jpnn.com - JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso berharap Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat memperbaiki mekanisme prapenuntutan.
Sebab, prapenuntutan yang diatur dalam KUHAP saat ini dirasakan tidak sepenuhnya efektif.
BACA JUGA: RUU KUHAP: Penegakan Hukum Seimbang Bila Polisi Urusi Penyidikan, Jaksa di Penuntutan
Topo mengatakan bahwa hal itu disebabkan desain hubungan koordinasi yang terpisah antara penyidik dan penuntut umum.
Otomatis, kata dia, penuntut umum kehilangan kendali untuk mengawasi dan mengarahkan jalannya penyidikan, agar penuntutan berhasil.
BACA JUGA: Tanggapi RUU KUHAP, Gayus Lumbuun: Polisi Sebaiknya Tetap Jadi Penyidik
"Penyidikan tanpa arahan aktif penuntut umum sering kali berujung pada berlarut-larutnya proses penyidikan," kata Topo melalui keterangan tertulis, Kamis (20/3).
Terkait prapenuntutan, lanjut Topo, terdapat perkara-perkara yang penyidikannya tidak diberitahukan kepada penuntut umum, berkas perkara yang bolak-balik, atau banyaknya berkas yang tidak pernah dikirim pada jaksa setelah dikembalikan pada penyidik.
BACA JUGA: Pembahasan RUU KUHAP, Maqdir Ismail Saran Proses Penyidikan Diselesaikan di Kepolisian
Masyarakat sebagai pencari keadilan akhirnya menjadi korban karena banyak perkara tindak pidana yang terjadi tidak terselesaikan.
"Padahal, salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk menyelesaikan tindak pidana yang terjadi, sehingga setiap perkara harus ada akhirnya," ungkap Topo.
Dia menyatakan bahwa revisi KUHAP harus mampu memperbaiki relasi dan keterpaduan, penyidik dan penuntut umum, khususnya koordinasi polisi dan jaksa.
"Jangan sampai, baik jaksa maupun polisi, bekerja didunianya sendiri, tidak ada relasi yang cukup untuk saling mengimbangi," katanya.
Topo sependapat revisi KUHAP telah menjadi kebutuhan mendesak guna merespons perkembangan dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, serta putusan Mahkamah Konstitusi.
Dia memaparkan saat ini sumber hukum pidana materiil bukan hanya KUHP, melainkan sudah lahir lebih dari 10 UU pidana khusus yang di dalamnya juga mengatur sebagian segi formil (acara pidana) secara lex specialis.
Menurut dia, adanya penyidik di luar penyidik Polri dan PPNS, yang diatur di luar KUHAP, harus dipandang sebagai ketentuan khusus, sehingga sesuai dengan prinsip lex specialis derogat legi generali.
Adanya penyidik di luar polri dan PPNS itu tetap berlaku, bahkan perlu ditegaskan eksistensinya dalam revisi KUHAP.
"Dengan demikian, sumbernya bukan hanya KUHP, melainkan juga UU pidana jhusus dan UU sektoral (UU administratif) yang memuat ketentuan pidana," katanya.
"Sebagai ketentuan yang bersifat khusus maka berbagai segi hukum acara pidana di luar KUHAP yang sejatinya melengkapi KUHAP, termasuk adanya penyidik jaksa, KPK, dan lainnya, ini tidak bisa dipandang sebagai penyimpangan norma ataupun harus dihapuskan atau disesuaikan dengan KUHAP," paparnya.
Dia mengungkap sekurangnya ada lima alasan di balik politik hukum mengapa kejaksaan diberi kewenangan penyidikan, yakni check and balances, expertise and resources, public confidence and impartiality, mempercepat proses (streamlining the process), dan pengetahuan yang khusus dan fokus.
Menurut dia, di tengah kinerja kejaksaan dan kepercayaan publik yang kian meningkat, telah ada pula beberapa putusan MK yang menyatakan kewenangan Korps Adhyaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi adalah konstitusional.
"Sebagaimana dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi, pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk menyidik tindak pidana khusus atau tertentu, termasuk korupsi, telah memberikan jaminan kepastian hukum yang adil dan juga memberikan perlindungan hak asasi sekalipun terhadap tersangka," terang Topo.
Lebih jauh Topo menuturkan keterpaduan antara para penegak hukum merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai upaya menanggulangi kejahatan di setiap negara.
Dia menyebut ketiadaan keterpaduan bahkan merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan pemberantasan kejahatan.
Singkatnya, ujar dia, kegagalan atau ketidaksempurnaan proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat merupakan awal gagalnya proses penuntutan.
Tak hanya itu, tidak adanya keterpaduan antara penyidik dan penuntut umum juga menyebabkan penuntut umum kurang menguasai perkara secara substantif sebab selama penyidikan, penyidik seolah bekerja sendiri sedang jaksa seperti tinggal menunggu, tanpa dapat terlibat lebih jauh dalam proses penyidikan.
Dalam hal ini, kata dia, ide penyidikan dan penuntutan yang berada dalam satu atap atau di bawah kendali penuntut umum menarik untuk dibicarakan. Sebab, keberhasilan tahapan penuntutan tidak lepas dari keberhasilan penyidikan.
"Termasuk penguatan eksistensi jaksa melakukan penyidikan atas tindak pidana yang kompleks, seperti korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dan tindak pidana ekonomi sehingga efisiensi penyidikan kasus tindak pidana, sekalipun rumit, dapat ditingkatkan," katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman memastikan pembahasan RUU KUHAP akan dilakukan pada masa sidang mendatang.
Dia meyakinkan fungsi aparat penegak hukum (APH) tak akan berubah. Dia berharap KUHAP baru yang akan dibahas oleh Komisi III DPR RI dapat memberikan keadilan bagi setiap pihak. (*/boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi