Riset Sebut Biang Sampah Ternyata Gelas Plastik Air Mineral

Kamis, 18 Januari 2024 – 10:44 WIB
Sampah plastik di sungai (Ilustrasi). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Le Minerale, produk inovatif besutan PT Tirta Fresindo Jaya belakangan dicap sebagai beban lingkungan lantaran wadah plastiknya hanya sekali pakai dan berukuran jumbo.

Namun, riset anyar Net Zero Waste Management Consortium yang dipublikasikan pada 22 November 2023, justru bilang sebaliknya.

BACA JUGA: Kampanye Kurangi Sampah Plastik, Foopak Bio Natura & JumpStart Berkolaborasi

Dari investigasi audit sampah secara serentak di enam kota, termasuk Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Samarinda dan Bali, pada 2022, tim peneliti lapangan lembaga tidak mendapati adanya sampah galon Le Minerale di tempat pembuangan akhir sampah di enam kota tersebut.

Alih-alih, tim riset menemukan sampah plastik air mineral kemasan gelas sebagai salah satu biang sampah terbesar di enam kota.

BACA JUGA: Mahasiswa Universitas Bakrie Ajak Generasi Z Berperan Aktif Kurangi Produksi Sampah Plastik

Dalam sebuah laporan bertajuk 'Potret Sampah 6 Kota', konsorsium riset berbasis Jakarta itu menyebutkan sampah gelas plastik sejumlah brand minuman ternama ditemukan dalam volume yang besar di banyak site.

Pada daftar sepuluh besar brand yang sampahnya paling banyak ditemukan, laporan riset menyebut porsi terbesar (59.300 buah) ada pada serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa diidenfikasi.

BACA JUGA: Peringati HLHS 2023, Gubernur Herman Deru Ajak Masyarakat Mengurangi Sampah Plastik

Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek (43.957 buah) dan di urutan ketiga sampah bungkus mi instan (37.548).

"Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut,' kata Ahmad Syafrudin, lead researcher Net Zero, dalam keterangannya, Kamis (18/1).

Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar, mau itu gerobak pemulung, TPS, truk sampah, TPA, pinggir sungai dan sebagainya.

Menurut Ahmad, temuan riset ini mengindikasikan program pengurangan sampah oleh pemilik brand belum efektif. Dalam skema Extended Producer Responsibility atau EPR, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 75 Tahun 2019 mengatur perluasan tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir sampah produk.

Sekaitan itu juga, pemerintah mengeluarkan kebijakan Up Sizing dimana produsen didorong untuk meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah.

Sampah botol produk minuman, seluruhnya menggunakan kemasan plastik Polietilena Terefatalat, sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka.

Masalahnya, kata Ahmad, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema Circular Economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota.

"Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan/badan-badan air bahkan dibakar (open burning)," katanya.

Ahmad mengatakan ketidakjelasan terkait implementasi ERP dan CR menjadikan kalangan produsen leluasa mencitrakan dirinya sebagai korporasi yang ramah lingkungan, meski faktanya jauh dari itu.(jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler