DAMASKUS - Rencana referendum terhadap konstitusi yang dijanjikan Presiden Bashar al-Assad gagal meredam perlawanan oposisi dan unjuk rasa antipemerintahannya di Syria. Desakan agar oposisi dan pemerintah menghentikan pertikaian serta mencari penyelesaian lewat berdialog juga tidak mempan. Kekerasan di Syria terus menelan korban jiwa.
Seorang jaksa wilayah dan hakim dibunuh di Idlib, kota di barat laut Syria atau sekitar 330 km utara Damaskus, kemarin (19/2). Jaksa Nidal Ghazal dari Provinsi Idlib serta Hakim Mohammed Ziyadeh dan sopir mereka ditembak mati ditembak mati di dalam mobil saat dalam perjalanan menuju kantor.
Kantor berita pemerintah, Syrian Arab News Agency (SANA), menyebut pelaku penembakan adalah "kelompok teroris bersenjata". Jaringan oposisi Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), membenarkan jatuhnya korban jiwa para pejabat pemerintahan Assad itu. Tetapi, mereka hanya menyatakan bahwa ketiganya tewas akibat dibunuh "para penyerang yang tak dikenal".
Insiden itu terjadi hanya selang sehari setelah anggota dewan Kota Aleppo, Jamal al-Bish, juga tewas dibunuh. "Pelakunya adalah kelompok teroris bersenjata," tutur SANA.
Sepekan sebelumnya, kantor berita pro-Assad itu melaporkan bahwa seorang jenderal militer ditembak mati di Damaskus. Kejadian tersebut merupakan pembunuhan pertama terhadap tokoh penting dan pejabat tinggi negara di Syria.
Hal ini menjadi sinyal bahwa perlawanan terhadap rezim Assad mulai meluas dengan menarget para petinggi. Namun, korban jiwa warga sipil tentu jauh lebih banyak. Apalagi, rakyat sipil dicekam ketakutan terus-menerus oleh kekerasan rezim Assad.
Aktivis oposisi menyatakan bahwa dua orang kemarin tewas di tangan tentara loyalis Assad. Seorang warga ditembak mati di sebuah pos penjagaan di Aleppo, kota terbesar kedua di Syria (setelah Damaskus) yang hanya berjarak sekitar 59 kilometer timur laut Idlib. Seorang perempuan juga tewas akibat tembakan membabi buta tentara pemerintah di Homs, kota di barat yang terletak sekitar 162 kilometer utara Damaskus.
PBB memerkirakan, saat ini sekitar 6 ribu tewas akibat kekerasan di Syria sejak pecah perlawanan anti-Assad pada Maret tahun lalu. Kelompok oposisi Komite Koordinasi Lokal (LCC) malah menyebut, hingga kini korban tewas di Syria telah mencapai lebih dari 8.500 jiwa.
Di tengah kekerasan yang tidak kunjung reda itu, muncul fakta lain yang dibeber para aktivis oposisi. Rezim Assad dilaporkan telah menangkap banyak dokter. Menurut LCC, sedikitnya 295 dokter diciduk selama 11 bulan terakhir.
"Penangkapan itu sengaja dilakukan (rezim Assad) untuk memberikan efek takut kepada para dokter agar tidak lagi membantu para demonstran atau warga antipemerintah," terang juru bicara organisasi itu dalam pernyataannya.
Dalam tiga hari terakhir, pasukan keamanan menangkap tiga dokter di Damaskus. Dua di antaranya dibawa paksa dari klinik mereka. Dalam beberapa pekan terakhir, aktivis oposisi mengeluhkan kurangnya tenaga dokter dan obat-obatan akibat konflik yang terjadi di Syria.
Penduduk, khususnya di Kota Homs, menggambarkan mimpi buruk akibat pemboman atas rumah-rumah mereka. Para penembak jitu (sniper) yang dikerahkan rezim Assad terus bersiaga di atas bangunan. Warga yang terluka harus menderita hingga akhirnya tewas karena kurangnya obat-obatan.
Bahkan, para peziarah yang ingin menguburkan korban tewas tak terhindar dari target serangan tentara pemerintah. Sedikitnya, dua remaja tewas saat acara pemakaman masal dan demonstrasi di Damaskus pada Sabtu lalu (18/2). Saat itu pasukan keamanan Syria menyerang ribuan pengantar jenazah dan demonstran dengan senjata api serta gas air mata. Dua korban itu termasuk di antara 17 orang yang tewas sepanjang Sabtu lalu di seantero wilayah Syria.
Kendati represi rezim Assad terhadap oposisi tak pernah kendur, demonstran di Syria tidak keder atau ciut nyali. Di Damaskus, kemarin ribuan orang turun ke jalan setelah aktivis oposisi menyerukan agar masyarakat ambil bagian dalam demonstrasi masal yang mereka sebut sebagai "hari perlawanan".
Ajakan demonstrasi masal itu muncul setelah terjadi penembakan oleh tentara pemerintah terhadap pengantar jenazah dalam sebuah upacara pemakaman di pinggiran Damaskus. Pasukan keamanan pun mengerahkan kekuatan penuh ke wilayah pinggiran Damaskus untuk menghalangi masuknya massa ke ibu kota.
Dalam pesannya kepada warga Damaskus lewat akun Facebook Syrian Revolution 2011, para aktivis mengajak pembangkangan masal di ibu kota. "Kami mengharapkan demonstrasi secara besar-besaran di Damaskus," ujar Deeb al-Dimashqi, anggota kelompok oposisi Dewan Revolusi Syria (SRC).
Dalam perkembangan lain, tekanan dunia terhadap rezim Assad terus bermunculan. Menyusul beberapa negara Arab lainnya, kemarin Mesir memutuskan untuk menarik duta besarnya (dubes) di Damaskus. Menlu Mohammed Amr telah memanggil pulang dubes Mesir untuk Syria.
"Sudah diputuskan bahwa dubes (untuk Syria) akan tetap berada di Kaito sampai ada pemberitahuan lebih lanjut," kata Jubir Deplu Mesir Amr Rushdi.
Enam negara Arab anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) telah lebih mengambil sikap tersebut. Yakni, Arab Saudi, Bahrain, Oman, Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA). Bahkan, mereka juga mengusir dubes Syria yang ditugaskan di negeri mereka. Tunisia lebih dulu melakukan kebijakan itu. Beberapa negara Eropa juga telah menarik pulang dubes mereka.
Menurut Rushdi, Kairo ingin melihat "perubahan yang nyata dan damai di Syria". Itu dimulai dengan sikap Mesir yang menyerukan diakhirinya kekerasan di Syria dengan segera.
"Sampai pemerintah merespons aspirasi rakyat Syria," tuturnya. Keputusan Mesir, kata dia, diambil untuk mencegah ledakan situasi yang berdampak pada stabilitas di kawasan. (CNN/AFP/cak/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 359 Napi Tewas, Korban Diperkirakan Bertambah
Redaktur : Tim Redaksi