Ritme Putin

Oleh: Dahlan Iskan

Senin, 04 Juli 2022 – 07:08 WIB
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - VLADIMIR Putih berubah strategi. Kini Presiden Rusia itu tidak tampak terlalu emosi lagi. "Kita tidak kesusu harus segera mengakhiri perang," kata Putin Rabu lalu.

Hari itu ia berbicara di depan wartawan di Turkmenistan, salah satu negara pecahan Uni Soviet.

BACA JUGA: Anna Colin

Para mantan Soviet itu memang rutin melakukan pertemuan tingkat tinggi. Terutama para mantan yang masih pro-Rusia.

Harian New York Times menggambarkan ''suasana kebatinan'' baru Putin itu dengan sangat baik. Putin digambarkan tidak lagi mudah emosi. Tidak seperti di awal perang. Kini ia lebih santai, tenang dan percaya diri.

BACA JUGA: Mendung Tebal

"Kita tidak tertarik lagi berbicara soal batas waktu," katanya.

Berarti perang ini akan menjadi perang yang santai. Putin tidak risau sama sekali mengenai jalannya perang yang pelan-pelan. Itu sudah sesuai dengan ritme yang ia inginkan.

BACA JUGA: Pahlawan Irpin

Dengan santainya Putin menyampaikan rasa puasnya atas perkembangan di medan perang. "Pekerjaan kita berjalan lancar, mulus dengan irama yang teratur," ujar Putin.

Bayangkan, jalannya perang digambarkan seperti itu. Alangkah pe-de-nya Putin.

Kalau benar bahwa perang di Ukraina masih akan berlangsung lama maka pertempuran di luar perang bisa lebih seru.

Lambatnya jalannya perang itu akan jadi beban yang sangat berat bagi Ukraina. Juga bagi negara seperti Sri Lanka. Pun bagi India. Dan negara berkembang lainnya.

Menurut NYT, biaya perang itu, di sisi Ukraina mencapai USD 5 miliar per bulan. Padahal negeri itu tidak punya lagi pendapatan. Ekspornya berhenti. Ekonominya hancur.

Ukraina harus bersandar sepenuhnya pada bantuan Amerika dan Eropa. Juga sedikit dari Jepang dan Australia.

Bantuan itu lama-lama bisa susut. Yang membantu pun bisa lelah.

Menlu Swedia Ann Linde mulai mengingatkan: lama-lama dukungan dari rakyat di negara kita masing-masing menurun. Itu akan merembet ke soal politik. Apalagi kalau inflasi terus tinggi dan harga-harga mengalami kenaikan.

Kenaikan harga tidak hanya di bensin. Juga di daging sapi, ayam, susu, dan sumber protein yang lainnya.

Daging sapi di Amerika naik 11 persen. Chicken wings naik 38 persen. Dada naik 24 persen. Chicken drumstick –saya pernah order chicken leg ternyata penjaga counter fast food di Amerika tidak mengerti– naik 12 persen. Dan hot dog ayam naik 15 persen.

Hanya daging babi yang naiknya hanya 5 persen. Sedang hasil pertanian seperti tomat dan avokad hanya naik sedikit.

"Anda bisa lihat di media. Kepentingan masyarakat menurun. Dampaknya akan pada opini publik. Lalu berdampak pula ke politisi seperti kita," kata Linde.

Waktu di Turkmenistan itu Putin tetap optimistis bisa mengalahkan Ukraina dan Barat. Ia juga masih punya keinginan untuk menjatuhkan pemimpin Ukraina itu: Zelenskyy.

Bukan karena Zelenskyy telah tega membantah klaim Presiden Jokowi soal ''pesan kepada Putin''. Seperti ditulis Kompas, Zelenskyy tidak punya pesan apa pun untuk disampaikan kepada Putin.

Presiden Jokowi memang menemui Zelenskyy di Kiev pekan lalu dan menemui Putin di Moskow keesokan harinya.

Di mata Putin, Zelenskyy hanyalah boneka Barat.

Apakah Barat akan terus membantu Ukraina? Tentu. Kadarnya yang tidak sama. Yang kelihatan masih solid adalah Amerika.

Setelah pertemuan NATO di Spanyol pekan lalu, Presiden Joe Biden tidak khawatir kehilangan dukungan rakyat Amerika. Ia justru menyiapkan mental rakyatnya untuk lebih tahan bantingan.

"Kita harus siap dengan harga bensin yang tinggi lebih lama lagi," ujar Biden. "Sampai Ukraina memenangkan perang," tambahnya.

Biden mengakui bahwa kenaikan harga-harga ini akibat sanksi yang dijatuhkannya kepada Rusia.

Berapa lama harga tinggi itu bisa diterima oleh rakyat? "Selama masih harus tinggi," ujar Joe Biden.

"Rusia tidak boleh mengalahkan Ukraina dan negara-negara di belakang Ukraina," katanya. "Kita harus memperkuat NATO," tambahnya.

Perkuatan NATO itulah yang bikin Putin menyerang Ukraina. Itu dianggap ancaman nyata bagi Rusia. Apalagi kalau negara satu ranjangnya dahulu, Ukraina, diterima sebagai anggota baru NATO.

Tentu banyak orang Amerika yang marah pada Biden. Harga BBM sekarang ini sudah di atas USD 5/galon. Lebih dua kali lipat dari masa pemerintahan Donald Trump.

"Harusnya Biden membuat Amerika mandiri energi," ujar pengamat di sana. "Bukalah  semua tanah federal. Gali minyaknya," katanya.

Namun, Biden dikenal antipengeboran minyak baru. Ia melancarkan perang terhadap penggunaan energi fosil. Amerika harus mengarah ke green energi. "Akhirilah perang pada sumber energi lama," kata yang anti Biden.

Presiden Ukraina sendiri, Zelenskyy, terus saja mengeluhkan kurangnya bantuan dari Barat. Baik logistik maupun peralatan perang.

Padahal Amerika telah membantu Ukraina USD 54 miliar. Hampir Rp 1.000 triliun. Sejak awal perang. Baru tiga bulan. Betapa besarnya kalau sampai satu tahun belum selesai.

Inggris berjanji menambah USD 1,2 miliar lagi: dalam bentuk peralatan perang. Angka-angka itu pada akhirnya akan dipersoalkan oleh rakyat masing-masing.

Apalagi Rusia kini mengatur ritme perang. Putin tidak lagi menggempur ibu kota Kiev. Sesekali saja Kiev dirudal –ketika G7 ber-KTT di Jerman. Lalu Odesa dirudal –ketika pimpinan NATO berkumpul di Spanyol.

Jadi, jelaslah serangan-serangan baru itu bukan untuk mengejek Presiden Jokowi.

Memang itu dilakukan sesaat setelah bertemu Presiden Indonesia. Namun bukan. Serangan baru itu semata-mata untuk mengejek G7 dan NATO.

Selebihnya, Rusia fokus menguasai bagian Timur Ukraina –mendorongnya untuk merdeka.

Sesekali Rusia menarik diri dari satu titik medan perang. Untuk mengatur ritme. Juga untuk mengatur harga bensin dan inflasi di Amerika dan Eropa. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tanpa Jumbo


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler