RUU Pemilu Dinilai Tidak Karuan

Selasa, 20 Maret 2012 – 17:28 WIB

JAKARTA - Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Didik Supriyanto mengatakan secara umum Undang-Undang (UU) tentang Pemilu yang dibuat oleh partai politik (Parpol) di DPR bersama pemerintah di Indonesia tidak karuan.

Penyebab utama tidak karuannya UU Pemilu di Indonesia antara lain karena proses pembuatannya diserahkan ke DPR dan pemerintah yang keduanya punya kepentingan masing-masing.

"Kalau UU Pemilu mau benar maka Parpol dan pemerintah jangan diberikan porsi untuk membuatnya. Negara harusnya menyerahkan penyusunan UU tersebut kepada pihak yang berkompeten di luar Parpol dan pemerintah," kata Didik Supriyanto, dalam diskusi terbuka yang diadakan oleh Forum Lima, bertema 'Siasat Mencari Kursi Gratis dari Korban Parliementary Threshold (PT)' di Jakarta, Selasa (20/3).

Di Kanada misalnya. Menurut Didik RUU Pemilu dirancang oleh pihak kompeten agar lebih tertata rapi dan konsistensinya terjaga. Tapi di Indonesia, untuk menyempurnakan sebuah UU yang dibuat DPR harus melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah adanya gugatan dari masyarakat.

Lebih lanjut, Didit juga mengungkap keanehan lainnya dari Parpol yang lebih takut terhadap UU Pemilu ketimbang kepada rakyat selaku pemilik suara. "Logikanya, Parpol harus lebih takut kepada rakyat selaku pemilik suara. Tapi dalam kenyataannya Parpol memperlihatkan rasa takutnya kepada UU," imbuh Didik.

Sikap Parpol yang lebih takut kepada UU, menurut Didik disebabkan karena durasi Pemilu di Indonesia terlalu lama hingga masyarakat lupa akan berbagai kekeliruan Parpol dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

"Ini karena durasi Pemilu di Indonesia lima tahun terlalu lama. Kalau punya niat baik untuk demokrasi bangsa maka pemilu bisa diperpendek durasinya menjadi 2,5 tahun dengan cara membedakan Pemilu DPR dengan DPRD,''

"Kalau itu dilakukan, pasti bisa memaksa Parpol untuk bekerja secara baik sebagaimana yang diamanatkan konstitusi karena setiap Parpol yang berbuat kesalahan pasti masih segar dalam ingatan publik dan Parpol tersebut pasti ditinggalkan pemilihnya," ujar mantan anggota Panwaslu 2004 itu.

Lebih lanjut dia juga mengkritisi logika politik yang dibangun kalangan anggota DPR yang mengatakan penyederhanaan Parpol sama dengan mengurangi jumlah Parpol, lalu dipatok PT hingga 4 atau 5 persen.

"Ini logika kepentingan Parpol yang tidak mengandung kebenaran ketika disandingkan dengan prinsip dasar keberadaan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat," tegas Didik.

Dikatakannya, kalau akan memberlakukan PT, hendaknya harus dilandasi dengan hitungan-hitungan akademik yang bisa menjawab sebab-akibat secara rasional.

"Saat ini DPR sepertinya sudah menggunakan argumentasi 'pokoknya' 4 atau 5 persen. Padahal dari sejumlah literartur akademik internasional kalau akan tetap memberlakukan PT secara nasional maka PT hanya akan berada pada kisaran 1,03 persen untuk DPR, 2,84 persen untuk DPRD Provinsi dan 3,18 persen untuk DPRD kabupaten dan Kota," ungkap Didik.

Darimana ditemukan angka tersebut, Didik menyatakan bersedia untuk berbagai ilmu hitung politik ini kepada anggota DPR."Pemilu itu hanya soal angka-angka hitungan suara menjadi kursi. Kalau cara menghitungnya yang salah, mari kita luruskan itu. Celakanya, para politisi tidak tertarik dengan hitungan angka-angka Pemilu karena masih terkooptasi dengan cara berpikir orde baru yang bisa memastikan siapa pemenang Pemilu sebelum Pemilu diselenggarakan," tegas Didik Supriyanto. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Aher-Dede Siap Duet Lagi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler