Rupiah Ideal 12.000 - 12.500 per USD

Kamis, 18 Desember 2014 – 04:36 WIB
Wapres Jusuf Kalla. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Rupiah masih bergerak bak roller coaster. Setelah sempat anjlok mendekati level psikologis 13.000 per dolar Amerika Serikat (USD), rupiah kembali terangkat signifikan pasca intervensi Bank Indonesia (BI).

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, tingginya volatilitas nilai tukar rupiah terus dipantau. Posisi pemerintah sudah jelas, yakni ingin stabilitas nilai tukar terjaga di level yang sesuai dengan fundamental perekonomian Indonesia.

BACA JUGA: Ingatkan Rini Hindari Calon Direksi Titipan di BUMN

"Saya rasa di 12.000 - 12.500 (per USD) cukup bagus lah," ujarnya usai rapat kabinet di Kantor Presiden kemarin (17/12).

Data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis Bank Indonesia (BI) kemarin menunjukkan rupiah sudah menguat signifikan ke level 12.720 per USD, naik 180 poin dibanding posisi hari sebelumnya di 12.900 per USD.

BACA JUGA: Said Didu Beber Asal Gedung Kementerian BUMN

Di pasar spot, rupiah sudah menguat lebih tajam. Data Bloomberg menunjukkan, rupiah pada perdagangan kemarin ditutup di level 12.667 per USD, menguat 57 poin atau 0,45 persen."

Ini adalah penguatan terbesar ke dua di antara 13 mata uang utama di kawasan Asia Pasifik, hanya kalah dari Dolar New Zealand yang menguat 0,51 persen. Beberapa mata uang lain yang kemarin juga menguat adalah Dolar Australia, Dolar Hongkong, Ringgit Malaysia, dan Baht Thailand.

BACA JUGA: JK Anggap Pelemahan Rupiah Jadi Potensi Investasi

Sementara mata uang yang melemah terhadap Dolar AS adalah Yen Jepang, Won Korea, Dolar Singapura, Dolar Taiwan, Peso Filipina, Rupee India, dan Yuan Tiongkok.

Usai rapat kabinet, pemerintah kembali menegaskan optimismenya menghadapi kondisi rupiah terkini.

Menurut JK, pemerintah memandang kalau persoalan kurs saat ini bukan karena persoalan rupiahnya. Melainkan, lebih karena tren positif dari dolar AS berkaitan dengan membaiknya perekonomian di negeri Paman Sam tersebut.

"Tidak ada soal ekonomi kita, tidak ada hubungannya dengan rupiah, cuma Amerika-nya saja yang sedang baik," kata JK usai sidang kabinet.
       
Karena itu pula, wapres lalu mengungkap ketidaknyamanannya terhadap istilah melemahnya rupiah. Dia mengungkap, kalau di saat yang sama ketika nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar AS, mata uang Indonesia justru menguat dibanding sejumlah mata uang negara lain.

Dia menyebut Tiongkok (yen), Malaysia (ringgit), Australia (dolar), dan Rusia (rubel). "Jadi, jangan hanya dikatakan rupiah lemah, dibanding apa dulu," tegasnya.

JK menambahkan situasi penurunan nilai mata uang rupiah seperti sekarang ini justru merupakan peluang yang baik. Ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih baik. Alasannya, kata dia, dengan rupiah yang melemah dibandingkan dolar AS maka impor ke Indonesia dari negara-negara pengguna dolar pasti menurun.

"Nah, di situ ekspor kita akan naik, karena hampir semua ekspor kita dihitung dengan US dollar," tuturnya.

Lebih lanjut, tambah dia, situasi baru tersebut praktis akan menyebabkan stabilitas ekonomi menjadi lebih cepat tercapai. Sebab, defisit neraca perdagangan akan semakin cepat menurun pula.

Selain itu, JK juga menyatakan kalau situasi kurs rupiah saat ini juga akan berpotensi memancing tingkat investasi menjadi lebih tinggi. Pasalnya, pihak-pihak pemilik modal akan berpikir untuk menginvestasikan dananya di Indonesia karena pertimbangan lebih murah.

"Itu karena harga-harga pasti akan dibandingkan dengan dolar, jadi investasi akan lebih memungkinkan bergerak dengan lebih baik," tandasnya.

Pada kesempatan itu, JK juga sempat menyatakan keyakinannya kalau titik stabil nilai tukar rupiah tidak akan lama lagi tercapai.

Hal itu, menurut dia, seiring dengan stabilitas fiskal yang semakin mantap pula mulai awal tahun depan. Yaitu, ketika pembayaran ke pertamina berkaitan dengan kebijakan baru soal kenaikan harga BBM, telah dilakukan pemerintah.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan, pemerintah meyakini jika pelemahan tajam rupiah dalam beberapa hari terakhir lebih bersifat sentimen sementara dan akan kembali ke level normal sesuai fundamental ekonomi Indonesia.

"Jadi tidak perlu intervensi berlebihan, sebab hanya akan menghabiskan cadangan devisa," jelasnya. (dyn/owi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... OJK Dorong Wanita dan UMKM Melek Keuangan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler