jpnn.com - Beberapa hari terakhi ini Rumah Musik Harry Roesli (RMHR) di Kota Bandung, Jawa Barat, menjadi sorotan luas. Pemicunya ialah rencana ahli waris Harry Roesli melego bangunan penuh kenangan itu.
Laporan Nur Fidhia Sabrina, Bandung
BACA JUGA: Alasan Keluarga Menjual Rumah Harry Roesli di Bandung, Simak Nih
MUSIKUS legendaris asal Kota Bandung Harry Roesli meninggalkan banyak legasi dan memori bagi para penggemar karyanya. Salah satu yang menjadi magnum opusnya ialah album Ken Arok Rock Opera yang dirilis saat seniman kelahiran 10 September 1951 itu berusia 26 tahun.
Majalah Rolling Stone Indonesia edisi ke-32 terbitan Desember 2007 menempatkan Ken Arok Rock Opera pada peringkat ke-10 dari 150 album musik terbaik Indonesia. Album itu sampai dirilis ulang pada 2019.
BACA JUGA: Mengenang Soosk Jhonny Iskandar, Musikus Jenaka Pendiri OM PMR
Selain itu, Harry Roesli juga punya legasi lain berupa tanah dan bangunan di Jalan Supratman Nomor 59, Cihapit, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung. Bangunan bergaya Indis itulah yang kini lebih dikenal dengan sebutan RMHR.
Di rumah tersebut, musikus berjuluk ‘Si Bengal dari Bandung’ itu menghasilkan album Ken Arok yang lahir dari pertunjukan opera rock dengan judul serupa pada 1975.
BACA JUGA: Nostalgia di NET11.11, Drama Legendaris hingga Parade Film MD Entertainment
Salah satu putra Harry, Layala Khrisna Patria, menuturkan ayahnya sejak masih kecil sudah menempati bangunan tua itu.
“Merilis dan menggarap Ken Arok di rumah ini juga pada tahun 1970-an. Di sini tempat latihannya di lantai atas, enggak kebayang itu ada 100-an orang datang ke sini,” ujar Layala.
Bangunan beratap sirap itu berdiri di atas lahan seluas 880 meter persegi. Sebagai rumah peninggalan era kolonial yang tergolong cagar budaya, bagian fasadnya tidak boleh dipugar.
Di dalam rumah itu juga terdapat banyak kenangan dan memori yang terbangun semasa Harry Roesli hidup. Layala menuturkan mendiang ayahnya melakukan banyak aktivitas pribadi di rumah bernomor 57.
Adapun untuk proses kreatif, Harry lebih banyak beraktivitas di studionya yang berada persis di samping rumah pribadinya. Harry dikenal sebagai salah satu tokoh penting di kancah musik Indonesia pada era 1970 – 1980an. Musiknya acap kali membawa pesan sosial dan kritik tentang kondisi masyarakat.
Cucu sastrawan kondang Marah Roesli itu memulai karier bermusiknya pada awal dekade 1970-an dengan band Gang of Harry Roesli. Namun, namanya kian kondang setelah mementaskan Rock Opera Ken Arok pada 12 April 1975 di Gedung Merdeka Bandung.
Layala Khrisna Patria, putra dari Harry Roesli, berfoto di depan wall of fame almarhum Harry Roesli di rumah pribadinya di Kota Bandung, Jawa Barat. Foto: Nur Fidhiah Shabrina/JPNN.com
Sebagai musikus, Harry memiliki ciri khas dalam karya-karyanya yang memadukan rock, folk, dan elemen musik tradisional.
Walakin, seniman yang pernah kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) itu juga menimba ilmu tentang musik di Rotterdam, Belanda.
Pria berdarah Minangkabau tersebut sampai meraih gelar doktor bidang musik dari Negeri Kincir Angin itu.
Di Tanah Air, Harry tidak hanya terus bermusik, tetapi juga menjadi dosen seni dan membina para musisi.
Menurut Layala, dahulu RMHR memiliki lima studio musik yang hampir selalu penuh dengan penyewa. Selain disewakan, RMHR juga membuka sekolah musik untuk para musisi jalanan.
RMHR telah melahirkan nama-nama beken di kancah musik, seperti Armad Maulana, Budi Dalton, hingga The Changcuters.
Layala pun teringat saat The Changcuters berpentas di area RMHR. Saat belum terkenal, band bentukan 2004 itu sudah memiliki penggemar fanatik di Bandung.
“Saking penuhnya penonton, mereka saya arahkan buat masuk lewat pintu rahasia di belakang yang bisa tembus ke rumah ini (rumah nomor 57 yang menjadi tempat tinggal keluarga Harry Roesli, red),” kata Layala.
Pada 2012, studio Harry Roesli dijual dan kini berubah menjadi klinik kesehatan.
Adapun rumah pribadinya masih dimanfaatkan untuk aktivitas sekolah musik.
Saat ini, di rumah itu terdapat dua studio musik yang dikelola oleh ahli waris Harry Roesli. Ada juga sanggar tari asuhan istri Harry.
Namun, lambat laun biaya operasional RMHR kian tinggi.
Para ahli waris Harry pun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk tetap menjalankan warisan berharga itu.
Awalnya memang banyak kerabat Harry yang tinggal di rumah tersebut.
Setelah Harry Roesli meninggal pada 2004, banyak saudaranya pindah dari rumah itu.
Kini hanya Layala bersama saudara kembarnya dan ibunya yang masih tinggal di rumah tersebut.
Upaya mengoperasionalkan RMHR pun makin berat karena ditanggung satu keluarga saja.
“Seiring waktu banyak keluarga menyebar tidak tinggal di sini lagi dan bisa dilihat segala terkait perawatan dan lain-lain memang bukan hal yang murah,” tutur Layala.
Ahli waris Harry Roesli pun memutuskan menjual RMHR.
Keputusan itu bukanlah hal mudah, bahkan keluarga besar Harry harus bermusyawarah pada 2018.
“Saat itu untuk memutuskan rumah dijual bukan hal mudah karena historinya," imbuh Layala.
Menurut Layala, rumah tersebut bukan milik ayahnya saja.
"Rumah ini bukan hanya milik Harry (Roesli), tetapi juga keluarga besar,” imbuhnya.
Layala menjelaskan biaya operasional untuk merawat bangunan tua itu tak sedikit.
Pihak keluarga sebagai ahli waris mengeluarkan uang puluhan juta rupiah untuk membiayai operasional RMHR.
Oleh karena itu, keluarga sepakat menjual warisan tersebut.
“Sebagian besar (keluarga) sudah enggak di sini dan rumahnya daripada enggak terawat mending dijual,” tutur Layala.
Keluarga besar Harry juga sudah berembuk untuk membahas harga jual RMHR. Nilainya cukup besar.
“Dilepas di (harga) Rp 25 miliar,” kata Layala.
Walakin, untuk menjual RMHR bukan hal gampang. Meski calon pembeli datang silih berganti, sampai saat belum ada yang jadi membelinya.
Sejak enam tahun lalu pihak keluarga Harry sudah berupaya menawarkan RMHR ke para calon pembeli.
Namun, pandemi Covid-19 juga membuat upaya penjualan aset berharga itu kian sulit.
“Pandemi (Covid-19) yang berdampak ke properti, ya. Buyer (pembeli, red) ada, cuma memang belum ketemu jodoh,” ujarnya.
Pernah ada calon pembeli yang sudah menawar mendekati harga Rp 25 miliar. Ternyata itu pun batal.
“Mekanisme bayarnya enggak cocok,” imbuh Layala.
Sebenarnya banyak pihak menyayangkan rencana keluarga besar Harry Roesli menjual RMHR.
Namun, para ahli warisnya memang dalam kondisi tidak memungkinkan lagi mempertahankan salah satu ikon sejarah musik di Bandung itu.
“Teman-teman terdekat (sahabat Harry Roesli, red) banyak menyayangkan, tetapi begitu kami menjelaskan situasinya, mereka paham,” tuturnya.
Oleh karena itu, pihak keluarga pun akan berupaya melanjutkan Sekolah Musik Harry Roesli meski sudah tidak memiliki bangunan fisiknya.
Menurut Layala, melanjutkan sekolah musik tersebut adalah pesan terakhir mendiang ayahnya sebelum berpulang 20 tahun lalu.
“’Jangan matikan lampu di meja kerja saya,” ujar Layala menukil pesan ayahnya.
Layala menambahkan kata-kata terakhir mendiang ayahnya itu merupakan amanah yang harus dijaga.
“Makanya waktu memutuskan rumah dijual, kami berpikir bapak (Harry, red) marah atau enggak, tetapi yang penting spiritnya saja,” ucapnya. (mcr27/jpnn.com)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Nur Fidhiah Sabrina