jpnn.com, JAKARTA - Tingginya peredaran dan penyalahgunaan narkotika menjadi alasan mendesak untuk merevisi Undang-Undang No. 35 tentang Narkotika. Salah satu poin yang diusulkan dalam UU tersebut adalah memperbesar porsi pencegahan daripada upaya pemberantasan.
Hal ini disampaikan anggota Komite III DPD RI, Abdul Azis Kafia dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah lembaga penggiat narkoba hari Selasa (14/5).
BACA JUGA: Fahira: Ungkap Penyebab Petugas Pemilu Meninggal Dunia
Abdul Azis menjelaskan kondisi real saat ini dengan percepatan informasi dibutuhkan undang-undang yang lebih tepat dengan kondisi kekinian. Menurutnya, revisi difokuskan untuk memberikan pencegahan daripada melakukan pemberantasan.
BACA JUGA: Bea Cukai dan P4GN Bersinergi Berantas Narkotika di Wilayah Sumatera Utara
BACA JUGA: Bamsoet: Indonesia Sukses Melaksanakan Pemilu Damai
“Saya sangat setuju kita harus punya ketegasan jangan meniru negara lain terkait penegakan hukum. Kalau memang kita masih membutuhkan hukuman mati tetap saja dicantumkan hukuman mati dan itu diberlakukan buat pengedar, dan kalau buat pecandu memang harus di rehabilitasi karena bagaimanapun statusnya sebagai korban. Tapi yang paling bahaya ini tetap pengedar,” ujar anggota asal DKI Jakarta ini.
Senada dengan itu, anggota Komite III lainnya Abdul Jabbar Toba menilai kenakalan remaja seharusnya tidak sepenuhnya disalahkan kepada remaja, karena peranan orang tua ikut menentukan sikap anak. Selain orang tua, peranan pemuka agama juga berperan penting dalam membekali remaja akan ilmu agama.
BACA JUGA: DPD RI: Tidak Ada Alasan SITUNG Dihentikan
“Kedepan mulai SD sampai Perguruan Tinggi, remaja-remaja masjid, para kos-kosan perlu di dekati juga. Perlu kita dekati lagi tentang peranan agama didalam pemberantasan narkoba ini, jadi perlu para ulama dan ustadzah kita di bekali bahan bagaimana dampak narkoba,” tambah anggota asal Provinsi Sulawesi Selatan tersebut.
Anggota Komite III, Herry Erfian menambahkan jika regulasi tidak memberi efek jera terkait hal rehabilitasi, maka tidak akan berdampak bagi pengurangan kejahatan narkoba di Indonesia. Untuk itu, Herry berharap adanya sanksi yang berat baik bagi pemakai atau pecandu, sehingga sama-sama memiliki efek jera untuk tidak lagi memakai narkoba atau pun bahan-bahan aktif lainnya.
Menanggapi hal itu, Deputi Penindakan BNN, Arman Depari menjelaskan pihaknya menyambut baik usulan amandemen regulasi tentang narkotika. Teknologi farmasi berkembang dengan sangat pesat, sehingga pengaturan tentang kejahatan narkotika dan zat adiktif lainnya sangat dibutuhkan.
Lebih lanjut Arman mengakui, regulasi yang ada saat ini tidak mengakomodir tentang pencegahan penggunaan narkotika, melainkan mengatur tentang pemberantasan, penegakan hukum dan pemutusan suplai.
“Padahal kita juga perlu sosialisasi ini yang outputnya mencegah, nah itu yang tidak ada. Ini sangat teknis sekali ini perlu dibahas kembali supaya masalah pencegahan ini seharusnya equal seimbang dengan pemberantasannya. Padahal kalau kita ingat petuah-petuah orang tua dulu sebenarnya lebih bagus itu mencegah dari pada mengobati. Upaya pemberantasan itu hal terakhir kalau pencegahannya tidak berhasil,” jelasnya.
Selain itu, sosialisasi dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama sudah seharusnya diatur dalam regulasi, sehingga penting untuk memasukkan peranan masyarakat dalam revisi undanga-undang tersebut.
“Dan yang paling penting dalam hal ini kenapa peran serta masyarakat ini perlu, umum nya negara kita penduduk kita itu cenderung menutup-nutupi dianggap ini aib malu bagi keluarga, ini penting sekali,” ujarnya.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Oso: Pemilu Harus Bergembira, Bukan Berkelahi
Redaktur : Tim Redaksi