JPNN.com

Revisi UU TNI Dinilai Hidupkan Dwifungsi, Koalisi Masyarakat Sipil Desak DPR Lakukan Ini

Jumat, 07 Maret 2025 – 17:46 WIB
Revisi UU TNI Dinilai Hidupkan Dwifungsi, Koalisi Masyarakat Sipil Desak DPR Lakukan Ini - JPNN.com
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan revisi UU Nomor 34 Tahun 2024 yang menghidupkan Dwifungsi TNI. Ilustrasi - Prajurit TNI. Foto : Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2024 tentang TNI (UU TNI).

Desakan itu disampaikan terkait rencana DPR membahas revisi UU TNI dalam waktu dekat.

BACA JUGA: Sepertinya Kenaikan Pangkat Mayor Teddy Tak Lazim, Berlaku bagi Semua Prajurit TNI?

Langkah ini dilakukan setelah sebelumnya Prabowo Subianto mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR untuk membahas Rancangan Revisi UU TNI.

Dalam draf yang diperoleh Koalisi Masyarakat Sipil terdapat beberapa masalah krusial terutama kembali dihidupkannya Dwifungsi TNI.

BACA JUGA: KontraS Minta DPR Menghentikan Pembahasan Revisi UU TNI

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang berdasarkan draf revisi UU TNI yang diperoleh itu terdapat usulan-usulan perubahan yang problematik.

"Pertama, usulan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif menjadi isu yang sangat kontroversial karena hal ini dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil," ungkap Koordinator BEM SI Anas Robbani dalam keterangannya, Jumat (7/2).

BACA JUGA: Kirim Surat ke Komisi I dan III, KontraS Tolak Pembahasan Revisi UU TNI & Polri

Menurut Anas, hal ini dapat dilihat dalam usulan perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI yang mengusulkan penambahan frasa 'serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlianpPrajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden'.

Dia menilai penambahan frasa tersebut sangat berbahaya, karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian dan lembaga sebagaimana diatur dalam UU TNI.

"Dengan adanya frasa ini, peluang interpretasi yang lebih longgar terbuka, sehingga memungkinkan penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian atau lembaga lain di luar yang telah diatur sebelumnya," ujarnya.

Anas menilai hal ini berisiko mengikis prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan dapat mengarah pada dominasi militer dalam ranah birokrasi sipil.

"Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan dan ketahanan negara bukan hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri," tegasnya.

Dia mengingatkan profesionalisme TNI dapat terwujud menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan dalam jabatan sipil yang sangat jauh dari kompetensinya.

"Menempatkan TNI pada jabatan sipil jauh dari tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan sama saja dengan menghidupkan kembali Dwifungsi TNI yang sudah lama dihapus," ungkap Anas.

Dia juga mengungkapkan penempatan TNI di luar fungsinya juga akan berdampak pada rancunya kewenangan atau yurisdiksi prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM, apakah diadili di peradilan umum atau di peradilan militer.

Hal ini Mengingat sampai sekarang pemerintah dan DPR enggan melakukan revisi terhadap UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik militer maupun umum, diadili di peradilan militer.

Ketentuan ini menimbulkan persoalan ketika prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, karena jika mereka terlibat dalam tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pejabat sipil, mereka tetap diadili di peradilan militer, bukan di peradilan umum sebagaimana berlaku bagi pejabat sipil lainnya.

"Hal ini tentu menghambat proses penegakan hukum karena peradilan militer memiliki karakteristik yang berbeda dengan peradilan umum, terutama dalam aspek independensi, transparansi, serta akuntabilitas bagi masyarakat dan media untuk mengawasi jalannya persidangan," kata Anas.

Karena itu, lanjut dia, perubahan Pasal 47 ini nantinya akan semakin merusak pola organisasi dan jenjang karier ASN, karena akan semakin memberikan ruang lebih luas bagi TNI untuk masuk ke semua jabatan sipil yang tersedia.

Sebelumnya, Imparsial mencatat terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada 2023.

Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI.

Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait.

Hal ini mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karier ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang.

"Kedua, usulan penghapusan larangan berbisnis bagi anggota TNI," imbuh Anas.

Menurut Anas, ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI.

Sebab, prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya, yaitu pertahanan, bukan berbisnis.

"Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara," tegasnya.

Pada titik ini, kata Anas, sudah seharusnya pemerintah tidak lempar tanggung jawab dalam menyejahterakan prajurit dengan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI.

"Penting untuk diingat tugas menyejahterakan prajurit merupakan kewajiban negara dan bukan tanggung jawab prajurit secara individu. Seharusnya alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI fokus di dalam menyejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis," terangnya.

Ketiga, lanjut Anas, kekhawatiran lain yang muncul adalah adanya usulan perubahan Pasal 65 Ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.

Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum," tandasnya.

Anas mengatakan pelaksanaan agenda tersebut menjadi penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tetapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Koalisi juga memandang upaya perluasan peran aktor keamanan melalui revisi UU Polri juga harus dihentikan.

"Alih-alih meluaskan peran TNI-Polri sudah seharusnya pemerintah dan DPR fokus memperkuat lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, Komnas Perempuan dan lain sebagainya dan bukan justru melemahkan lembaga pengawas tersebut dengan memotong anggarannya secara signifikan," tegas Anas.

Karena itu, Anas mengatakan Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI.

Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR seharusnya bersikap responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat.

Menurutnya, lebih baik DPR dan pemerintah memfokuskan pada mendorong agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI.

"Kami juga berharap agar DPR tidak tunduk pada tekanan eksekutif, menolak segala intervensi dan lebih mengedepankan prinsip hak asasi manusia," pungkasnya. (mar1/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler