Di antara puluhan anggota tim Disaster Victim Identification (DVI) RS Polri Kramat Jati yang tengah mengidentifikasi jasad korban Sukhoi Superjet 100, terdapat gadis cantik yang wajahnya sudah familier. Dia adalah Reisa Kartikasari, Putri Indonesia Lingkungan 2010. Mengapa dia di sana?
SEKARING RATRI A., Jakarta
KEBERADAAN Reisa Kartikasari di tengah-tengah tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri yang mengidentifikasi jasad korban Sukhoi cukup mencolok. Dengan wajah ayu serta tinggi badan 173 cm, Reisa menarik perhatian setiap orang yang ada di sana. Padahal, dia hanya mengenakan kaus biru gombrong dengan logo DVI.
Bawahannya tak kalah simpel, hanya celana kain panjang berwarna senada. Wajahnya pun polos tanpa riasan.
Reisa adalah salah satu anggota tim DVI Polri yang sudah lebih dari sepuluh hari ini disibukkan dengan proses identifikasi jenazah korban pesawat Sukhoi Superjet 100 yang menabrak Gunung Salak, Bogor (9/5). Seperti anggota lain tim itu, Reisa yang tak lain adalah Putri Indonesia Lingkungan 2010 tersebut harus berkutat dengan potongan-potongan tubuh (body part) korban yang sebagian besar sudah tidak berbentuk.
Bersama anggota tim, dia bekerja keras mengungkap identitas para korban satu per satu. Tidak jarang, Reisa harus begadang semalaman untuk menyelesaikan pekerjaannya di bagian DVI RS Polri Kramat Jati. Namun, hal itu sama sekali tidak membebani dara cantik tersebut.
Biasanya, Reisa bertugas membikin laporan DVI, termasuk mencocokkan data antemortem dan postmortem sejumlah jenazah. Namun, tidak jarang pula dia harus ikut mengutak-atik jenazah saat otopsi. Lewat salah satu foto yang ditunjukkan kepada Jawa Pos, tampak Reisa dengan santainya melakukan pemeriksaan atas potongan tubuh korban bersama anggota tim yang lain. Dia tidak shocked atau mual saat menyaksikan potongan tubuh korban yang kondisinya mengenaskan.
"Mungkin karena sudah biasa, ya. Dan ini adalah kasus besar saya yang kesekian. Jadi, tidak ada beban sama sekali," ujar Reisa saat ditemui di RS Polri.
Kamar mayat dan isinya memang bukan hal baru bagi Reisa. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan tersebut menuturkan bersinggungan dengan jenazah sejak kali pertama menjalani program co-assistant di RS Polri pada 2007. Saat itu dia dan kawan-kawannya sesama mahasiswa fakultas kedokteran diminta melakukan suatu hal yang ekstrem.
"Kami dikerjain dokternya, hari pertama langsung ikut otopsi mayat. Eh, ternyata kami sudah langsung disuruh gergaji kepala orang. Ya pasti shock therapy karena gimanapun juga," ujarnya, lantas terbahak.
Setelah menjalani program itu, Reisa makin tertarik dengan dunia kedokteran forensik. Tak lama setelah lulus, dara 26 tahun tersebut memutuskan untuk bergabung dengan bagian forensik RS Polri pada 2009. Menurut dia, bagian forensik sangat menarik. Apalagi, dia gemar menonton serial thriller dari Amerika Serikat, CSI: Crime Scene
Investigation.
"Saya senang banget nonton CSI. Terus, waktu masih co-assistant di bagian forensik, seru saja rasanya, bisa solving causes dari jenazah. Dokter-dokternya juga baik dan banyak kasus menarik yang dipecahkan lewat identifikasi jenazah," ujarnya.
Saking gemarnya dengan bidang itu, dara kelahiran Malang, Jatim, tersebut pernah berniat melanjutkan pendidikan di jurusan ilmu kedokteran forensik. Sayang, orang tuanya tidak setuju dengan pilihan itu. "Mereka ngeri waktu tahu kesukaanku sama dunia forensik. Padahal, forensik itu luas, nggak cuma tentang jenazah," ujarnya.
Namun, lama-kelamaan orang tuanya tidak lagi protes dengan pilihan Reisa. Bungsu di antara dua bersaudara itu pun makin giat bekerja. Apalagi, sejak menjadi staf forensik RS Polri, dia langsung menangani kasus-kasus besar.
Selain kasus pesawat SSJ 100, dia pernah terlibat dalam proses identifikasi jenazah korban bom JW Marriott pada 2009. Bukan hanya itu, serangkaian kasus yang melibatkan teroris pernah dia urus.
Ketika ditanya jumlah kasus yang pernah ditangani, Reisa mengatakan sudah tidak ingat jumlahnya. Yang jelas, sudah ratusan kasus. Namun, di antara sekian banyak kasus tersebut, adik kandung pengacara tenar Dea Tunggaesti itu mengaku paling terkesan saat menangani identifikasi jenazah korban tenggelamnya KM Levina 1 yang menewaskan 51 orang. Insiden tersebut terjadi saat dia masih magang sebagai dokter muda di RS Polri.
"Peristiwa itu yang paling terngiang-ngiang sampai sekarang. Sebab, waktu itu korbannya banyak. Itu kali pertama saya menangani kasus besar. Karena korbannya meninggal dalam keadaan tenggelam, jadi baunya juga lebih anyir daripada korban tewas terbakar atau tabrakan," jelas Reisa.
Namun, dara bertubuh tinggi semampai itu mengakui, meski sudah bertahun-tahun menangani mayat, dirinya juga terkadang ngeri begitu menyaksikan jasad yang kondisinya remuk. Dia mengungkapkan pernah mengotopsi jenazah seorang kuli bangunan yang tewas karena tergencet benda berat di tempat kerja. "Kasihan banget sekaligus ngeri karena tubuhnya remuk," papar dia.
Di dunia forensik, Reisa mengaku senang jika bisa memecahkan kasus dari hasil otopsi jenazah. Dia mencontohkan, saat sesosok jenazah datang, di mana dirinya beserta tim sama sekali tidak mengetahui identitas maupun penyebab tewasnya orang tersebut, kondisi itu justru menjadi tantangan tersendiri.
"Untuk memperkirakan waktu kematiannya, bisa dilihat dari ukuran belatungnya. Kalau makin besar, berarti sudah lama meninggalnya. Kami senang banget kalau akhirnya bisa menemukan identitasnya dan mengungkap penyebab kematiannya. Yang paling sulit saat tidak berhasil mengidentifikasi," terang dia.
Meski begitu, Reisa menekankan bahwa bagian forensik tidak hanya berkutat dengan kasus-kasus orang yang sudah meninggal. Dia juga berurusan dengan kasus-kasus kekerasan atau pembunuhan yang membutuhkan visum pasien hidup. Dia mengatakan, banyak anak di bawah umur korban pemerkosaan dan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ditanganinya. Dalam sehari dia bisa menangani sepuluh proses visum.
"Di RS Polri ada dua tempat pelaporan pembuatan visum hidup dan mati. Jadi, yang ditangani banyak," ucap dia.
Namun, di balik kegiatan mengurusi mayat itu, tidak ada yang mengira bahwa Reisa juga menekuni dunia kecantikan, yang jelas bertolak belakang dengan bidang forensik. Di klinik kecantikan JMB runner-up pertama Putri Indonesia 2010 itu menjadi salah seorang dokter yang berpraktik sejak 2009.
Dia memang pernah mengenyam pendidikan singkat di sebuah sekolah kecantikan. Karena itu, penampilan Reisa saat berpraktik sebagai dokter kecantikan jauh berbeda jika dibandingkan dengan saat dirinya bertugas sebagai tim DVI Polri.
Saat menjadi dokter kecantikan, bisa dibilang penampilan Reisa full make-up meski tidak terlalu tebal. Begitu juga busana yang dia kenakan. Di balik jubah putih dia mengenakan dress cantik selutut.
"Itu bedanya. Kalau di sini, harus dandan kayak gini. Nggak bisa polosan seperti pas di rumah sakit Polri," ujarnya ketika ditemui di klinik kecantikan JMB, kawasan Prapanca Raya, Jakarta Selatan Minggu (20/5).
Pasien yang dia tangani pun jauh berbeda. Pada umumnya, pasien Reisa adalah kaum hawa yang ingin mempercantik wajah dan tubuh. Bukan hanya si pasien, Reisa juga harus pandai menjaga kecantikan diri.
Karena jadwal pekerjaan yang padat, Reisa selalu menyempatkan diri melakukan perawatan rambut, wajah, dan tubuh saat mandi. Kadang, saat pasien di klinik sepi, dia menyempatkan diri menjalani perawatan laser wajah.
Meski harus menjalani dua bidang yang sangat kontras, Reisa tidak kerepotan. Asal pandai mengatur jadwal, dia justru menikmati bisa terlibat di dua bidang tersebut. Sebab, Reisa mengaku bahwa dirinya adalah tipe perempuan yang aktif dan tidak betah berdiam diri terlalu lama.
"Pasti ada saja yang pengin saya kerjakan. Jadi, kalau sibuk malah senang," ujar perempuan yang jarang berlibur saat weekend itu.
Soal keterlibatannya dalam ajang Putri Indonesia 2010, Reisa mengaku hanya iseng. Sebab, yang ngotot agar dirinya ikut justru sang ibu dan teman-temannya. Tepat saat berusia 24 tahun, Reisa mendaftarkan diri. Dia mengumpulkan formulir pendaftaran dalam perjalanan ke rumah sakit. "Jadi, ya pakai baju kerja gitu," terang dia.
Karena itu, ketika terpilih, bahkan berhasil menjadi runner-up pertama Putri Indonesia 2010, Reisa mengaku tidak percaya bisa sampai sejauh itu. Otomatis, sejak menjadi Putri Indonesia Lingkungan 2010, pekerjaannya di klinik dan RS terhenti sementara. Dia harus terfokus pada segala kegiatan keputrian.
Meski begitu, dia mengaku bersyukur bisa menjadi Putri Indonesia. Reisa belajar banyak hal, termasuk cara berdandan dan berpakaian yang baik, dari pengalamannya di ajang itu.
Namun, sejak menyandang gelar Putri Indonesia Lingkungan 2010, Reisa kerap digoda rekan-rekannya di bagian forensik RS Polri. Mereka menyebut dia putri forensik. "Ada juga yang nyebut putriku lah," ucap dia.
Bukan hanya rekan-rekannya, atasannya juga kerap menggodanya. Sebagai staf forensik RS Polri, dia sering mendapat panggilan tugas jika ada kasus-kasus besar, termasuk kasus Sukhoi itu. "Waktu itu ditelepon, ini ada kasus lagi. Eh, pas saya bilang oke, dia malah bilang kirain sudah nggak mau (karena sudah jadi Putri Indonesia)," ujarnya sambil tersenyum.
Ke depan Reisa yang kini menempuh program S-2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu mengaku akan tetap bergelut dengan dunia forensik dan kecantikan. Sebagai staf forensik, dia mengaku bangga karena laboratorium DNA di RS Polri termasuk yang terbaik di dunia.
Tidak jarang sejumlah pihak di luar negeri mengirimkan sampel DNA ke RS itu. "Soal dunia kecantikan, selama saya masih jadi dokter kecantikan, mama yang senang," imbuh dia. (c11/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jonathan Chrisnanda, Tunarungu yang Sukses Berjualan Gundam via Online
Redaktur : Tim Redaksi