JAKARTA – Juru bicara keluarga Mallarangeng, Rizal Mallarangeng mempertanyakan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memblokir rekening Gemilang Zul Mallarangeng, putra Andi Mallarangeng. Rizal menyatakan, lebih baik KPK membekukan rekening milik petinggi Adhi Karya, BUMN yang menjadi kontraktor proyek Hambalang.
Menurutnya, sebaiknya KPK juga memblokir rekening milik Direktur Operasi I PT. Adhi Karya Tbk, Teuku Bagus dan pemegang saham perusahaan subkontrak proyek Hambalang PT. Dutasari Citralaras (PT.DCL) Mahfud Suroso. Rizal menyebut dua orang itu sebagai pihak yang memegang peranan penting dalam menggelembungkan dana (mark up) di proyek senilai Rp 2,5 triliun itu.
“Malah akun rekening Gilang yang isinya hanya Rp 16 juta yang dibekukan. Padahal itu isi rekening dia, hasil kerja kerasnya yang ingin dibuktikan pada orangtuanya,” kata Rizal dalam jumpa pers di kantor Freedom Institute, Jakarta, Kamis, (10/1).
Rizal berpendapat, KPK seolah menutup mata keterlibatan Teuku Bagus dan Mahfud Suroso dalam dugaan korupsi di proyek Hambalang. Padahal, keduanya diduga kuat melakukan mark-up dalam kasus Hambalang. Adhi Karya diduga melakukan mark-up hingga Rp 51 miliar, sedangkan Ditasari menggelembungkan harga hingga Rp 75 miliar.
Rizal, dalam kasus ini menuding KPK telah salah menyasar orang-orang yang diduga terlibat. Dicontohkannya, KPK malah mencurigai sekretaris pribadi Andi, Iim Rohimah, yang jumlah uang di tiga rekeningnya digabung tak lebih besar dari Rp 11 juta.
“Apakah KPK percaya Iim punya 15 miliar, sehingga menuduh Andi Mallarangeng memakai kantong orang lain untuk menyimpan duit korupsi? Coba dipikir lagi,” lanjutnya.
Sebelumnya, berdasarkan data dari BPK, Rizal menyebut bahwa KSO Adhi Karya-Wijaya Karya bekerjasama dengan PT DCL yang menjadi subkontraktor pekerjaan mechanical dan electrical engineering Hambalang, mengantongi kontrak senilai Rp 295 miliar. Angka itu merupakan hasil mark up sehingga negara dirugikan hingga Rp 75 miliar rupiah.
Kejanggalan lainnya yang dilakukan PT Adhi Karya dan PT DCL, sebut Rizal, adalah pembayaran biaya mekanikal elektrik yang seharusnya dilakukan setelah konstruksi bangunan selesai. Namun PT DCL justru mendapat pembayaran di depan.
Setelah kontrak antara Kemenpora dengan KSO AW selesai dan dana telah dibayar oleh negara, konsorsium BUMN itu langsung membayar PT DCL sebesar Rp100 miliar untuk melaksanakan proyek. Tanda tangan kontrak antara pemerintah dengan KSO AW pun bermasalah dan tergesa-gesa. Sebab Rp 500 miliar dari total kontrak Rp1,2 triliun ternyata belum disetujui Komisi X DPR.
Namun Ketua Komisi X DPR, Mahyudin menandatanganinya. Lalu di tengah keganjilan itu, sambung Rizal, Kementerian Keuangan yang dalam proses pencairan biasanya sangat ketat, dalam hal dana Hambalang terkesan begitu lengah.
Oleh karena dugaan mark up yang dinilainya sangat tinggi di proyek Hambalang, Rizal mengingatkan KPK untuk menelusuri lebih jauh keterlibatan Teuku Bagus dan Mahfud.
“Saya tak pernah dengar KPK bicara soal Teuku Bagus dan Mahfud Suroso, yang oleh audit Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan telah melakukan mark-up yang lebih tinggi dari batas langit. Mereka ini juga harus diusut," pungkas Rizal.(flo/jpnn)
Menurutnya, sebaiknya KPK juga memblokir rekening milik Direktur Operasi I PT. Adhi Karya Tbk, Teuku Bagus dan pemegang saham perusahaan subkontrak proyek Hambalang PT. Dutasari Citralaras (PT.DCL) Mahfud Suroso. Rizal menyebut dua orang itu sebagai pihak yang memegang peranan penting dalam menggelembungkan dana (mark up) di proyek senilai Rp 2,5 triliun itu.
“Malah akun rekening Gilang yang isinya hanya Rp 16 juta yang dibekukan. Padahal itu isi rekening dia, hasil kerja kerasnya yang ingin dibuktikan pada orangtuanya,” kata Rizal dalam jumpa pers di kantor Freedom Institute, Jakarta, Kamis, (10/1).
Rizal berpendapat, KPK seolah menutup mata keterlibatan Teuku Bagus dan Mahfud Suroso dalam dugaan korupsi di proyek Hambalang. Padahal, keduanya diduga kuat melakukan mark-up dalam kasus Hambalang. Adhi Karya diduga melakukan mark-up hingga Rp 51 miliar, sedangkan Ditasari menggelembungkan harga hingga Rp 75 miliar.
Rizal, dalam kasus ini menuding KPK telah salah menyasar orang-orang yang diduga terlibat. Dicontohkannya, KPK malah mencurigai sekretaris pribadi Andi, Iim Rohimah, yang jumlah uang di tiga rekeningnya digabung tak lebih besar dari Rp 11 juta.
“Apakah KPK percaya Iim punya 15 miliar, sehingga menuduh Andi Mallarangeng memakai kantong orang lain untuk menyimpan duit korupsi? Coba dipikir lagi,” lanjutnya.
Sebelumnya, berdasarkan data dari BPK, Rizal menyebut bahwa KSO Adhi Karya-Wijaya Karya bekerjasama dengan PT DCL yang menjadi subkontraktor pekerjaan mechanical dan electrical engineering Hambalang, mengantongi kontrak senilai Rp 295 miliar. Angka itu merupakan hasil mark up sehingga negara dirugikan hingga Rp 75 miliar rupiah.
Kejanggalan lainnya yang dilakukan PT Adhi Karya dan PT DCL, sebut Rizal, adalah pembayaran biaya mekanikal elektrik yang seharusnya dilakukan setelah konstruksi bangunan selesai. Namun PT DCL justru mendapat pembayaran di depan.
Setelah kontrak antara Kemenpora dengan KSO AW selesai dan dana telah dibayar oleh negara, konsorsium BUMN itu langsung membayar PT DCL sebesar Rp100 miliar untuk melaksanakan proyek. Tanda tangan kontrak antara pemerintah dengan KSO AW pun bermasalah dan tergesa-gesa. Sebab Rp 500 miliar dari total kontrak Rp1,2 triliun ternyata belum disetujui Komisi X DPR.
Namun Ketua Komisi X DPR, Mahyudin menandatanganinya. Lalu di tengah keganjilan itu, sambung Rizal, Kementerian Keuangan yang dalam proses pencairan biasanya sangat ketat, dalam hal dana Hambalang terkesan begitu lengah.
Oleh karena dugaan mark up yang dinilainya sangat tinggi di proyek Hambalang, Rizal mengingatkan KPK untuk menelusuri lebih jauh keterlibatan Teuku Bagus dan Mahfud.
“Saya tak pernah dengar KPK bicara soal Teuku Bagus dan Mahfud Suroso, yang oleh audit Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan telah melakukan mark-up yang lebih tinggi dari batas langit. Mereka ini juga harus diusut," pungkas Rizal.(flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Eks Dirut IM2 Segera Didakwa Korupsi
Redaktur : Tim Redaksi