jpnn.com, JAKARTA - Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) kembali menyelenggarakan gerakan aksi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) Menyenangkan dengan tema baru.
Kali ini mengangkat tema Membangun budaya dialogis dan interaksi melalui Ruang Ketiga".
BACA JUGA: Banyak Guru Tertarik Sistem Pembelajaran Menyenangkan, Pemda Dukung Pembentukan GSMÂ
"Ruang ketiga bertujuan untuk membangun budaya ilmiah serta kesadaran kritis dalam menghadapi berbagai persoalan dan berbagai krisis di masa depan, termasuk potensi hilangnya nilai-nilai kemanusiaan akibat revolusi AI," kata Muhammad Nur Rizal, Ph.D., founder dari GSM, dalam konferensi pers secara virtual, Senin (22/7).
Gerakan MPLS Menyenangkan dengan tema Ruang Ketiga ini diikuti oleh lebih dari 3.100 sekolah dari Sumatera, Kalimantan, seluruh Jawa, Bali, NTB hingga Papua. Tema kali ini berbeda dengan tahun lalu yang bertujuan untuk mengurangi kekerasan.
BACA JUGA: GSM Dorong Sekolah Pinggiran Jadi Motor Perubahan Pendidikan Â
GSM memandang persoalan kekerasan, perundungan, dan kesehatan mental sebagai bagian dari persoalan yang lebih besar, yakni hilangnya budaya dan perangai ilmiah pada masyarakat, sehingga kita mudah terjebak dan terpolarisasi oleh berita-berita negatif, berita bohong, dan sentimen yang berlebihan.
Dampaknya munculnya friksi, ketegangan, bullying, kekerasan hingga lebih parah terganggunya kesehatan mental generasi kita.
BACA JUGA: Festival Sekolah Menyenangkan 2021 Jadi Titik Balik Transformasi Pendidikan
"Dengan terpatrinya budaya perangai ilmiah di kepala tiap siswa, harapannya mereka mampu memiliki filter pribadi dan dapat terus skeptis terhadap informasi baru," ujar Rizal.
Kehadiran ruang ketiga cocok untuk diimplementasikan pada program MPLS karena pada waktu tersebut, anak-anak cenderung membutuhkan perasaan diterima dan dianggap menjadi anggota baru secara hangat.
Pemilihan dialog intensif sebagai mata acara juga mampu menghilangkan sisi kemonotonan dari kegiatan penyambutan siswa baru.
Yayah Khodariah, salah satu pegiat Komunitas GSM Cirebon yang juga mengajar di kelas I SD Negeri Kedungkrisik mengatakan, sebelum mengenal GSM, sekolah memang sudah punya tujuannya, tetapi masih bingung bagaimana merealisasikannya. MPLS ini penting sebagai dasar peletakan pondasi karakter.
'Dikarenakan kebingungan bagaimana melaksanakan tujuan MPLS, akhirnya terjebak di rutinitas tahunan. Anak-anak cenderung bosan dan tidak betah. Dua tahun ke belakang, baru menyelenggarakan MPLS yang dipandu oleh GSM, tujuan sekolah terealisasi, guru pun menjadi lebih kreatif,” ungkapnya.
Eni Arumita, guru kelas IV dari UPTD SDN Rawabuntu 03 dan sekaligus pegiat Komunitas GSM Tangsel juga mengungkapkan bahwa MPLS Ruang Ketiga ini mampu menciptakan budaya dialog yang setara dan bermakna.
Tidak hanya antara guru dan murid, tetapi juga relasi dengan orang tua siswa. Dampak yang terasa, sekolah tidak hanya menjadi rumah bagi murid dan juga guru, tetapi juga rumah bagi orang tua.
"Selain itu, pendidikan bukan sekadar menjadi tanggung jawab guru, tetapi merupakan tanggung jawab bersama yang perlu kerja sama," ujar Eni.
Ruang ketiga juga membuat ruang kelas lebih kreatif dan bebas dalam melakukan pembahasan sebuah isu. Rasa penasaran anak yang terus dijawab berdasarkan fakta, data, dan bukti akan menciptakan sebuah diskursus.
Diskursus yang terbangun atas keberagaman pendapat akan membuat manusia semakin berdaya dan inilah yang menjadi nilai keunggulan manusia dibanding kecerdasan buatan yang kalau terus disalahgunakan akan berakibat buruk pada peradaban manusia.
“Kekayaan AI dapat dihadapi dengan keberagaman tradisi, cara berpikir, sumber daya alam (biodiversitas) dan sebagainya. Dengan begitu, manusia tetap dapat menjadi tuan rumah di era AI," pungkasnya. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad