jpnn.com, JAKARTA - Polda Metro Jaya baru menggelar rekonstruksi kasus aborsi di salah satu klinik di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat, Jumat (25/9) sore.
Wakil Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya, AKBP Jean Calvijn Simanjuntak menjelaskan bagaimana persiapan tindakan aborsi yang dilakukan tersangka RS di rumah praktik tersebut.
"Setelah berhasil menentukan tempat aborsi, tersangka sekaligus pasien, RS, dijemput oleh petugas untuk dibawa ke rumah praktik aborsi di Jalan Percetakan Negara III," kata Calvijn.
Ia melanjutkan, sesampainya di rumah aborsi, RS sudah langsung bisa masuk ke lokasi karena sudah diantar oleh petugas tersebut.
RS kemudian dibawa ke ruangan register untuk melakukan pendataan administrasi. Setelah melewati itu, barulah dia diarahkan menuju ruangan USG untuk melakukan pemeriksaan kondisi janin.
"Di tempat USG itulah terjadinya tawar menawar harga. Harga ditentukan setelah mereka melihat berapa usia janin dalam kandungan," tambah Calvijn.
Dalam paparannya, klinik tersebut hanya bisa melayani usia kandungan janin maksimal 12 minggu.
"Setelah melihat usia, barulah mereka menentukan harga. Penawaran harga praktik aborsi ini berkisar Rp4-5 juta," ungkapnya.
Sebelumnya diberitakan, Subdit 4 Jatarnas Polda Metro Jaya telah menangkap 10 pelaku praktik aborsi ilegal di jalan Percetakan Negara 3, Jakarta Pusat pada Rabu (9/9) lalu.
Kesepuluh orang tersebut memiliki peran masing-masing. BK (30) berpesan sebagi dokter yang bertugas melakukan aborsi, LA sebagai pemilik klinik. Kemudian NA berperan sebagai registrasi pasien atau kasir, MM berperan melakukan USG.
Lalu, YA membantu dokter saat melakukan aborsi. Selain itu, RA sebagai penjaga klinik, ML berperan menbantu di ruang aborsi, ED berperan sebagai cleaning service, SM berperan melayani pasien. Terakhir, RS seorang pasien yang baru selesai diaborsi saat penggeledahan polisi.
Penangkapan itu dilakukan berawal dari laporan masyarakat yang diterima polisi dan melakukan aborsi cukup lama.
Klinik ilegal tersebut sudah beroperasi sejak 2017 lalu. Bahkan, 2002-2004 pernah beroperasi kemudian ditutup.
Atas perbuatan itu, para tersangka dikenakan Pasal 346 KUHP dan atau Pasal 348 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 194 Jo.
BACA JUGA: Tok, Hidayatulloh Terdiam Divonis Hukuman Mati
Pasal 75 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan ancaman maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. (mcr4/jpnn)
BACA JUGA: Berita Duka, Syamsul Bahri Meninggal Dunia
Redaktur & Reporter : Dicky Prastya