Polisi Turki menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan unjuk rasa ribuan perempuan di Istanbul. Mereka berunjuk rasa menentang kekerasan yang dilakukan oleh pria.

Ribuan perempuan berkumpul di Istanbul guna memperingati Hari Internasional Penghentian Kekerasan Terhadap Perempuan.

BACA JUGA: Varian Baru COVID-19 Lebih Mematikan Muncul di Afrika Selatan, Inggris Larang Penerbangan Dari Enam Negara

Mereka membawa spanduk bertuliskan "Kami tidak diam, tidak takut" dan "Kami akan berjuang sampai mendapat apa yang kami inginkan". Beberapa bahkan mendesak Pemerintah Turki untuk mengundurkan diri.

Para pengunjuk rasa juga meminta agar Turki menghormati perjanjian internasional yang ditandatangani di Istanbul yang dimaksudkan untuk melindungi perempuan.

BACA JUGA: Belanja Black Friday dan Cyber Monday di Australia Diperkirakan Akan Lebih Besar Dibandingkan Diskon Natal

Konvensi Istanbul yang bersejarah itu ditandatangani di tahun 2014 dan menjadi landasan hukum di seluruh Eropa untuk menangani, mencegah dan mengadili tindak kekerasan terhadap perempuan.

Beberapa pejabat dari partai yang berkuasa sudah menyerukan agar perjanjian tersebut dikaji kembali, karena dianggap tidak cocok dengan nilai-nilai Turki yang lebih konservatif dibandingkan negara-negara Eropa lainnya.

BACA JUGA: Perempuan di Bawah 25 Tahun Paling Banyak Kehilangan Pekerjaan Semasa Pandemi

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan memutuskan menarik Turki keluar dari konvensi di bulan Maret dengan dekrit presiden yang mengejutkan.

Tindakan tersebut menimbulkan kecaman dari kelompok pejuang hak-hak perempuan dan juga dari negara-negara Barat.

Gugatan ke pengadilan atas tindakan tersebut ditolak oleh pengadilan dan penarikan diri Turki disahkan di bulan Juli. 'Kami akan terus berjuang'

Polisi anti huru hara yang sudah memasang barikade sebelumnya di ujung jalan untuk mencegah rombongan pengunjuk rasa, kemudian melepaskan gas air mata ketika sekelompok pengunjuk rasa berusaha melewati barikade.

Menurut laporan harian Cumcuhuriyet, paling tidak satu orang pengunjuk rasa mengalami cedera.

"Sebagai perempuan saya tidak merasa aman di Turki," kata pengunjuk rasa Cansu Ozkan ketika ikut dalam unjuk rasa di kawasan Istiklal Street.

"Saya tidak merasa aman ketika keluar rumah di waktu kapan saja, tidak masalah siang atau malam.

"Saya rasa semua perempuan juga merasa seperti itu."

Seorang pengunjuk rasa lainnya, Serhat Alan mengatakan perempuan sudah "dibunuh secara terang-terangan".

"Jika pria bisa menunjukkan pisau di kereta ... Jika pelaku kekerasan bisa dengan tenang berjalan di antara kita, ini tidak benar," katanya.

"Kami tidak menerima dan tidak akan menerima, kami akan terus berjuang."

Unjuk rasa serupa juga dilakukan di Ankara dan kota-kota lainnya di Turki.

Setelah menarik diri dari Konvensi Istanbul, Pemerintah Turki mengumumkan Rencana Aksi Untuk Mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan, seperti melakukan kajian soal proses peradilan, meningkatkan layanan perlindungan dan upaya lainnya.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat di Turki.

Kelompok pegiat 'We Will Stop Femicide' mengatakan 353 perempuan tewas dibunuh di Turki sepanjang tahun 2021 dengan 409 orang  tewas dibunuh tahun lalu.

Di bulan Oktober, 18 perempuan dibunuh oleh pria dan 19 lainnya ditemukan tewas dalam keadaan mencurigakan, menurut kelompok tersebut.

ABC/wires

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News  

BACA ARTIKEL LAINNYA... Laga Dihentikan pada Menit ke-48, Timnas Indonesia U-18 Bantai Alanyaspor 4-0

Berita Terkait