ketua Umum DPP REI Eddy Hussy mengatakan menindaklanjuti laporan kementerian perumahan rakyat tersebut, pihaknya akan melakukan rapat dengan perwakilan-perwakilan DPD REI pada 24 Juni nanti.
BACA JUGA: Kepala BKPM Sebut Pilpres Belum Pengaruhi Iklim Investasi
Rapat tersebut untuk menyamakan persepsi sekaligus menunjuk pengacara terkait kasus yang dihadapi 191 pengembang perumahan.
"Kami akan lakukan kajian mendalam, jadi kalau ada anggota yang dipanggil sudah memiliki persepsi yang sama," katanya di sela Musda Real Estate Indonesia (REI) Jawa Timur XIII-2014 kemarin (18/6).
BACA JUGA: Jelang Puasa, Tingkatkan Kewaspadaan pada Makanan Kadaluarsa
Dijelaskan, pengembang di kota-kota besar mengalami kesulitan menerapkan konsep hunian berimbang 1:2:3. Konsep tersebut diartikan, tiap membangun satu rumah mewah, pengembang wajib membangun dua rumah menengah dan tiga rumah sederhana. Kesulitan tersebut terutama ketika membangun rumah sederhana yang dibatasi harga dengan rentang tertentu.
"Di sisi lain kami bersyukur keluarnya peraturan menteri keuangan tentang pembebasan PPN, sehingga harga rumah yang sebelumnya Rp 88 juta-Rp 145 juta, sekarang naik menjadi Rp 105 juta-165 juta. Adanya penyesuaian itu cukup baik, tapi di kota besar ini masih jadi kendala," tuturnya.
BACA JUGA: Hong Kong-Denpasar Rute Terakhir Mandala Airlines
Pembangunan rumah sederhana dengan rentang harga tersebut sulit direalisasikan di kota besar seperti DKI Jakarta, Surabaya dan Bali. Dia menilai konsep rumah berimbang berdasarkan tipe atau luas kavling lebih mudah diterapkan.
Sebelum aturan 1:2:3 diberlakukan, konsep hunian berimbang menggunakan pendekatan 1:3:6. Aturan lama itu tidak menyebutkan harga jual maksimal rumah sederhana, tapi hanya menyebutkan besaran kavling.
"Dulu konsep 1:3:6 berdasarkan tipe, jadi enam rumah sederhana yang dibangun bisa memiliki tipe 70. Nah kalau sekarang berdasar patokan harga. Padahal penentuan harga jual itu menjadikan konsep hunian berimbang sulit diterapkan. Tidak semua kota bisa menerapkan harga tersebut," tandas Eddy.
Sedangkan terkait harga rusunami (rumah susun sederhana milik) yang ditetapkan menjadi Rp 9 juta per meter, dinilai belum sesuai dengan kondisi sekarang. Apalagi dicontohkan seperti di Jakarta, harga tanah sudah melambung. Selain itu, rusunami juga belum mendapat persetujuan untuk pembebasan PPN.
Dalam menerapkan hunian berimbang, pihaknya juga kerap terbentur dengan peraturan daerah. Yaitu menyangkut rencana tata ruang dan wilayah dan perizinan. Sebab, kebanyakan pemerintah daerah sudah membuat aturan berbeda dengan ketentuan kementerian perumahan rakyat.
Tidak hanya itu, pengembang di daerah juga menghadapi persoalan listrik. Sebagaimana diketahui, REI Jatim mengeluhkan untuk sementara waktu PLN tidak melayani sambungan baru karena terkendala dana subsidi yang belum cair. Eddy menanggapi, pihaknya sedang berkoordinasi dengan PLN untuk membahas persoalan tesebut. "Kami juga sudah bertemu dengan pejabat Bank Indonesia dan mengkritisi tentang LTV (loan to value). Mereka merespons baik," ungkapnya.
Eddy melanjutkan, walau menghadapi berbagai persoalan target pembangunan rumah sederhana tidak terpengaruh. Bahkan ia optimistis pembangunan bisa lebih tinggi dari target yang ditetapkan sebesar 120 ribu unit rumah sederhana.
"Saat ini dari total pembangunan rumah baru, sebanyak 80 persen di antaranya merupakan rumah murah. Hingga sekarang secara nasional sudah 20 ribu rumah yang dibangun. Kami berusaha memenuhi target, apalagi ketentuan pembebasan PPN baru saja keluar," tukasnya.
Wakil Ketua REI Jatim periode 2011-2014 Nur Wahid mengusulkan, selain pembebasan PPN, perlunya pemberlakuan pajak progresif untuk rumah subsidi. Naiknya batasan harga membuat harga rumah bersubsidi minimal Rp 105 juta.
Sedangkan rumah dengan harga di atas Rp 100 juta dikenai PPh sebesar 5 persen. Sedangkan kalau di bawah itu sebesar 1 persen. "Sebaiknya progresif, di atas Rp 100 juta cukup dikenai PPh 2 persen. Jadi, tidak langsung 5 persen," jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga mempertanyakan kebijakan pemerintah terkait pengaturan harga rumah subsidi. Dijelaskan, menteri perumahan rakyat yang lama pernah menyerahkan harga pada pengembang. Sebab harga tersebut mencakup mekanisme pasar seperti harga tanah dan bahan bangunan yang terus naik.
"Jadi pemerintah hanya mengutak-atik dari sisi subsidi, dan itu memang ranah mereka. Selain itu perbankan juga menerapkan verifikasi yang ketat," tuturnya.
Sementara kalau dikalkulasikan, keuntungan pengembang juga tidak sepenuhnya naik dengan adanya kebijakan pembebasan PPN. Sebab dengan perhitungan harga rumah sebesar Rp 105 juta, pengembang harus menanggung PPh sebesar 5 persen dan biaya jaringan listrik sekitar Rp 2 juta per unit yang total sekitar Rp 7,5 juta. Bahkan, bukan tidak mungkin beban tersebut dialihkan pada calon pembeli. (res)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bangkrut, Bulan Depan Mandala Airlines Setop Beroperasi
Redaktur : Tim Redaksi