Respons Ketua Komisi III Ihwal Pembebasan Napi di Tengah Pandemi Corona

Senin, 06 April 2020 – 20:18 WIB
Ketua Tim Kunker Komisi III DPR Herman Hery saat diarak oleh ratusan anggota Polda Kalteng di Palangka Raya, Senin (30/10). Foto: istimewa for JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komisi III DPR Herman Herry menyatakan pembebasan narapidana sebagai bagian dari upaya pencegahan dan penanggulangan Covid-19 menimbulkan kontroversi di masyarakat. Menurut dia, pro dan kontra menguat sejalan dengan keluarnya Keputusan Menteri No. H.HH-19.PK. 01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Dalam Kepmen itu disebut, asimilasi dan integrasi dilakukan terhadap narapidana yang dua per tiga masa pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020, serta anak yang setengah masa pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020. Berdasarkan Kepmen ini, diperkirakan lebih dari 30 ribu narapidana dan anak yang mendapat asimilasi dan integrasi.

BACA JUGA: Cegah Penyebaran Virus Corona, Ada 777 Napi dan Tahanan Jatim Dibebaskan

“Pertanyaan pertama yang diapungkan masyarakat tak lain apakah tepat melakukan pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 di lingkungan rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas)? Bukankah para narapidana dan anak binaan justru berada di lingkungan terisolasi dan karenanya relatif aman dari virus corona?” kata Herman, di Jakarta, Senin (6/4).

Politikus PDI Perjuangan itu mengingatkan harus dipahami kegiatan penegakan hukum, termasuk melakukan penahanan, tidak berhenti dilakukan kendati tengah menghadapi perang melawan virus corona seperti sekarang. Artinya, ujar Herman, intake baru di rutan atau lapas bisa tetap terjadi. “Di satu sisi, intake baru ini adalah risiko besar penyebaran,” tegasnya.

BACA JUGA: Update Corona, 6 April 2020: Pasien Positif 2.491 Orang, 209 Meninggal, 192 Sembuh

Herman menambahkan jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), juga telah melakukan sejumlah upaya lain untuk menanggulangi penyebaran virus corona di rutan atau lapas. Misalnya, penyemprotan disinfektan, petugas yang masuk harus mengikuti protokol pencegahan Covid-19, kewajiban memakai masker dan alat pelindung diri (APD), hingga mengganti model kunjungan menjadi video conference.

Namun, ia mengakui bahwa hal itu memang tidak cukup. “Sebagaimana kita ketahui bersama, kondisi di dalam rutan atau lapas di Indonesia sangat padat (overcrowded) sehingga tidak memungkinkan dilakukan physical distancing. Inilah faktor utama sehingga kemudian muncul kebijakan darurat terkait asimilasi dan integrasi narapidana serta anak binaan,” katanya.

BACA JUGA: Pemerintah Depok Akan Menerapkan Pembatasan Sosial? Simak Penjelasan Wali Kota Idris

Herman menilai kebijakan darurat yang diambil Menkumham Yasonna Laoly dan jajarannya ini juga sudah sesuai dengan rekomendasi Komisi Tinggi PBB untuk HAM Michell Bachellet, untuk membebaskan narapidana pada kondisi darurat Covid-19 saat ini. Sub Komite Pencegahan Penyiksaan PBB juga merekomendasikan hal serupa dan telah diikuti secara massif oleh banyak negara.

Iran membebaskan 85 ribu narapidana ditambah 10 ribu tahanan politik. Brazil membebaskan 34 ribu orang, Polandia mengeluarkan lebih dari 10 ribu narapidana, Afghanistan melepaskan lebih dari 10 ribu napi berusia di atas 55 tahun, Tunisia mengeluarkan lebih dari 1.400 orang, sementara banyak negara bagian di AS yang melepaskan ribuan narapidana. “Dengan alasan kemanusiaan, saya sependapat dengan keputusan Menkumham dan jajarannya mengikuti rekomendasi tersebut mengingat kondisi rutan dan lapas di Indonesia sangat padat. Sebagai ketua Komisi III DPR RI, saya rasa kebijakan untuk memberi asimilasi dan integrasi kepada narapidana setelah memenuhi syarat-syarat tertentu merupakan kebijakan yang progresif,” paparnya.

Herman mendukung kebijakan ini asal dipastikan perilisan narapidana ini tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Jangan sampai kebijakan ini malah dijadikan beberapa oknum pegawai lapas untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dan transaksional,” kata legislator dari daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.

Hal kedua yang menjadi perdebatan di tengah masyarakat tak lain soal wacana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Menurutnya, harus juga dipahami bahwa PP ini mengatur tentang ketentuan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat yang berbeda bagi narapidana korupsi, terorisme, hingga narkotika.

Asimilasi dan integrasi bagi narapidana khusus baru bisa diberikan setelah menjalani dua per tiga masa pidana. Berbeda dengan narapidana umum lain yang bisa mendapatkannya setelah menjalani setengah masa pidana. “Selain itu, asimilasi dan integrasi bagi narapidana khusus juga harus mendapatkan rekomendasi dari lembaga terkait,” katanya.

Ia menjelaskan, Kepmen yang dikeluarkan Menkumham pada 30 Maret 2020 menyebutkan bahwa yang akan dibebaskan adalah narapidana yang tidak diatur oleh PP Nomor 99 Tahun 2012. Artinya, narapidana kasus korupsi, terorisme, pelanggaran HAM berat, dan narkotika tidak mendapatkan asimilasi dan integrasi.

“Terkait hal ini, sebagaimana diatur dalam tata perundang-undangan kita, patut digarisbawahi bahwa kewenangan revisi merupakan kewenangan pemerintah. Saya harap Menkumham tetap memperhatikan aspirasi masyarakat terkait isu revisi PP No 99/2012. Sebab, agenda pemberantasan korupsi, narkoba dan terorisme merupakan agenda penting pemerintahan Presiden Joko Widodo,” kata Herman. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler