JAKARTA - Kenaikan harga BBM bersubsidi dan intervensi Bank Indonesia (BI) rupanya belum menjadi obat ampuh untuk memperkuat Rupiah. Nilai tukar pun diproyeksi terus melemah.
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Arifianto mengatakan, turunnya cadangan devisa membuat amunisi BI untuk melakukan intervensi menjadi kian tipis. "Rupiah bisa turun ke 10.200 - 10.300 per dolar AS (USD). Ini pun sebenarnya level yang masih bisa diterima," ujarnya kepada Jawa Pos, Sabtu (6/7).
Sebagaimana diketahui, gencarnya intervensi BI untuk mempertahankan nilai tukar Rupiah harus dibayar mahal dengan tergerusnya cadangan devisa. Per akhir Juni 2013, cadangan devisa Indonesia tinggal USD 98,1 miliar, dari posisi USD 105,1 miliar pada akhir Mei 2013. Artinya, dalam satu bulan, cadangan devisa anjlok USD 7 miliar (sekitar Rp 69 triliun).
Menurut Doddy, anjloknya cadangan devisa merupakan harga yang terlalu mahal untuk menjaga nilai tukar Rupiah. Sebab, lanjut dia, pelemahan nilai tukar mata uang terhadap greenback (USD) saat ini merupakan fenomena global akibat munculnya sinyal recovery ekonomi di AS. "Kalau sudah seperti ini, susah dilawan. Jadi, saya kira BI perlu lagi jor-joran menggunakan cadangan devisa untuk menjaga Rupiah," katanya.
Hingga Jumat lalu (5/7), nilai tukar Rupiah berdasar kurs BI ditutup di level 9.945 per USD, sama dengan penutupan hari sebelumnya. Namun, secara umum melemah sepanjang pekan lalu.
Doddy mengatakan, BI maupun banyak pihak di Indonesia terlalu khawatir dengan jebolnya level psikologis 10.000 per USD. Padahal, menurut dia, level tersebut tidak berpengaruh signifikan pada perekonomian. "So what kalau 10.000, tidak masalah, toh mata uang negara lain melemah lebih parah dibanding Rupiah," ucapnya.
Dia menyebut, secara year-to-date (ytd) atau sepanjang 2013, nilai tukar Rupiah baru melemah sekitar 2,6 persen, dari 9.685 per USD pada awal Januari menjadi 9.945 pada Jumat lalu.
Pelemahan tersebut, masih relatif kecil dibandingkan dengan mata uang negara lain. Misalnya, Yen Jepang yang melemah 13 persen, Real Brasil 9 persen, Lira Turki 7 persen, Peso Filipina 3,4 persen, serta Baht Thailand yang juga di atas 2 persen.
Karena itu, menurut Doddy, yang perlu dilakukan BI dan pemerintah saat ini adalah memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat dan pelaku usaha, bahwa nilai tukar Rupiah masih terkelola dengan baik (manageable) dan level 10.000 per USD bukanlah sesuatu yang sakral sehingga harus dipertahankan mati-matian dengan mengumbar cadangan devisa.
"Dengan begitu, BI tidak terlalu tertekan untuk terus mengintervensi pasar. Sebab, dalam kondisi ekonomi global yang seperti ini, cadangan devisa merupakan sumber daya langka yang harus dijaga," jelasnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan bahwa cadangan devisa USD 98,1 miliar masih merupakan level yang aman karena mampu meng-cover kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri selama 5,4 bulan. "Ini juga masih cukup untuk menjaga nilai tukar Rupiah," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz mengatakan, cadangan devisa yang di bawah USD 100 miliar merupakan titik kritis yang harus diwaspadai. "Sebab, setidaknya cadangan devisa harus mampu meng-cover impor minimal 6 bulan," katanya.
Harry mengakui, kondisi ini memang menjadi dilema bagi BI. Di satu sisi bank sentral harus menjaga cadangan devisa, namun di sisi lain juga harus menjaga target asumsi makro APBN Perubahan 2013 yang mematok nilai tukar di level 9.600 per USD. "Karena itu, pekan depan kami ingin mengundang BI ke DPR untuk konsultasi dan memberi penjelasan lengkap tentang kebijakan ke depan seperti apa," ujarnya. (owi/kim)
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Arifianto mengatakan, turunnya cadangan devisa membuat amunisi BI untuk melakukan intervensi menjadi kian tipis. "Rupiah bisa turun ke 10.200 - 10.300 per dolar AS (USD). Ini pun sebenarnya level yang masih bisa diterima," ujarnya kepada Jawa Pos, Sabtu (6/7).
Sebagaimana diketahui, gencarnya intervensi BI untuk mempertahankan nilai tukar Rupiah harus dibayar mahal dengan tergerusnya cadangan devisa. Per akhir Juni 2013, cadangan devisa Indonesia tinggal USD 98,1 miliar, dari posisi USD 105,1 miliar pada akhir Mei 2013. Artinya, dalam satu bulan, cadangan devisa anjlok USD 7 miliar (sekitar Rp 69 triliun).
Menurut Doddy, anjloknya cadangan devisa merupakan harga yang terlalu mahal untuk menjaga nilai tukar Rupiah. Sebab, lanjut dia, pelemahan nilai tukar mata uang terhadap greenback (USD) saat ini merupakan fenomena global akibat munculnya sinyal recovery ekonomi di AS. "Kalau sudah seperti ini, susah dilawan. Jadi, saya kira BI perlu lagi jor-joran menggunakan cadangan devisa untuk menjaga Rupiah," katanya.
Hingga Jumat lalu (5/7), nilai tukar Rupiah berdasar kurs BI ditutup di level 9.945 per USD, sama dengan penutupan hari sebelumnya. Namun, secara umum melemah sepanjang pekan lalu.
Doddy mengatakan, BI maupun banyak pihak di Indonesia terlalu khawatir dengan jebolnya level psikologis 10.000 per USD. Padahal, menurut dia, level tersebut tidak berpengaruh signifikan pada perekonomian. "So what kalau 10.000, tidak masalah, toh mata uang negara lain melemah lebih parah dibanding Rupiah," ucapnya.
Dia menyebut, secara year-to-date (ytd) atau sepanjang 2013, nilai tukar Rupiah baru melemah sekitar 2,6 persen, dari 9.685 per USD pada awal Januari menjadi 9.945 pada Jumat lalu.
Pelemahan tersebut, masih relatif kecil dibandingkan dengan mata uang negara lain. Misalnya, Yen Jepang yang melemah 13 persen, Real Brasil 9 persen, Lira Turki 7 persen, Peso Filipina 3,4 persen, serta Baht Thailand yang juga di atas 2 persen.
Karena itu, menurut Doddy, yang perlu dilakukan BI dan pemerintah saat ini adalah memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat dan pelaku usaha, bahwa nilai tukar Rupiah masih terkelola dengan baik (manageable) dan level 10.000 per USD bukanlah sesuatu yang sakral sehingga harus dipertahankan mati-matian dengan mengumbar cadangan devisa.
"Dengan begitu, BI tidak terlalu tertekan untuk terus mengintervensi pasar. Sebab, dalam kondisi ekonomi global yang seperti ini, cadangan devisa merupakan sumber daya langka yang harus dijaga," jelasnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan bahwa cadangan devisa USD 98,1 miliar masih merupakan level yang aman karena mampu meng-cover kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri selama 5,4 bulan. "Ini juga masih cukup untuk menjaga nilai tukar Rupiah," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz mengatakan, cadangan devisa yang di bawah USD 100 miliar merupakan titik kritis yang harus diwaspadai. "Sebab, setidaknya cadangan devisa harus mampu meng-cover impor minimal 6 bulan," katanya.
Harry mengakui, kondisi ini memang menjadi dilema bagi BI. Di satu sisi bank sentral harus menjaga cadangan devisa, namun di sisi lain juga harus menjaga target asumsi makro APBN Perubahan 2013 yang mematok nilai tukar di level 9.600 per USD. "Karena itu, pekan depan kami ingin mengundang BI ke DPR untuk konsultasi dan memberi penjelasan lengkap tentang kebijakan ke depan seperti apa," ujarnya. (owi/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pasar Ekspor Terus Meluas
Redaktur : Tim Redaksi