jpnn.com, JAKARTA - Pernyataan Juru Bicara Ahok-Djarot Raja Juli Antoni, terkait open governance atau tata kelola pemerintahan terbuka yang telah dilakukan petahana dianggap tidak tepat. Sebab selama ini apa yang dilakukan petahana saat memimpin DKI Jakarta justru tidak transparan.
Naufal Firman Yursak, Wakil Ketua Tim Media Anies-Sandi membantah ucapan Raja tersebut. Menurutnya, ucapan Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu tidak tepat.
BACA JUGA: Ahok Ingin Anak-Anak Indonesia Juara Dunia Skateboard
“Dia sebut petahana sudah lima tahun menjalankan open governance, itu keliru. Yang terjadi justru sebaliknya,” ujarnya, Minggu (26/3).
Naufal menilai, ucapan Raja yang menyebut bahwa pasangan Ahok-Djarot selama menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta sudah sangat terbuka tidak bisa dibuktikan.
BACA JUGA: PKB Dukung Anies atau Ahok Nih...
Pernyataan Raja yang juga mengatakan bahwa semua hal yang ada di Pemprov DKI bisa diakses secara terbuka oleh masyarakat hanya isapan jempol semata.
“Raja harus banyak Iqro biar bisa melihat kenyataan dengan jernih,” tegasnya.
BACA JUGA: Agung Laksono Ultah, Ahok Dapat Syal Kuning dan Tumpeng
Naufal yang juga juru bicara Anies-Sandi itu menyebut, ada sejumlah hal yang bisa dijadikan bukti. Misalnya, saat ini tiap kelurahan belum tahu berapa dana pembangunan yang menjadi hak mereka setiap tahunnya.
Serta pemerataan pembangunan melalui distribusi APBD di wilayah-wilayah di Jakarta yang juga tidak terbuka.
“Warga bahkan tidak tahu ada pekerjaan apa saja di kampungnya. Dan Warga menceritakan itu ke Mas Anies dan Bang Sandi saat blusukan,” ucap dia.
Selain itu, lanjut pria yang juga praktisi media itu menyebut, banyak bukti lain bahwa petahana sangat tidak terbuka. Seperti misalnya petahana tidak pernah berani membuka data banjir di Jakarta selama dia memimpin.
“Saya juga heran kenapa di kanal YouTube Pemprov DKI, selama tahun 2015 tidak ada lagi videonya. Ada apa ya?” ucap Naufal.
Pria yang juga berprofesi sebagai dosen itu juga mempertanyakan keputusan Ahok untuk diskresi atau mengambil kebijakan sendiri terkait kompensasi koefisien lahan bangunan (KLB) bagi para pengembang secara diam-diam. Bahkan tanpa melibatkan DPRD.
Padahal, ketentuan KLB sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ).
Perda itu dipatahkan oleh Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 175 Tahun 2015, dan revisinya Pergub Nomor 251 Tahun 2015, serta Pergub Nomor 119 Tahun 2016. Bahkan, Pergub Nomor 210 Tahun 2016 mengizinkan kenaikan KLB tanpa ada batasan yang cukup jelas.
Pergub terakhir ini ditandatangani dua hari sebelum Ahok memasuki masa cuti Pilgub DKI pada Oktober 2016. Terlebih, tambah dia, bentuk kompensasi yang diizinkan tidak dihitung masuk ke dalam kas daerah.
Hasil dari kompensasi itu bernilai Rp 3,8 triliun dari total 11 proyek sejak satu tahun Pergub Nomor 175 Tahun 2016 itu diberlakukan dan tidak masuk dalam APBD DKI Jakarta.
Ketiadaan partisipasi DPRD dalam proses penentuan kompensasi tersebut berarti menghilangkan partisipasi warga maupun Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
Sehingga warga tidak dapat menentukan dan merencanakan penggunaan kompensasi tersebut. Kompensasi tersebut juga hanya bisa diubah menjadi proyek-proyek yang keputusan jenis dan kegiatannya tergantung pada mekanisme tertutup antara Pemprov DKI Jakarta dan pemberi kompensasi atau pengembang.
“Namun yang sangat nyata di sini adalah bagaimana kekuasaan digunakan tanpa ingin diawasi. Dia bisa bikin Pergub apa saja dan kapan saja untuk menutup jejaknya,” ucapnya.
Yang paling nyata adalah saat petahana mengaku tidak tahu kalau Pulau C dan D sudah dibangun tanpa izin mendirikan banguna (IMB). Sehingga pernyataan Raja Juli bahwa petahana sudah open sangat bisa dibantahkan.
“Mungkin dia (Raja Juli) yang seharusnya membuka mata dan wawasan. Sehingga tidak asbun (asal bunyi),” ucapnya. Naufal menambahkan, bahwa di era Anies Sandi nanti, open governance akan diwujudkan.
Sebelumnya saat berdiskusi dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Calon Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ingin untuk membuat tata kelola pemerintahan di DKI Jakarta mengadopsi pola open government (pemerintahan terbuka).
Anies menjelaskan bahwa open government memberikan kesempatan kepada seluruh warga DKI untuk terlibat dalam pemerintahan.
"Pemerintah membuka seluruh akses informasi, dasar mengambil keputusan, termasuk keputusannya kepada seluruh warga," ujar Anies. (ipk/rmol)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ibu-Ibu Pengajian Jadi Target Program OK OCE
Redaktur & Reporter : Adil