Rusia: Oposisi Syria Bakal Menang

Rezim Assad Kerahkan Rudal Scud, Gedung Depdagri Dihajar Bom

Jumat, 14 Desember 2012 – 05:35 WIB
MOSKOW - Hanya sehari setelah Presiden Barack Obama menyebut bahwa Amerika Serikat (AS) mengakui koalisi oposisi Syria sebagai satu-satunya perwakilan resmi rakyat negara itu, ada pernyataan mengejutkan dari Rusia. Kemarin (13/12) sekutu dekat Syria itu justru menyatakan bahwa rezim Presiden Bashar al-Assad terus melemah.

Bahkan, untuk kali pertama, Kremlin menyatakan bahwa rezim Syria tidak akan sanggup menang melawan oposisi. "Fakta menunjukkan bahwa pemerintah akan cenderung kehilangan kekuasaannya atas wilayah Syria," tegas Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Rusia Mikhail Bogdanov dalam hearing Public Chamber (badan penasihat Kremlin).

Dia pun menambahkan bahwa oposisi Syria kemungkinan besar akan memenangkan perang yang sudah berlangsung selama sekitar 21 bulan di negeri tepi Laut Mediterania itu.

Hampir bersamaan itu, NATO juga merilis bahwa rezim Assad saat ini berada di ambang jatuh. "Kejatuhan rezim di Syria kini tinggal menunggu waktu," kata Sekjen NATO Anders Fogh Rasmussen kemarin.

Dia mengonfirmasi laporan sebelumnya bahwa NATO mendeteksi peluncuran rudal jarak pendek oleh militer Syria ke posisi pejuang oposisi. Menurut dia, pengerahan rudal itu jelas mengabaikan nyawa rakyat Syria.

Kemarin AS juga membeber bahwa rezim Assad telah menembakkan beberapa rudal Scud ke kantong-kantong oposisi. Bahkan, serangan berbahaya itu sudah berlangsung selama beberapa hari. "Rudal-rudal Scud itu diarahkan ke wilayah utara Syria," ungkap seorang pejabat AS yang tak mau disebutkan namanya.

Jubir Deplu AS Victoria Nuland membenarkan soal penembakan rudal ke posisi oposisi di Syria. Tapi, dia tidak mau membeber lebih rinci. "Belakangan, karena semakin terdesak, rezim (Assad) mulai meningkatkan penggunaan senjata mematikan, termasuk rudal," ungkapnya.

Sementara itu, meski mengakui rezim Assad akan kalah, Kremlin belum mengubah sikap soal Syria. Moskow masih enggan bersepakat dengan negara-negara Barat yang mulai memberlakukan sanksi pada rezim Assad. Bogdanov pun menegaskan bahwa Rusia tetap memegang kesepakatan di Jenewa, Swiss, pada Juni lalu. Yakni, mengutamakan jalur perundingan untuk menyelesaikan konflik Syria.

Moskow pun kembali mengimbau kepada kedua pihak yang berkonflik di Syria untuk berkompromi. Menurut Bogdanov, satu-satunya solusi yang paling mungkin untuk mengakhiri krisis Syria adalah negosiasi. Tapi, oposisi tak mau dialog dengan rezim Assad, kecuali presiden 47 tahun itu bersedia menghentikan seluruh serangan militernya dan mundur.

Menurut Bogdanov, aksi kekerasan hanya akan membuat rakyat Syria semakin menderita. Lagipula, meski berada di atas angin, oposisi bakal tetap butuh waktu untuk bisa menang atas pasukan Assad.

"Pertempuran akan menjadi semakin sengit dan Anda akan kehilangan puluhan ribu dan bahkan mungkin ratusan ribu nyawa," ungkapnya kepada oposisi.

Karena itu, Kremlin mengimbau koalisi oposisi yang sudah diakui negara-negara anggota Friends of Syria agar mau berunding. Jadi, jatuhnya lebih banyak korban jiwa bisa dicegah. "Tapi, jika Anda menganggap itu harga yang harus dibayar untuk menggulingkan presiden (Assad), kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi," terangnya Bogdanov.

Pernyataan Bogdanov memicu reaksi beragam. Oposisi yang selama ini menganggap Kremlin sebagai sekutu rezim pun semakin semangat memperjuangkan cita-citanya untuk mengakhiri pemerintahan Assad. Sebaliknya, pemaparan itu membuat para pendukung Assad gelisah karena mereka merasa kehilangan sekutu.

"Rusia coba memosisikan diri sebaik mungkin jelang kejatuhan rezim Assad yang selama ini mereka dukung," tutur Fyodor Lukyanov, editor majalah Global Affairs.

Kebijakan Kremlin itu, kata dia, sudah tepat. Akan lebih baik bagi Rusia untuk jujur mengungkapkan kondisi saat ini daripada menunggu rezim Assad benar-benar runtuh.

Kemarin Bogdanov juga mengatakan bahwa Kremlin mempertimbangkan rencana evakuasi staf diplomatiknya dari Syria. Termasuk, ribuan warga Rusia yang tinggal di sana. Tapi, evakuasi belum akan terjadi dalam waktu dekat.
"Belum saat ini," tegasnya kepada Kantor Berita Interfax.

Jika Rusia mempertimbangkan evakuasi, Pakistan telah menarik seluruh staf diplomatiknya dari Syria. "Kami telah memulangkan staf diplomatik, termasuk duta besar," ujar Moazzam Ahmed Khan, jubir kementerian luar negeri Pakistan.

Dia menambahkan, kebijakan itu hanya bersifat sementara sampai kondisi keamanan Syria membaik. Dalam perkembangan lainnya, empat bom mengguncang Damaskus kemarin. Tiga bom meluluhlantakkan gedung Departemen Dalam Negeri (Depdagri).

Bom itu meledak di gerbang utama. Selain merobohkan tembok bangunan itu, ledakan juga merenggut sejumlah korban jiwa. Serangan intensif oposisi saat ini terus mendekati Kota Damaskus, simbol kekuasaan rezim Assad.

Sedikitnya, 16 orang juga tewas kemarin akibat ledakan bom mobil di Kota Qatana, Provinsi Rif Dimashq, barat daya ibu kota. Kantor Berita SANA melaporkan bahwa tujuh korban tewas di antaranya adalah anak-anak. "Bom itu meledak di halaman asrama militer dan dekat sebuah sekolah dasar," ujar Syrian Observatory for Human Rights (SOHR).

Serangan pada pagi hari itu juga melukai sedikitnya 23 orang. Sebagian besar korban adalah anak-anak dan perempuan yang saat itu berada di kompleks SD Mikhael Samaan. (AP/AFP/RTR/hep/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bantu Korban Badai Filipina, Indonesia Sumbang USD 1 Juta

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler