Ribut Waidi; Legenda Sepak Bola Asal Semarang Itu Telah Tiada

Mengaku Stroke Ringan karena Gila Kepiting

Senin, 04 Juni 2012 – 08:08 WIB
Ribut Waidi bersalaman dengan Presiden Soeharto di Istana, setelah Indonesia menjadi Juara SEA Games 1987 di Jakarta. Foto :Repro

Nama Ribut Waidi melambung di era 80-an. Pemain berambut ikal itu sering dibicarakan setelah menjadi pahlawan bagi klubnya, PSIS Semarang, yang menjuarai kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1987, dan timnas PSSI saat menjadi juara SEA Games di tahun yang sama. Kini sang legenda itu telah tiada.
 
 ISMU PURUHITO, Semarang
 
INDONESIA kehilangan salah seorang pahlawan sepak bola. Ribut Waidi, penyerang timnas PSSI pada era "80-an dan "90-an, kemarin pergi untuk selamanya di usia 50 tahun.
 
Kabar meninggalnya mantan pemain PSIS paling terkenal di Semarang itu langsung membuat "ribut" Kota Lumpia tersebut. Facebook dan BlackBerry Messenger pencinta olahraga di Kota Semarang langsung dipenuhi gambar-gambar sang fenomenal disertai ungkapan kehilangan.
 
Saat PSIS melawan Persis Solo di Stadion Manahan Solo kemarin sore, seluruh pemain, termasuk pemain Persis Solo, mengenakan pita hitam tanda berduka di lengan kanan. Ribuan penonton juga sejenak mengheningkan cipta untuk menghormati Ribut Waidi.
 
Ya, meski Ribut asli Pati, namanya sangat lekat di hati masyarakat Semarang. Bahkan, Pemkot Semarang pernah membuat patungnya dari logam, lalu memasangnya di jalan masuk Stadion Jatidiri Semarang. Namun, kini patung itu tidak ada lagi, setelah remuk tertimpa baliho reklame yang roboh setahun lalu.
 
Bagi wartawan olahraga di Semarang, kabar duka tersebut juga sangat mengejutkan. Sebab, tepat sepekan lalu atau Minggu (27/5), para wartawan olahraga bertanding dengan Ribut cs yang membela tim Pertamina, tempat Ribut bekerja. Saat itu tim Pertamina diperkuat beberapa pemain yang membela PSIS kala mengalahkan Persebaya di final Divisi Utama Perserikatan 1987. Selain Ribut, ada Budi Wahyono dan Sudaryanto.
 
Ketika itu Ribut terlihat cukup sehat. Meski dia sudah berusia setengah abad, gocekannya masih ciamik walau agak lamban. "Saya baru sembuh dari stroke ringan, ini baru coba-coba main lagi," kata dia setelah pertandingan itu.
 
Dia lalu bercerita bahwa stroke yang dialaminya disebabkan gila kepiting. "Kalau sudah makan kepiting, bisa belasan, bahkan puluhan," ujarnya. 
 
Saat itu Ribut juga mengutarakan keinginannya menjadi pelatih sepak bola. Sebab, sepak bola memang tidak bisa dipisahkan dari hidupnya.
 
Kini Ribut telah tiada. Setelah disemayamkan di rumah duka di Jalan Wahyu Asri Dalam IV DD-70, Semarang, jenazah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Giriloyo, Ngaliyan, sekitar pukul 14.00 kemarin. Tampak hadir kerabat, sahabat, dan para tetangga. Ribut meninggalkan seorang istri, Nunik, dan tiga anak, yakni Widi Nick Pratama, Varadini Ribut Waidi, dan Sonia Ribut Waidi.
 
Tak salah bila warga Semarang dan pencinta sepak bola Indonesia menganggap Ribut sebagai pahlawan. Dia adalah bintang PSIS saat menjadi juara kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1987. Ketika itu, pada partai final yang digelar di Stadion Utama Senayan (sekarang Gelora Bung Karno), tim berjuluk Mahesa Jenar tersebut mengalahkan musuh bebuyutannya, Persebaya Surabaya. Meski bukan Ribut yang mencetak gol kemenangan PSIS, dialah yang dinobatkan sebagai pemain terbaik.
 
Kepahlawanan Ribut mencapai puncaknya saat final cabang sepak bola SEA Games 1987 yang juga digelar di Stadion Utama Senayan. Gol tunggal Ribut ke gawang Malaysia membuat timnas PSSI menjadi juara SEA Games untuk kali pertama. Dramatisnya, gol tersebut tercipta pada menit ke-105 atau menit ke-15 babak perpanjangan waktu, setelah di waktu normal skor masih kacamata alias kosong-kosong. Hebatnya lagi, gol itu terjadi setelah Ribut berhasil melewati beberapa pemain belakang Malaysia.
 
Setelah sukses itu, Ribut menjadi langganan timnas hingga 1990. Di timnas, dia seangkatan dengan Rully Nere, Jaya Hartono, Robby Darwis, Ricky Yacobi, Ponirin Meka, Marzuki Nyakmad, dan Patar Tambunan. Pemain yang selalu mengenakan nomor punggung 10 itu juga pernah memperkuat Indonesia di ajang Piala Kemerdekaan, Piala Asia, dan pra-Piala Dunia.
 
Supriyanto, 40, kerabat almarhum, mengatakan, tidak ada tanda-tanda sakit sebelum Ribut meninggal. Malam sebelumnya, Ribut masih sempat berolahraga. Namun, kemarin, ketika bangun tidur pukul 05.00, Ribut merasakan sakit dan tubuhnya kaku.
 
"Bangun tidur subuh, beliau mengaku sakit dan minta dikeroki. Katanya, badannya sakit dan kaku. Sempat juga mau dipanggilkan dokter. Namun, dokter belum sempat datang, beliau sudah meninggal," tutur dia.
 
Di mata rekannya, Ribut adalah sosok pemain yang sabar dan ramah. Sudaryanto, 51, rekan setim di PSIS Semarang pada era 1980-an, mengatakan bahwa Ribut juga pandai mencairkan suasana. "Orangnya memang unik dan tidak bisa diduga. Kalau kami sedang bicara serius, dia bisa melawak untuk mencairkan suasana," ucap mantan kapten PSIS tersebut.
 
Di lapangan hijau, papar Sudaryanto, Ribut selalu ngotot, lincah, dan bersemangat. Sebagai pemain kanan luar dan kadang berposisi striker, pergerakan Ribut sulit ditebak lawan. "Kami sungguh kehilangan. Ribut berdedikasi. Dia sangat cinta sepak bola," ujar dia. (*/c11/nw)
 
 
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dasep Ahmadi Berlomba Melawan Waktu untuk Selesaikan Mobil Listrik Nasional


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler