Revisi RTRW Bogor Ditolak Hatta Radjasa

Selasa, 07 Agustus 2012 – 11:13 WIB
BOGOR– Rencana revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008, ditentang keras pemerintah pusat. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa sampai belingsatan saat mengkaji rencana revisi perda yang berpotensi menghapus keberadaan hutan lindung di wilayah Puncak Bogor itu.

Menurut Hatta, perubahan perda yang akan mengalihfungsikan hutan lindung menjadi hutan produksi itu hanya akan membuat bencana bagi warga Bogor, hingga Ibukota Negara, Jakarta. Terlebih, hutan Bogor miliki biota nan langka.

“Saya sangat tidak setuju. Apalagi sampai mengubah fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi. Menurut saya, alih fungsi itu akan banyak menimbulkan dampak negatifnya, akan sering terjadi longsor dan banjir,” tutur Hatta usai buka bersama di Masjid Biru At-Tohirin, Bakom, Ciawi, Senin (6/8).

Hatta mengingatkan, sesuai namanya, hutan lindung merupakan kawasan yang harus dilindungi. Di kawasan itu terdapat berbagai cadangan sumber daya alam yang sudah punah di daerah lain. Menurut dia, jika revisi tersebut tetap dilaksanakan, maka akan menjadi ancaman besar bagi masyarakat di sekitar dan bahkan dunia. Mengingat, hutan lindung berfungsi sebagai paru-paru dunia.

“Jangan sampai hutan lindung diubah. Kalau Pemkab Bogor mengubah peruntukan hutan lindung menjadi hutan produksi, maka akan banyak tanaman langka yang hilang. Jadi saya minta perubahan itu tidak perlu dilakukan!” geramnya.

Seperti diketahui, Pemkab Bogor berencana merevisi Perda Nomor 19 Tahun 2008, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025. Perda ini menetapkan hutan lindung di kawasan Puncak seluas 133.548,41 hektare. Luasan itu termasuk hutan konservasi 14,24 persen atau seluas 45.559 hektare dan hutan lindung 2,93 persen setara 8.745 hektare.

Sedianya, revisi perda itu akan mengonversi hutan lindung seluas 8.745 hektare menjadi hutan produksi, pemukiman dan perkebunan. Jika revisi tersebut jadi dilaksanakan, maka hutan lindung di kawasan Puncak pun hilang. Hutan lindung yang akan diubah menjadi hutan produksi mencakup wilayah Cisarua, Megamendung, dan sebagian kawasan Ciawi.

Menanggapi hal ini, Asisten Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, Heru Waluyo juga meminta Pemkab Bogor mengkaji ulang rencana revisi tersebut. Ia menilai, kalaupun jadi melakukan revisi, maka kontrol pemerintah dalam penerapan peraturan itu harus lebih kuat. “Kontrol pemerintah harus diperkuat,” tuturnya.

Heru mengatakan, perlu adanya peningkatan pengawasan perizinan di wilayah Puncak agar kawasan lindung tidak beralih fungsi menjadi pemukiman. Pengawasan yang kurang teliti, akan menyebabkan terjadinya penyimpangan. Seperti yang saat ini marak, bertebaran vila-vila di kawasan hutan lindung. Menurut Heru, banyak kawasan liar di Puncak menjadi beban, dan lambat laun akan dirasakan oleh Jakarta yang merupakan wilayah hilir. Hal itu dirasa perlu menjadi perhatian serius, mengingat kondisi lingkungan di Puncak semakin mengkhawatirkan.

Senada dengan Heru, Kepala Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan wilayah (P4W) LPPM IPB, Setia Hadi berpendapat bahwa revisi tersebut berpotensi menimbulkan banjir besar di wilayah Bogor dan sekitarnya. Setia menentang keras revisi perda untuk kawasan Puncak, terlebih status hutan lindung di wilayah tersebut tidak mengganggu rencana tata ruang yang dicanangkan Pemerintah Kabupaten Bogor.

“Polemik ini kan ternyata tidak menyentuh persoalan mendasar tata ruang kawasan Puncak, karena belum ada dokumen rencana tata ruang wilayah yang dapat menjadi pegangan para pihak terkait pemanfaatan ruang kawasan Puncak,” jelasnya.

Setia mencatat, telah terjadi peningkatan frekuensi banjir di kawasan hilir sejak banyaknya bangunan liar di Puncak. Sehingga masalah itu harus segera ditertibkan. Banyak kawasan hutan lindung yang beralih fungsi menjadi hutan produksi, pemukiman dan kebun. Ia memandang hal itu terjadi akibat tatanan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Alih fungsi lahan merupakan persoalan utama kerusakan ekosistem Puncak.

Sebagai solusi, Setia meminta pemkab agar tak mengubah perda yang sudah ada, serta membiarkan hutan lindung tetap menjadi kawasan konservasi. Ia menilai, Perda RTRW Bogor yang ada saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan dan peruntukan. Kalaupun diperlukan revisi, ia meminta agar revisi justru bersifat menghijaukan, dan dilakukan menyeluruh di kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur).

“Pemkab Bogor harus serius memperhatikan Puncak, karena kawasan ini sangat peka dan menyentuh langsung masyarakat dan memiliki pengaruh kepada ibukota secara langsung,” ucapnya.

Dalam kurun waktu 1990-2010 saja, terdapat 354 hektare hutan lebat dan 755 hektare hutan semak di Subdaerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu yang sudah beralih fungsi. Sementara luas permukiman yang pada 1990 tercatat 883 hektare sudah bertambah 1.287 hektare dalam 20 tahun. Hal ini dikuatkan pernyataan Hapsoro dari Forest Watch Indonesia kepada media, yang menyebutkan bahwa tutupan hutan di seluruh daerah aliran Sungai Ciliwung saat ini hanya tinggal 12 persen dari 29.067 hektare.

Sementara itu, draf revisi kawasan hutan lindung Puncak akan diselesaikan, Oktober hingga November 2012. Draf itu akan segera diajukan ke DPRD Kabupaten Bogor dalam waktu dekat. Dalam Perda RTRW Kabupaten Bogor yang berlaku saat ini disebutkan, 8.700 hektare lahan yang sebagian besar di kawasan Puncak adalah hutan lindung. Namun, setelah perda direvisi, lahan itu nantinya akan dikembalikan sebagai hutan produksi, permukiman, dan kebun.

Menanggapi protes dan penolakan berbagai pihak, Bupati Bogor Rachmat Yasin bersikukuh bahwa tak ada yang salah dengan revisi perda RTRW tersebut. Dia menekankan, persoalan ini bermula dari amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang Nasional, yang meminta pemda memiliki perda tata ruang sendiri-sendiri. Sementara, perda tata ruang milik Kabupaten Bogor terbit lebih dahulu ketimbang Perda Provinsi Jawa Barat.

“Ini hanya penyelarasan. Tak ada redesign,” jelas Rachmat Yasin(RY) kepada Radar Bogor. Selain itu, RY menegaskan, ada perbedaan antara kawasan lindung dan hutan lindung. Dalam perda RTRW nantinya, RY berdalih hanya akan menata kawasan lindung. Sementara, kondisi Puncak atau Cisarua itu sendiri saat ini telah masuk dalam kategori kawasan perkotaan. Sebab itu, tak ada alasan  lagi menolak revisi perda RTRW tersebut.

“Kalau kita membangun dengan membabibuta, kita yang salah. Kawasan lindung itu bukan tanpa masyarakat. Di Megamendung, ada satu desa yang masuk dalam kawasan lindung. Kita tinggal menjaga fungsi resapannya,” paparnya.
Sementara, Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Bogor, Ade Munawaroh Yanwar berjanji akan mendalami rencana revisi dalam draft tersebut. Namun, karena drat belum
selesai dan belum sampai ke tangan Komisi A, ia tak bisa berkomentar banyak. Sepengetahuannya, draf tersebut masih digodok di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).

Akan tetapi, Ade berdalih revisi Perda tersebut tidak hanya mengatur wilayah Puncak. Namun, mengatur RTRW Kabupaten Bogor secara keseluruhan. Terutama wilayah tengah dan timur bumi Tegar Beriman. Rencana ini sejalan dengan program pembangunan dan pengembangan Cibinong Raya. “Kalau tata ruang tidak direvisi, sulit bagi Kabupaten Bogor untuk berkembang,” tukasnya.(ric/cha)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Puncak Arus Mudik H-3

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler