KAIRO – Suasana di Mesir belum kondusif. Kerusuhan kembali terjadi di Kairo, Minggu (27/1). Polisi pun terpaksa menembakkan gas airmata untuk menghalau demonstran di ibu kota. Kerusuhan dan bentrok antara petugas keamanan dengan massa di jalanan Kairo dan sejumlah kota lain di Mesir memasuki hari keempat. Sedikitnya, 42 orang tewas dalam kerusuhan sepanjang hari kemarin.
Perkembangan itu menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Muhammad Mursi. Berbagai aksi protes jalanan terus berlangsung di Mesir sejak massa memperingati dua tahun revolusi pada Kamis lalu (24/1). Revolusi itu berhasil menumbangkan rezim Hosni Mubarak pada 2011.
Dalam aksinya, demonstran mengecam pemerintahan Mursi karena dinilai telah mengkhianati revolusi. Situasi itu diperparah kerusuhan lainnya setelah keluarnya vonis mati terhadap 21 suporter sepak bola pada Jumat lalu (25/1).
Seorang pejabat polisi menyatakan bahwa dalam kondisi yang semakin memburuk, 33 orang tewas di Kota Port Said Sabtu lalu (26/1). Ribuan orang mengikuti pemakaman para korban di kota tersebut kemarin. Insiden terjadi saat massa ditembaki.
Seorang saksi mata menuturkan melalui telepon bahwa dirinya mendengar sejumlah tembakan maupun sirine dari ambulans. Tetapi, tidak ada laporan jatuhnya korban dalam insiden kemarin. Saat itu, tidak ada seorang pun polisi yang mengamankan acara pemakaman di Port Said. Toko-toko maupun pusat bisnis masih tutup.
Oposisi turun ke jalan di berbagai kota di Mesir sejak Kamis lalu. Mereka menuduh Mursi dan koalisi kelompok Islam telah mengkhianati revolusi yang mendepak Mubarak dari kekuasaan pada 2011.
’’Tidak satupun tujuan revolusi yang telah tercapai,’’ seru seorang demonstran di Tahrir Square, Kairo, kemarin. ’’Harga berbagai kebutuhan terus naik. Darah rakyat Mesir juga masih tumpah di jalanan karena ketidakpedulian dan korupsi,’’ lanjutnya.
Demonstran memblokir Jembatan 6 Oktober, jembatan layang yang menghubungkan timur dan barat Kota Kairo. Lantas, massa membakar sejumlah mobil di jalanan. Pada saat yang hampir bersamaan, polisi terlibat bentrok dengan demonstran berpenutup wajah di sepanjang jalan pinggiran Sungai Nil.
Di sebuah jembatan, pemuda melempari polisi antihuru-hara yang menembakkan gas air mata untuk memaksa para demonstran mundur dan kembali ke Tahrir Square. Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) dan Inggris, yang ada di dekat Tahrir Square, ditutup untuk umum kemarin.
Sementara itu, kerusuhan di Port Said, kota di timurlaut Mesir, pecah setelah Pengadilan Kairo memvonis mati 21 suporter sepak bola yang terlibat aksi kekerasan pada 1 Februari tahun lalu. Saat itu, kekerasan tersebut merenggut 74 nyawa. Sehari sebelumnya, tujuh orang tewas dalam peringatan dua tahun Revolusi Mesir di Kairo.
Sebenarnya, terdapat 72 orang yang menjadi terdakwa dalam aksi kerusuhan di Port Said tahun lalu itu. Tetapi, pengadilan baru menjatuhkan vonis kepada 21 terdakwa. ’’Vonis untuk 52 terdakwa lainnya akan kami bacakan pada 9 Maret nanti,’’ kata Hakim Sobhi Abdel-Maguid, seperti disiarkan stasiun televisi pemerintah Mesir.
Sebelum hakim membacakan vonis, ratusan suporter Al-Ahly berkumpul di sebuah stadion di Kairo. Keluarga dan kerabat para korban tewas juga hadir untuk mendengarkan keputusan hakim. ’’Allahu Akbar,’’ seru mereka menjelang vonis. Mereka juga terus menerus mendendangkan yel-yel antiaparat dan anti-pemerintah.
Pendukung Al-Ahly sempat mengancam melancarkan serangan balasan kepada suporter Al-Masry jika Pengadilan Kairo tak menjatuhkan vonis setimpal. Sejak awal sidang, mereka menuntut para pendukung Al-Masry yang terbukti menyerang dan melakukan pembunuhan agar dihukum mati. Di Mesir, hukuman mati biasanya dilakukan dengan cara digantung.
Kerusuhan tersebut menambah panjang pekerjaan rumah Mursi yang berupaya memperbaiki keterpurukan ekonomi dan instabilitas politik jelang pemilu parlemen beberapa bulan ke depan. Pemilu tersebut diharapkan menjadi pintu transisi menuju demokrasi.
Kelompok liberal dan koalisinya menilai Mursi telah gagal dalam mewujudkan perbaikan ekonomi seperti yang dijanjikan saat kampanye. Tapi, pendukung Mursi menilai oposisi ingin menjatuhkan pemerintahan pertama di Mesir yang dipilih secara demokratis itu melalui cara-cara di luar konstitusi. (RTR/AFP/AP/cak/dwi)
Perkembangan itu menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Muhammad Mursi. Berbagai aksi protes jalanan terus berlangsung di Mesir sejak massa memperingati dua tahun revolusi pada Kamis lalu (24/1). Revolusi itu berhasil menumbangkan rezim Hosni Mubarak pada 2011.
Dalam aksinya, demonstran mengecam pemerintahan Mursi karena dinilai telah mengkhianati revolusi. Situasi itu diperparah kerusuhan lainnya setelah keluarnya vonis mati terhadap 21 suporter sepak bola pada Jumat lalu (25/1).
Seorang pejabat polisi menyatakan bahwa dalam kondisi yang semakin memburuk, 33 orang tewas di Kota Port Said Sabtu lalu (26/1). Ribuan orang mengikuti pemakaman para korban di kota tersebut kemarin. Insiden terjadi saat massa ditembaki.
Seorang saksi mata menuturkan melalui telepon bahwa dirinya mendengar sejumlah tembakan maupun sirine dari ambulans. Tetapi, tidak ada laporan jatuhnya korban dalam insiden kemarin. Saat itu, tidak ada seorang pun polisi yang mengamankan acara pemakaman di Port Said. Toko-toko maupun pusat bisnis masih tutup.
Oposisi turun ke jalan di berbagai kota di Mesir sejak Kamis lalu. Mereka menuduh Mursi dan koalisi kelompok Islam telah mengkhianati revolusi yang mendepak Mubarak dari kekuasaan pada 2011.
’’Tidak satupun tujuan revolusi yang telah tercapai,’’ seru seorang demonstran di Tahrir Square, Kairo, kemarin. ’’Harga berbagai kebutuhan terus naik. Darah rakyat Mesir juga masih tumpah di jalanan karena ketidakpedulian dan korupsi,’’ lanjutnya.
Demonstran memblokir Jembatan 6 Oktober, jembatan layang yang menghubungkan timur dan barat Kota Kairo. Lantas, massa membakar sejumlah mobil di jalanan. Pada saat yang hampir bersamaan, polisi terlibat bentrok dengan demonstran berpenutup wajah di sepanjang jalan pinggiran Sungai Nil.
Di sebuah jembatan, pemuda melempari polisi antihuru-hara yang menembakkan gas air mata untuk memaksa para demonstran mundur dan kembali ke Tahrir Square. Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) dan Inggris, yang ada di dekat Tahrir Square, ditutup untuk umum kemarin.
Sementara itu, kerusuhan di Port Said, kota di timurlaut Mesir, pecah setelah Pengadilan Kairo memvonis mati 21 suporter sepak bola yang terlibat aksi kekerasan pada 1 Februari tahun lalu. Saat itu, kekerasan tersebut merenggut 74 nyawa. Sehari sebelumnya, tujuh orang tewas dalam peringatan dua tahun Revolusi Mesir di Kairo.
Sebenarnya, terdapat 72 orang yang menjadi terdakwa dalam aksi kerusuhan di Port Said tahun lalu itu. Tetapi, pengadilan baru menjatuhkan vonis kepada 21 terdakwa. ’’Vonis untuk 52 terdakwa lainnya akan kami bacakan pada 9 Maret nanti,’’ kata Hakim Sobhi Abdel-Maguid, seperti disiarkan stasiun televisi pemerintah Mesir.
Sebelum hakim membacakan vonis, ratusan suporter Al-Ahly berkumpul di sebuah stadion di Kairo. Keluarga dan kerabat para korban tewas juga hadir untuk mendengarkan keputusan hakim. ’’Allahu Akbar,’’ seru mereka menjelang vonis. Mereka juga terus menerus mendendangkan yel-yel antiaparat dan anti-pemerintah.
Pendukung Al-Ahly sempat mengancam melancarkan serangan balasan kepada suporter Al-Masry jika Pengadilan Kairo tak menjatuhkan vonis setimpal. Sejak awal sidang, mereka menuntut para pendukung Al-Masry yang terbukti menyerang dan melakukan pembunuhan agar dihukum mati. Di Mesir, hukuman mati biasanya dilakukan dengan cara digantung.
Kerusuhan tersebut menambah panjang pekerjaan rumah Mursi yang berupaya memperbaiki keterpurukan ekonomi dan instabilitas politik jelang pemilu parlemen beberapa bulan ke depan. Pemilu tersebut diharapkan menjadi pintu transisi menuju demokrasi.
Kelompok liberal dan koalisinya menilai Mursi telah gagal dalam mewujudkan perbaikan ekonomi seperti yang dijanjikan saat kampanye. Tapi, pendukung Mursi menilai oposisi ingin menjatuhkan pemerintahan pertama di Mesir yang dipilih secara demokratis itu melalui cara-cara di luar konstitusi. (RTR/AFP/AP/cak/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lukisan Terkenal Chinese Girl Dilelang di London
Redaktur : Tim Redaksi