jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof.Dr. Bambang Hero Saharjo, M.Agr menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo semestinya tidak disalahkan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menurutnya, bencana asap dalam skala besar pada 2015 merupakan puncak dari akibat ketidakseriusan pemerintahan sebelumnya dalam mengatasi persoalan karhutla.
Bambang mengatakan, kasus karhutla paling buruk terjadi pada 1997-1998. Menurutnya, saat itu luas hutan dan lahan yang terbakar sekitar 10 juta hingga 11 juta hektare. “Dengan dampak yang sangat buruk," ujarnya, Sabtu (25/8).
BACA JUGA: Elektabilitas Prabowo Naik Signifikan Ketimbang Jokowi
Menurutnya, penanganan karhutla kala itu yang tanpa terobosan membuat bencana kabut asap terus berulang dan berefek ke negara-negara tetangga. Bambang menambahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006 pernah menggaungkan kampanye perang terhadap bencana asap dengan menyentuh persoalan di tingkat bawah.
Hanya saja, pada 2013 ada kebakaran besar. Bahkan, SBY kala itu sampai meminta maaf kepada Singapura dan Malaysia yang ikut kena imbas kabut asap.
BACA JUGA: Komentar Bang Ruhut soal Neno Warisman Diadang di Daerah
Tetapi, karhutla ternyata karhutla terjadi lagi pada 2014. Singapura pun sampai marah hingga mengeluarkan Transboundary Haze Pollution Act karena bencana kabut asap yang berupang selama 20 tahun.
"Pemerintah Singapura melegalkan penangkapan terhadap para bos korporasi, meskipun itu bukan warga negara mereka yang diduga berada di balik bencana asap yang menyelimuti negara mereka dan membuat penderitaan warganya," katanya.
BACA JUGA: Pendukung Kangmas Jokowi Tak Usah Panik Hadapi Neno Warisman
Oleh karena itu Bambang memuji langkah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo baru berjalan beberapa bulan. Sekitar bulan Februari 2015, institusi di Jelang yang menangani iklim dan cuaca merilis penguatan fenomena El Nino pada tahun 2015.
Saat itu, kata Bambang menjelaskan, Menteri Siti langsung turun ke daerah-daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dalam hal karhutla untuk menyiapkan berbagai kemungkinan terburuk. ''Sayangnya, harus diakui bahwa saat itu tidak semua intansi terkait mempercayai prediksi El Nino meski menteri (Siti, red) sendiri sebenarnya sudah turun langsung,'' ungkap Bambang.
Sayagnya, pada bulan Juni 2015 pergerakan karhutla seperti tidak tertahan. Karhutla hebat pun terjadi.
"Karena belum sampai satu tahun menjabat, tentu penanganan pengendalian karhutla yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi saat itu berdasarkan cara-cara dan kebijakan yang ada sebelumnya,'' kata Bambang.
Namun, cara-cara dan kebijakan yang seperti pemerintahan sebelumnya sudah tak efektif lagi mengatasi meluasnya titik api di tahun 2015. Sekitar 2,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar.
Itu pula yang membuat WALHI Kalimantan Tengah menggugat Presiden Jokowi dan para pembantunya. “Jadi landasan kejadiannya adalah karhutla tahun 2015, meski sebenarnya bencana seperti itu sudah lama terjadi," kata Bambang.
Peristiwa itu memicu pemerintahan Presiden Jokowi melalui Kementerian LHK melakukan penegakan hukum dengan menyasar korporasi atau perusahaan yang lalai menjaga lahan mereka sehingga terbakar pada 2015. Menurut Bambang, menyasar perusahaan besar dalam kasus karhutla merupakan hal yang tidak seberani dilakukan pemerintah sebelumnya.
Siti menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pengambilan Areal Bekas Kebakaran di Dalam Konsesi. Permen itu didahulu surat edaran (SE) Menteri LHK Nomor 495/2015 yang meminta korporasi menghentikan semua kegiatan pemanfaatan gambut dan kanal yang mengakibatkan gambut mengering.
Bambang menyebut langkah Kementerian LHK itu menunjukkan keberanian pemerintahan Presiden Jokowi. Sebab, sebagian besar karhutla terjadi di lahan gambut yang berada di dalam wilayah konsensi.
Sebelumnya, korporasi selalu bisa mengelak ketika terjadi karhutla. ''Fakta ini menunjukkan bahwa dalam waktu yang singkat Presiden Jokowi telah berani mengeluarkan kebijakan yang belum pernah dikeluarkan oleh pendahulu-pendahulunya,'' kata Bambang.
Menurutnya, kebijakan pemerintah sebelumnya mengobral izin alih fungsi lahan gambut juga mengakibatkan karhutla terus terjadi. Selama tujuh periode kabinet pemerintah, kata Bambang, izin alih fungsi yang dikeluarkan mencapai 42.253.234 hektare.
Data rekapitulasi pelepasan kawasan hutan menunjukkan izin terbesar terjadi sepanjang periode 2005-2014 atau sebelum Presiden Jokowi menjabat. Pemberian izin yang terkesan jorjoran itu diperparah dengan lemahnya penegakan hukum hingga ketidaksiapan pemerintah saat titik api sudah meluas.
Bambang mengungkapkan, di Kalteng ada perusahaan perkebunan sawit dengan luas lahan puluhan ribu hektare justru berdiri di atas kawasan hutan. “Bahkan mereka sudah sejak awal melakukan penyiapan lahan dengan pembakaran. Inilah bukti bahwa terjadi pembiaran dan lemahnya penegakan hukum di pemerintahan sebelumnya," ungkap Bambang.
Barulah pada pemerintahan Presiden Jokowi ada moratorium pemberian izin lahan gambut. Proses hukum karhutla benar-benar ditegakkan hingga menjerat korporasi besar yang lalai.
''Belajar dari karhutla 2015, Presiden Jokowi langsung mengambil langkah cepat dan tegas. Itu harus kita akui, bahwa terjadi perubahan besar-besaran dalam menangani Karhutla di Indonesia," kata Bambang.
Menurutnya, gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya terhadap Presiden Jokowi dan enam pihak lainnya sebenarnya buah dari kegagalan pemerintah sebelumnya. Sementara di masa Jokowi, katanya, justru sudah banyak terjadi perubahan.
"Kalau mau jujur dari 12 tuntutan yang diajukan itu, tepatnya sebelum gugatan dikabulkan PN pada Maret 2017, sebagian besar sebenarnya sudah dipenuhi. Sudah banyak langkah berani pertama dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah," tegas Bambang.
Sebelumnya Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya menyatakan Presiden Jokowi bersama enam pihak lainnya termasuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Menteri Pertanian RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional RI, Menteri Kesehatan RI, Gubernur Kalimantan Tengah dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus karhutla.
Vonis itu merupakan buah dari gugatan sekelompok masyarakat. Berdasar vonis itu, hukumannya adalah perintah kepada Presiden Jokowi untuk menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.(jpg/ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Charles Yakin Banget Jokowi Tak Akan Selewengkan TNI & Polri
Redaktur : Tim Redaksi