jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Demokrat, Syarief Hasan mempertanyakan langkah Pemerintah yang terkesan terburu-buru mengubah RUU HIP menjadi RUU BPIP. Pemerintah lewat Menko Polhukam secara resmi mengajukan perubahan atas RUU HIP menjadi RUU BPIP yang disampaikan di Gedung Senayan, Jakarta pada Kamis (16/7/2020).
Dia memandang bahwa langkah Pemerintah menunjukkan ketidakmampuan Pemerintah membaca aspirasi dan protes masyarakat secara lebih mendalam.
BACA JUGA: Menhan Prabowo Pimpin Pelaksanaan Program Food Estate, Syarief Hasan: Mentan ke Mana?
“Permasalahan RUU HIP tidak terletak pada nama atau nomenklatur undang-undangnya, akan tetapi terletak pada latar belakang, proses, dan hampir keseluruhan substansi RUU HIP yang sangat jelas bermasalah,” tegas Syarief Hasan.
Ketidakmampuan ini memang sangat jelas ditunjukkan Pemerintah. Sebab, Pemerintah hanya menolak dua poin dalam RUU HIP. Pertama, absennya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dan kedua, munculnya istilah Trisila dan Ekasila dalam RUU HIP.
BACA JUGA: Sah! Begini Sikap Pemerintah soal RUU HIP
“Respons Pemerintah yang hanya menolak dua poin dalam RUU HIP telah mengesampingkan poin atau pasal bermasalah lainnya,” ungkap Syarief Hasan.
Aggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini berpandangan bahwa Pemerintah seharusnya menolak secara keseluruhan RUU HIP ini.
BACA JUGA: Awas! Pasukan Elite TNI AL Mulai Bergerak dan Menceburkan Diri ke Laut, Ada Apa?
Sebab, hampir secara keseluruhan RUU ini memiliki muatan bermasalah yang dapat mendegradasi dan mendistorsi nilai-nilai Pancasila.
“Sampai Pemerintah menyampaikan sikap resminya. Yang terpenting adalah saat ini DPR tidak atau belum menerima sama sekali kajian akademik dari Pemerintah yang menjadi syarat diajukannya suatu RUU sebagai bahan untuk disebarkan ke publik dan bahan pembahasan. Ini menunjukkan pula bahwa pemerintah tidak menyeriusi penolakan terhadap RUU HIP,” sebut Syarief Hasan.
RUU HIP dan RUU BPIP adalah dua hal yang berbeda sehingga Syarief Hasan memandang bahwa langkah ini tidak perlu dilakukan sekarang. Sebab, BPIP telah memiliki payung hokum yakni Perpres Nomor 7 Tahun 2018.
“Pengubahan RUU HIP menjadi RUU BPIP melalui UU justru kontraproduktif di tengah penolakan keras terhadap RUU ini,” ungkap Syarief Hasan.
Menurutnya, penguatan BPIP melalui UU juga mesti dikaji lebih mendalam dan tidak bisa short cut atau jalan pintas seakan-akan kejar tayang dan ini juga menjadi pertanyaan.
Selain itu, menurut Syarief, kita sering melihat relevansi BPIP hari ini yang sering membuat pernyataan-pertanyaan yang kontraproduktif dan penguatan BPIP dapat juga menjadi alat kekuasaan baru dalam menafsirkan Pancasila yang bisa mendistorsi Pancasila.
“Perlu kajian mendalam relevansi BPIP sehingga BPIP tidak seperti BP7 di masa lalu yang malah menjadi sensor berlebihan, bukan perekat kebangsaan,” ungkap Syarief Hasan.
Ditambahkan bahwa Pemerintah dan DPR RI mesti lebih berhati-hati dan matang dalam mengambil sikap.
“Tanpa UU saja, BPIP telah menimbulkan banyak kontroversial di masyarakat. Apalagi jika dikuatkan lewat UU maka akan berpotensi menimbulkan masalah baru. Yang paling penting hari ini adalah kajian akademik dibutuhkan terkait relevansi BPIP dan perlu tidaknya BPIP diatur melalui UU dan sebaiknya dilakukan oleh lembaga independent /universitas UI misalnya.
“Untuk itu sebelum ada kajian akademik tersebut sebaiknya RUU BPIP ini ditunda pembahasannya,” tutup Syarief Hasan.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich